"Hay, Esi," Ibu Elena memanggilnya, sembari duduk di depan dapur mereka. Kedua alis matanya terangkat, menatapi Ibu Esi yang sedang mengangkat pakaian dari jemuran. Dia kemudian menepuk kepalanya, yang kini jadi terasa sangat pusing oleh karena memikirkan jemuran yang tak sempat diangkatnya, sebelum memutuskan bertemu dengan ibu Esi. Apalagi diantara beberapa Pakaian itu, terdapat pula seragam sekolah Metallo.
Ibu Elena memang telah mencuci pakaian seragam anaknya beberapa hari yang lalu, hanya saja cuaca di kampung ini sangat tidak mendukung, untuk mengeringkannya dalam waktu sehari.
'Jikalau kami pulang sekarang, maka sia-sia aku menemui Esi hari ini.'
Akhirnya diapun memutuskan untuk lebih lama lagi berada di situ, sebab masih ada alternatif lain untuk mengatasi masalah ini, 'Andaikan pakaian seragam Metallo tak kering, maka aku harus menggunakan mesin pengering pakaian.'
Walaupun terbilang cukup boros karena menggunakan mesin pengering pakaian, karena sama halnya dengan memadamkan listrik untuk malam ini, sebab di kampung ini tak ada seorang pun yang menjual pulsa listrik. Walaupun demikian tetap saja digunakan, dan itu merupakan tindakan yang tepat untuk mengatasinya, karena dia sendiri tak mau anaknya tidak sekolah.
Ibu Esi kaget dengan kehadiran Ibu Elena yang tak terduga sebelumnya oleh dia. Ia menghela nafas panjang, sebelum memutuskan untuk sesegera mungkin menghampiri Ibu Elena dengan membawa beberapa pakaian yang baru saja diturunkannya dari jemuran itu.
"Elena, apa kabar? Tumben kamu kemari."
Ibu Elena pun mulai berdiri dari duduknya. Tatapan sinis mengarah pada Ibu Esi, karena merasa tingkah sahabatnya itu berlebihan, "Iya... Seperti biasa, Esi... Terus bagaimana keadaan kamu dan Mey?"
Ibu Esi tak menjawabnya, melainkan menarik tangan kanan Ibu Elena untuk mengikuti dia ke dalam dapur dan mempersilakannya duduk, sedangkan dia langsung menuju ke kamarnya untuk menyimpan pakaian yang baru saja diangkatnya itu.
*****
"Esi... Janganlah engkau terus bersedih. Aku tahu apa yang engkau rasakan saat ini, sebab diriku telah melewatinya. Esi... Hidup ini hanyalah sekedar ilusi. Derita dan hempasan yang tertanam di dalam dada, mengajarkan kita untuk mengerti apa arti dari perjuangan yang sesungguhnya."
*****
Ibu Elena pun mulai mengingat kembali suaminya. Waktu pertama kali Arnold mengungkapkan perasaannya kepada dia, ialah pada saat diselenggarakannya pertunjukan seni musik di desa mereka.
Elena sendiri sangat hilai memainkan biola, sehingga dia turut serta mengikuti pentas seni tersebut, sedangkan Arnold sendiri awalnya tak mau menyaksikan pentas seni itu, oleh karena baru dua hari dirinya berada di kampung ini setelah bertahun-tahun dia mengadu nasib di tanah Jawa, namun temannya(Hanes) memaksa dirinya, sehingga diapun mengikuti kemauan dari Hanes.
Lima menit telah berjalan, Elena menghibur para penonton yang menyaksikan pertunjukannya, namun tiba-tiba saja dia berhenti memainkan musiknya, karena kehadiran seorang pemuda yang sangat menawan menghampirinya di atas panggung.
Tangan kanan dari pemuda itu mengarah kepada Elena, seolah-olah memberikan sebuah isyarat bahwa pemuda ini ingin berkenalan dengan dia.
"Hay, aku Arnold. Siapa namamu? Sungguh aku jatuh hati kepada engkau," tatapan mata Arnold mengarah tajam kepada Elena, dengan senyuman yang sangat lebar sehingga membuat jantungnya berdetak tak menentu, dan hampir saja tersedak muntah darah saat pandangan mereka bertemu.
'Apa-apaan, dia...' Elena mengumpat keras dalam benaknya.
Kini Elena tak lagi berani menatapnya, sehingga dia hanya dapat menundukkan kepalanya serta tersipu malu di depan banyak orang, karena baru kali ini Elena berhadapan dengan laki-laki yang begitu menawan dan juga berani mengungkapkan perasaanya kepada dia, secara terang-terangan tanpa menghiraukan orang-orang disekeliling mereka.
