Beberapa menit kemudian Satria masuk ke kamar dan sepertinya para penagih hutang itu sudah pergi. Entah apa yang dilakukan Satria kepada mereka, aku pun tak tahu.
"Kemana mereka?" Tanyaku kebingungan.
"Sudah pergi!" Jawabnya singkat. "Apa kita perlu ke rumah sakit?" Satria terlihat cemas.
"Tidak usah, nak Satria. Bapak sudah minum obat dan sebentar lagi juga baikan." Ayah berbicara dengan suara yang lemah.
"Baiklah, kalau begitu ini kartu namaku, kalau ada apa-apa, segera hubungi aku. Aku masih ada pekerjaan, aku pergi dulu." Satria menyodorkan sebuah kartu kepadaku dan berpamitan.
"Saya permisi, Pak." Satria berpamitan dengan ayah juga.
"Iya, terima kasih." Ucapku dan ayah serentak.
Selepas kepergian Satria, aku memperhatikan kartu nama yang diberikannya tadi. Di sana tertera nama Satria Wijayanto. Direktur utama Wijaya Grup.
Aku terdiam sejenak, mendadak aku merasa minder.
"Dia pasti sangat kaya. Beruntung sekali wanita yang menjadi istrinya." Aku mulai mengaguminya di dalam benakku.
***
Aku buru-buru keluar dari kamar ayah saat terdengar suara ketukan pintu dari luar, kubuka pintu itu dengan lebar dan seseorang yang tak asing sudah berdiri di hadapanku. Dia adalah Madam, rentenir yang meminjamkan uang kepada ibuku dengan jaminan sertifikat rumah ini, dia datang bersama salah seorang penagih hutang tadi.
Aku mendadak takut, mereka pasti datang lagi ingin menagih cicilan hutang ibuku itu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku takut mereka membuat keributan lagi dan ayahku sakitnya kumat lagi. Siapapun juga, ku mohon tolong aku!
"Nih ... ku kembalikan sertifikat rumahmu!" Madam menyodorkan sebuah map kepadaku. Ragu-ragu aku meraih map itu dan membukanya, dan benar ... itu sertifikat rumah kami.
"Tapi hutangku belum lunas, kenapa kau mengembalikannya?" Aku benar-benar bingung dengan situasi ini. Bukankah seharusnya rentenir ini marah dan menagih pembayaran kepadaku, kenapa malah mengembalikan sertifikat ini?
"Hutangmu sudah lunas kok, sekalian dengan bunganya." Madam menyunggingkan senyum di bibirnya.
"Apaaaa ...?" Aku semakin bingung dengan semua ini. Bagaimana bisa hutangku lunas begitu saja?
"Hey ... apa kau tidak tahu? Kekasihmu yang kaya raya itu sudah melunasi semua hutang ibumu. Begitu dong, kalau cari lelaki yang kaya biar bisa hidup enak." Rentenir sialan ini benar-benar membuatku bingung. Siapa yang dia maksud?
Apa jangan-jangan Satria yang sudah melunasi semua hutang keluargaku? Tiba-tiba nama itu terlintas di benakku.
"Siapa nama orang yang sudah melunasi hutang keluargaku?" Dari pada kebingungan dengan ucapan Madam, lebih baik aku bertanya saja siapa orangnya.
"Siapa tadi namanya? Kalau tidak salah Satria ... aha ... iya Satria Wijayanto. Aku baru ingat sekarang!" Pernyataan Madam sungguh membuatku terkejut bukan main.
"Apa ...? Bagaimana mungkin dia bisa melunasi semuanya?"
"Tadi saat kau membawa ayahmu ke kamar, pria kaya itu meminta nomor rekening Madam. Aku berikan saja dan dia mentransfer lima puluh juta untuk melunasi hutang ibumu itu." Si penagih hutang yang bertato naga itu menjawab kebingunganku.
Mendadak kakiku melemas seperti tak bertulang, aku semakin kebingungan harus berkata apa?
Seharusnya aku senang dan lega karena hutang keluargaku sudah lunas tapi entah mengapa ada rasa marah dan malu di dalam hatiku.
"Kalau begitu aku pergi dulu! Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan keluargamu." Madam berlalu dari hadapanku, diikuti oleh penagih hutang yang berbadan tegap itu.
Selepas kepergian Madam dan kacungnya, aku segera masuk ke dalam rumah, ku simpan sertifikat rumah itu di kamarku, Aku sengaja merahasiakan semua ini dari ayah karena aku bingung harus berkata apa jika ayah bertanya bagaimana bisa hutang ibuku yang tidak sedikit itu bisa lunas?
Kuraih ponselku, ku ketik nomor Satria di sana dan ku sentuh tombol memanggil. Panggilanku ke nomor Satria tersambung tapi tak ada jawaban, sampai dua kali aku meneleponnya, tetap tak ada jawaban.
Lalu ku kirimkan pesan ke nomor itu yang berisi ...
