Seperti kebanyakan hutan lainnya, hutan gomaku juga memiliki cerita mistis. Yang paling terkenal akhir-akhir ini adalah sosok “scary green”, sosok hijau mengerikan yang kadang muncul di sore hari. Tidak banyak orang yang melihat langsung penampakannya, karena kawasan utara sendiri sudah menjadi kawasan asing bahkan tidak ada rumah penduduk dari jarak tiga ratus meter dari mulut hutan.
Setelah berjalan kurang lebih setengah jam dari mulut hutan, tampaklah bahwa benar-benar ada kehidupan. Di sana, berjejer sebanyak lima rumah sederhana. Salah satunya ialah rumah Teresa yang berhimpitan dengan rumah Grace, karena mereka adalah saudara sepupu. Di sampingnya ada rumah Mr. Albert, seorang paruh baya yang tidak memiliki anak. Satunya lagi rumah milik keluarga Frederick dan yang lainnya rumah milik keluarga Maxwell. Rumah-rumah itu berdiri dengan kokoh, dengan alas kayu, dan atap genteng. Sepintas tidak ada yang aneh dengan pemukiman kecil itu, tapi hei orang normal mana yang sengaja membangun tempat tinggal di tengah hutan, jauh dari kehidupan mewah sementara anak-anaknya berlencana emas. Terasingkan dari kehidupan luar? Tidak, justru mereka yang mengasingkan diri dari kejamnya kehidupan luar.
Mari bercerita sedikit tentang maksud kejamnya dunia luar. Empat belas tahun yang lalu proyek pembagunan pusat perbelanjaan besar-besaran sedang dilaksanakan. Tanah yang dibutuhkan tidak main-main luasnya. Sekitar dua puluh hektar. Awalnya proyek berjalan lancar, tapi kemudian terdapat sedikit gangguan. Terdapat tiga rumah berjejer tanpa surat kepemilikan tanah yang tidak mau menjauh dari lokasi proyek. Dimana pun rumah yang tidak memiliki surat kepemilikan tanah akan kalah oleh orang yang membawa proposal dari pimpinan kota tentang pembangunan layanan publik. Dengan akhir yang tragis, tiga keluarga itu pergi, atau digusur supaya lebih terlihat kejamnya. Mereka tidak bisa mengelak, dengan perasaan benci, mereka terus saja menggerutu. Masa bodoh dengan layanan publik. Apakah dengan menggusur dinamakan membangun layanan publik? Siapa sih pimpinan kotanya? Kejam betul membiarkan rakyatnya terlantar.
Singkatnya, karena tiga keluarga tidak menemukan tempat yang bisa untuk ditinggali, mereka kemudian mencari tempat yang jarang di temui. Matahari masih bersinar terang, mereka yang sedang bersantai di mulut hutan gomaku melepas lelah sambil memakan bekal apa adanya. Salah satu dari kepala keluarga masuk ke dalam hutan.
“Kalau lah ada tempat yang tidak membuat kita bertemu dengan orang –orang jahat, aku mau tinggal di situ,” ujar salah seorang wanita muda menggendong seorang anak yang terlelap.
“Ah iya, aku juga ingin pergi jauh-jauh dari kota ini, supaya tak ada lagi ada orang yang terus memamerkan tas bermerek padaku setiap minggu,” ujar seorang wanita lagi sambil mengerucutkan bibirnya.
“Jangan bicara yang tidak-tidak, kalau begitu, tinggal saja kau di dalam hutan bersama trenggiling liar,” suami dari wanita yang menggendong seorang anak berbicara.
Keheningan tercipta selama beberapa menit. Tak lama seorang kepala keluarga yang lebih tua dari tiga keluarga lainnya keluar dari mulut hutan.
“Dari mana saja kau Albert, apa yang kau temukan di sana? tidak digigit trenggiling liar kan?”
“Trenggiling liar matamu, betulan hebat di dalam, kalian tahu? ada sungai yang demi apapun sangat jernih, banyak pohon dengan buah yang ranum. Aku baru saja memakannya satu, maaf tidak membawa banyak karena aku tidak ahli dalam melempar batu.”
“Banyak buah ya? Ayo kita tinggal di dalam hutan sementara, ayolah sayang, aku sudah tiga bulan tidak makan buah nih,” seorang wanita merengek pada suaminya.
“Albert, kau biang keroknya. Di dalam betulan aman atau tidak?”
“Ku pastikan aman deh, kebetulan aku juga menemukan lahan kosong. Kita bisa memulai membangun rumah kayu di sana.”