Karena minder, dia bangkit dari duduknya serta berlari meninggalkan panggung, tanpa memikirkan lagi orang-orang yang menyaksikan pertunjukannya.
"Apa yang engkau lakukan, Arnold?" Hanes yang berada di depan panggung itu, menepuk-nepuk jidatnya seketika, "Kejar dia, Arnold."
Arnold pun mulai mengejar Elena yang telah menjauh dari panggung itu, sebab dia takut jika tindakannya dilaporkan kepada Kepala Desa setempat.
Hal ini harus dihindari. Jikalau tidak, maka Arnold akan mendapatkan sangsi yang sangat berat dari kepala desa, oleh karena telah membuat kekacaun dalam acara pantas seni tersebut.
Hanes menggelengkan kepalanya, 'Ah... Konyol, benar-benar konyol Arnold. Apakah ini cinta pandangan pertama.'
*****
Ibu Elena tersenyum, raut wajahnya menggambarkan kebahagian dan kesedihan mengingat kekonyolan suaminya di masa muda, sehingga air matanya pun kini mulai jatuh.
Seketika diraih tangan kanan Ibu Esi dan memegangnya dengan erat di atas meja yang berada di hadapan keduanya.
Ibu Esi sendiri sama sekali tidak menyangkah, tindakannya itu dapat membuat sahabatnya terhanyut dalam kesedihan yang sama, "Elena ..."
"Esi... Biarkanlah semua yang telah berlalu di bawah oleh waktu. Aku sendiri sungguh tidak mau menerima takdir ini, dan memutuskan untuk mengikutinya ke alam baka. Hanya saja Esi... Jikalau aku pergi... Siapa yang akan merawat anakku? Siapa yang memberikan bimbingan, agar tetap tegar menghadapi hidup di dunia yang fana ini. Janganlah engkau terus bersedih Esi... Kasihan anakmu, karena dia juga sangat terpukul dengan semua ini."
Perlahan Ibu Esi mengangkat kepalanya dengan raut wajah yang begitu datar, "Terimakasih Elena, berkarat peneguhan aku merasa begitu legah, seakan-akan beban yang selama ini membelengguhiku telah menjadi telah ringan."
Akhirnya Ibu Elena dan sahabatnya berpelukan, "Iya, sama-sama Esi."
Selepas itu, keduanya saling menghibur satu sama lain, karena apa yang dirasakan Ibu Esi sama halnya dengan apa yang telah Ibu Elena lewati bertahun-tahun belakangan ini.
*****
"Pegang talinya, Mey," Metallo meloncat turun dari ayunan, namun pandangannya masih terarah pada Mey dengan seyum sipitnya, menandakan instingnya yang begitu bahagia saat bersama Mey.
'Ah... Apa yang kuperbuat? Apakah ini rahasia dibalik semua itu?' iapun menggelengkan kepalanya, 'Tidak... Tidak mungkin,' Ia memandangi Mey terbungkus senyuman penuh makna.
Mey hilang keseimbangan, karena tidak menyadari Metallo akan loncat sehingga kedua kakinya terlepas dari kayu ayunan itu, "Tangkap aku Metallo," ketika ayunan itu mendekati Metallo, dia melepaskan kedua tangannya.
Ia yang berada di bawah, sama sekali tidak menyangka dengan perbuatan Mey, sehingga dirinya hanya dapat melentangkan kedua tangannya ke depan tanpa melakukan persiapan apapun.
Ia sebenarnya mampu membopong Mey lebih lama lagi, namun ia sendiri karena tidak memiliki persiapan sehingga iapun jatuh ke tanah ditimpah oleh mey.
[Barak] siku kanannya terluka, disebabkan oleh beberapa batu mangga yang mengelingi pohon mangga itu, namun ia tak merasakan sakitnya.
Mey yang berada di atasnya menatap dia begitu dalam, sedangkan ia juga sama. Namun hanya sesaat saja, sebab Mey sangatlah berat, "Mey... Sakit... Mey."
mendengar itu Mey pun mulai bangkit dan duduk di sampingnya, serta menundukkan kepalanya, tersipu malu terhadap Metallo, "Maaf, iya."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
Abu Yub
Aku kasih bintang masuk ngak dedek
2025-04-13
1
Abu Yub
Aku mampir dedek/Rose//Rose/
2025-04-13
0
Abu Yub
sedih
2025-04-13
0