"Kenapa kau melunasi hutang keluargaku? Bahkan tanpa meminta izin atau memberitahukannya terlebih dulu kepadaku. Kau mencampuri urusan keluargaku terlalu jauh, padahal kita baru kenal beberapa hari. Aku tidak suka kau lancang seperti ini!" Begitulah isi pesan yang aku kirim ke Satria. Tapi tak ada balasan darinya.
Bukannya aku tidak tahu diri atau tidak tahu terima kasih, tapi aku hanya merasa tidak suka orang yang baru saja ku kenal ini ikut campur urusan keluargaku terlalu jauh. Aku malu ... aku marah ...!
***
Aku masih melirik layar ponselku, sudah 7 jam aku mengirimkan pesan kepada Satria, bahkan hari pun sudah berganti dari siang ke malam, tapi tak ada balasan darinya sama sekali.
"Apa kata-kataku keterlaluan dan membuat dia marah?" Gumamku dalam hati. Mendadak aku merasa tak enak hati.
Tiba-tiba suara seseorang mengagetkan ku, aku menoleh cepat ke arah pintu dan netraku menangkap sosok yang sudah lama sekali tidak ku lihat.
"Dimas ...! Kapan pulang?" Teriakku kepadanya. Aku sedikit terheran melihat penampilannya sekarang, modis dan lebih tampan.
Oh iya, perkenalkan Dimas adalah tetangga sekaligus teman baikku yang sudah 2 tahun ini pergi merantau ke luar kota, kami berteman sudah cukup lama, dari kami masih duduk di taman kanak-kanak. Ok, perkenalan selesai.
"Tadi siang. Kau apa kabar?" Dimas melangkah masuk dan segera duduk di sampingku.
"Tidak terlalu baik. Aku kecelakaan kemarin, ini lihat!" Aku mengadu seperti anak kecil dengan menunjukkan luka di kepala dan kakiku, berharap mendapat perhatian darinya.
Begitulah aku kalau sudah berhadapan dengan Dimas, aku merasa seperti seorang adik yang sedang dimanja kakaknya.
"Ya Tuhan! Jadi bagaimana keadaanmu sekarang? Apa kita perlu ke rumah sakit?" Dimas mendadak panik. Dia terlihat sangat mencemaskan ku dan itu yang aku suka darinya, perhatian.
"Tidak usah! Aku sudah baikan kok!"
"Bagaimana kau bisa kecelakaan? Coba ceritakan kepadaku!" Dimas menatap lekat wajahku, menanti mulutku untuk menceritakan kejadian naas itu.
"Kemarin sewaktu aku hendak menyeberang, tiba-tiba ada sebuah mobil menabrak ku, jadinya begini deh." Hanya itu yang aku ingat. Selebihnya aku tak tahu.
"Lalu yang menabrak sudah bertanggung jawab? Atau dia lari?" Wajah Dimas masih terlihat cemas. Aku sampai melamun menatapnya, ternyata dia keren juga kalau sedang khawatir begini.
"Manda!!! Aku bertanya, kenapa kau malah melamun?" Suara Dimas menyentak ku, buyar sudah lamunanku.
"Ah ... iya, dia sudah bertanggung jawab kok!" Aku menjawab dengan cepat.
Apaan sih Manda? Kenapa sampai melamun begitu melihat Dimas.
"Baguslah! Oh iya, Man ... ayahmu mana? Apa dia sehat?" Dimas sudah beralih menanyakan kabar ayah.
"Ada di kamar, sedang istirahat. Biasalah, Mas ... penyakit ayah kambuh kambuhan." Aku menghela napas mengingat penyakit jantung ayahku yang selalu kumat jika sedang benyak tekanan dan pikiran. Kasihan ayah...
"Ya sudah, kalau begitu kau juga istirahat! Sudah malam ini. Besok aku kesini lagi." Dimas beranjak dan melangkah menuju pintu keluar.
"Loh, kok pulang? Oleh-oleh untuk aku mana?" Aku berteriak mengingatkannya, mungkin saja dia lupa.
"Besok! Sudah sana tidur!" Dimas berlalu pergi, meninggalkan rumahku yang hanya berjarak tiga ratus meter dari rumahnya. Ternyata dia mampir ke rumahku hanya untuk pamer kepulangannya saja.
Dasar Dimas, kenapa tidak memberikannya sekarang saja sih? Lalu tiba-tiba aku teringat sesuatu, ku raih ponselku berharap ada notifikasi balasan pesan dari Satria, tapi ternyata tidak ada.
Ku letakkan kembali ponselku dengan perasaan kecewa, dan bersiap-siap untuk pergi ke alam mimpi.
***
likenya jangan lupa ya sayang akuh ...💜
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Kapten Rajo Devi
aku maunoleh2
2021-05-03
1
Nia Bae
ini masih part anteng anteng belum ada konflik
2021-01-13
1
mamae nadin
ceritanya bagus tp likenya gk tembus smpe 1000..kubantu share lewat fb thoor...
2021-01-02
1