Yah, bisa dipastikan tiga keluarga itu akan menjalani masa primitifnya. Mengandalkan sumber daya hutan. Para suami memanfaatkan kemampuan kulinya sementara para istri harus jeli meneliti tanaman yang akan mereka masak beracun atau tidak.
***
Malam hari menjadi malam yang seru seketika. Seorang nenek tua sedang duduk bersandar di tiang pondok. Pondok hutan yang dulu dibangun oleh suaminya. Ia menggunakan mantel berbulu. Mantel yang memiliki nilai tinggi pada masanya, sekitar dua puluh tahun yang lalu. Ia tahu tak lama kemudian segerombolan anak anak akan mendatanginya. Meminta membacakan cerita fiksi. Cerita tentang peri pembuat sepatu tak pernah bosan mereka dengar. Namun, kali ini mereka sudah besar, sudah remaja. Cerita fiksi harus sedikit dirombak supaya nilai-nilai kehidupan dapat terserap. Nilai-nilai yang akan membantu remaja menghadapi dunia. Bisikan kebaikan harus senantiasa disampaikan.
Nenek itu, Nenek William. Seorang istri dari Edward William. Kakek William, begitu sebutan Teresa mengenang panggilan kakeknya yang telah meninggal dua belas tahun yang lalu. Jika dihitung, besok adalah tepat kematiannya yang ke dua belas tahun. Setelah diingat-ingat besok juga merupakan hari jadi sekolahnya yang ke dua belas tahun. “Radiant School” berulang tahun, dengan pemimpin sekolah yang baru.
Sony dan Grace datang ke pondok sambil membawa buku. Sementara Teresa asyik memijat pelipis Nenek William.
“Oh nenek, lihat mereka. Keras kepala sekali. Sudah berkali-kali dibilang jangan membaca di luar sini. Di sini sedikit gelap, tidak baik untuk kesehatan matamu tahu.”
“Aku tidak ingin membaca Teresa sayang. Hanya ingin bertanya dan buku ini untuk mencatat jawabannya, bukan begitu Grace?”
“Ya,ya,ya, tidak masalah kalau kau tak mau menjawab. Kita masih punya Nenek William yang tahu segalanya,” Grace menjulurkan lidahnya pada Teresa.
Teresa membuang muka.
“Jadi pertanyaan jenis apa itu nak Sony?”
“Ini tentang Mr. Bigflower…"
Nenek William membeku seketika, lalu tersenyum sangat tipis. Mr. Bigflower menjadi bintang utama malam ini. Perbincangan yang menjadi topik bertahan lama berjam-jam. Mereka bernostalgia. Perbincangan ini mengantarkan mereka alasan kenapa mereka ada di sini. Berita Mr. Bigflower yang akan menguasai “Radiant School” pun tak terelakkan. Namun semakin lama perbincangan ini menjadi gelap, diselimuti kebencian. Nenek William yang dahulu dekat dengan Mr. Bigflower, tidak mau lagi membagi kisahnya, membuat para pendengar juga harus giat mencari topik lain atau berpura-pura masuk ke dalam rumah untuk menikmati makan malam padahal menu sudah habis sejak satu jam lalu. Teresa lalu mengantar Nenek William beristirahat, di dalam rumah. Ibunya yang masih terjaga kemudian akan bergilir memijat kaki Nenek William. Teresa keluar lagi menuju pondok. Iseng dia melihat-lihat rasi bintang. Rasi orion terlihat jelas di pandangannya. Si merah Betelgeuse yang menjadi bintang pertama yang diliriknya, mengingat dia akan Kakek William. Karena Betelgeuse merupakan merek sepatu favorit kakeknya, sepatu boots yang biasa dipakai berkebun dengannya. Saat ia berusia sekitar lima tahun.
Tak ada yang lebih mengasyikkan dari menikmati malam di pondok sendirian sebelum sebatang ranting mendarat di kepala Teresa. Teresa melirik-lirik, lalu pandangannya terpaku di atas sebuah pohon.
“Sudah berevolusi dari rubah rupanya, jadi apa kau? beruk? atau kukang?”
“pilihan yang tidak bagus Tere, omong-omong nenekmu sudah tidur?”
“Sepertinya. Kau merasakannya kan dari tadi ? Kalau nenekku membenci Mr. Bigflower?”
“Tentu. Betul kata nenekmu. Kita perlu waspada terhadap Mr. Bigflorest itu.”
“Ya. Karena jangan sampai ada lagi orang yang kecewa karenanya.”
“Setuju.”
“Omong-omong Andreas, namanya bukan Mr. Bigflorest.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Alifia Sastia
scary green jadi keinget hulk
2020-05-05
1