Satria memarkirkan mobilnya di depan sebuah warung penjual sarapan kaki lima, aku sedikit bingung dengan ulah pria ini.
"Mau apa kesini?" Tanyaku bingung.
"Kenapa kau masih bertanya? Tentu saja kita kesini untuk sarapan." Satria menjawab sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, merasa aneh dengan pertanyaanku.
Iya, aku tahu ini tempat untuk sarapan, tapi masalahnya aku heran saja, mengapa Satria sarapan disini? Bukankah kebiasaan orang-orang kaya seperti Satria biasanya sarapan di restoran mahal.
"Oh ... tapi aku sudah sarapan tadi."
"Ya sudah kalau begitu temani aku saja! Tadi aku belum sarapan." Satria segera turun dari mobil dan seperti biasa, dia akan membukakan pintu mobil untuk mempersilahkan aku keluar.
Satria membantuku berjalan menuju meja yang sudah huni beberapa orang yang sedang menikmati sarapan mereka, ada yang terburu-buru makan karena takut telat bekerja, ada juga yang sedang santai sambil memainkan ponselnya.
Kami telah duduk di sudut warung ini, karena hanya itu tempat yang tersisa. Si ibu penjual pun mendekati kami dan bertanya dengan ramah.
"Hari ini mau sarapan apa, nak Satria?" Aku sedikit kaget dengan pertanyaan ibu penjual itu. Dari kata-katanya aku tahu ini bukan pertama kalinya Satria makan di warung ini.
"Nasi uduk saja, bu!" Ucap Satria dibarengi senyum hangatnya.
"Kalau nona cantik ini, mau pesan apa?" Ibu penjual itu beralih menatapku. Apa dia bilang? Cantik? Bercanda si ibu sungguh kelewatan.
"Oh ... tidak, bu ... aku sudah sarapan tadi." Aku menjawab apa adanya. Aku memang sudah sarapan bersama ayah sebelum Satria menjemput ku.
Ibu penjual itu hanya tersenyum dan berlalu dari hadapan kami.
"Kau yakin tidak mau mencicipi sarapan disini? Lontong dan nasi uduknya sangat enak." Satria dengan antusias mempromosikan dua menu sarapan di warung ini sambil memainkan ponselnya.
"Tidak." Jawabku singkat. "Kau sering datang kesini ya?" Aku sedikit penasaran. Jiwa kepo ku mendadak muncul.
"Iya, hampir tiap hari aku mampir kesini untuk sarapan. Jika bosan saja, baru aku mencari sarapan lain." Satria berbicara tanpa memandangku dan masih fokus menatap layar ponselnya.
"Kenapa tidak sarapan di rumah?" Jiwa usil ku semakin menjadi, mendadak aku ingin tahu keseharian pria yang duduk di sampingku ini.
"Aku tidak berselera makan di rumah." Tukas Satria.
Pembicaraan kami terputus karena ibu penjual itu sudah datang menghidangkan sepiring nasi uduk pesanan Satria dan segelas air putih, pria itu segera menyantapnya tanpa aba-aba, sepertinya dia lapar. Ku biarkan dia menikmati santapan di hadapannya, ku alihkan pandanganku ke arah televisi yang terpajang di sudut atas warung itu. Ada acara gosip di salah satu stasiun televisi yang membahas masalah perceraian salah satu artis karena istrinya kedapatan selingkuh. Entah mengapa aku merasa kesal sendiri melihat istri yang tidak tahu diri itu.
"Istri seperti itu sebaiknya dibuang ke laut saja! Untuk apa dipertahankan kalau tidak bisa menghargai suami!" Tanpa sadar aku ikut mengomentari acara gosip itu. Satria yang sedang makan sampai kaget mendengar ocehanku.
"Haaa ...? Kau bicara apa?" Satria memandangku dengan tatapan bingung.
"Eh ... bukan apa-apa!Aku hanya kesel saja dengan istri si artis itu, tak tahu diri sekali! Sudah dapat suami yang tampan, baik, kaya lagi ... masih saja disia-siakan. Kalau aku bersyukur banget bisa dapat suami seperti itu." Aku mengoceh dengan tatapan mata yang masih memandang ke arah televisi itu.
"Jadi menurutmu istri yang baik itu seperti apa?" Satria bertanya. Aku memutar kepalaku menghadapnya, ku dapati pria itu sudah berhenti makan dan sedang menatap lekat wajahku.
"Iya tentu saja istri yang bisa menghargai suaminya, mensyukuri semua yang ada pada suaminya dan juga pemberiannya. Dan yang terpenting selalu melayani suaminya dengan baik, pokoknya buat suami itu senyaman mungkin bersamanya." Aku menjawab pertanyaan Satria dengan semangat sekali. Lelaki itu masih tertegun menatapku, aku sampai grogi dibuatnya.
Untuk beberapa detik Satria terdiam sambil memandang ke arahku, bukan ... dia hanya menghadap ku tapi tatapannya kosong, Satria melamun. Entah apa yang ada di pikirannya.
"Kau baik-baik saja?" Aku melambai-lambaikan tanganku di hadapan Satria, pria itu tersentak karena perlakuanku.
"Eh ... iya, maaf!!! Aku sampai terhipnotis dengan kata-katamu barusan." Satria berkelakar walaupun tidak lucu. Aku hanya memaksakan senyuman di bibirku. Aneh ... hanya kata itu yang di pikiranku melihat pria ini.
"Kau sudah selesai sarapan?" Tanyaku saat melihat piring di hadapan Satria sudah kosong.
"Sudah! Yuk ... aku antar pulang! Soalnya aku ada meeting lagi ni." Satria beranjak sambil mengeluarkan dompet dan berjalan menghampiri ibu pemilik warung itu.
Kemudian dia kembali dan segera membantuku untuk berjalan dan masuk ke dalam mobil, lalu Satria melajukan mobilnya menuju rumahku. Jujur ... aku sedikit tersentuh dengan semua perlakuannya, selain tampan dan kaya, ternyata dia baik hati. Beruntung sekali wanita yang bisa menjadi istrinya.
***
Mobil Satria sudah berada di depan rumahku, ku lihat ada sebuah motor terparkir di halaman rumahku dan aku tanda sekali ini motor siapa. Para penagih hutang itu, mereka akhirnya datang juga! Lalu ayahku? Mendadak aku panik.
"Ayah ...!" Aku buru-buru turun dari mobil Satria. Dan berjalan dengan pincang, walaupun kakiku terasa sangat sakit, tapi ku abaikan. Yang ada di pikiranku hanyalah ayah, aku takut ayah kenapa-kenapa, karena aku tahu pasti para penagih hutang itu akan bersikap kasar jika kami tidak sanggup membayar cicilan hutangnya.
"Ada apa? Amanda ...!" Satria yang bingung melihat sikap panikku berteriak memanggilku dari dalam mobil, tapi tetap ku abaikan. Namun tanpa sepengetahuanku, pria itu ikut turun dan menyusul langkahku.
"Ayah ...!!" Aku berhambur memeluk ayahku yang sudah terduduk di lantai sambil memegangi dada kirinya, dia kesakitan. Dan para penagih hutang sialan ini hanya berdiri berkacak pinggang dengan wajah yang marah.
"Akhirnya kau datang juga! Cepat bayar cicilan hutang kalian! Sudah dua bulan kalian menunggak!"Pria berbadan besar dan bertato naga itu membentak ku, membuat nyaliku menciut.
"Berapa hutangnya?" Suara Satria mengagetkanku dan semua orang, pria itu sudah berdiri di depan pintu.
"Wow ... ada orang kaya rupanya! Emang kau mau membayar hutang mereka?" Lelaki bertato itu melangkah mendekati Satria.
"Jangan banyak bacot! Katakan saja!" Satria meninggikan suaranya. Aku sungguh takut, jangan-jangan mereka akan berkelahi seperti di film-film itu.
"Lima puluh juta."
"Apa! Kenapa jadi banyak sekali? Bukankah ibuku hanya meminjam tiga puluh juta saja?" Aku memekik tak terima. Enak saja mereka menambahnya sebanyak itu.
"Yang dua puluh juta itu bunganya." Lelaki bertato itu menjawab seenaknya. Rasanya ini sungguh tak adil.
"Bisakah kau membawa ayahmu ke kamar? Biar aku yang mengurus mereka!" Ucap Satria.
"Iya, bisa!" Aku menurut saja. Kemudian membantu ayah berdiri dan memapahnya berjalan meskipun kakiku terasa sakit sekali, aku segera memberikan obatnya kepada ayah dan membantunya berbaring di ranjang.
Beberapa menit kemudian Satria masuk ke kamar dan sepertinya para penagih hutang itu sudah pergi. Entah apa yang dilakukan Satria kepada mereka, aku pun tak tahu.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
NUR(V)
cuma ada di novel orang kaya mau bayar hutang orang yang baru dikenal,, kalau didunia nyata mana ada mas satria kamu baik banget sihhh.....
2021-12-18
1
Becky D'lafonte
baik skali mas satria
2021-03-29
2
CebReT SeMeDi
😢😢😭
2021-02-27
1