Masa Lalu

Iapun mulai bangkit, dan duduk di samping kanan Mey, dengan kedua kakinya bersila, "Iya... Kamu tidak apa-apa, kan?"

Wajah Mey kini terlihat sedikit pucat, "A... ku baik-baik saja..." jawabnya, terbata-bata. Dia kemudian meminta maaf sekali lagi kepada Metallo "Maaf, Iya."

Metallo merasakan tubuh sangat sakit ditimpali oleh Mey, walapun Mey terlihat ramping, tetapi begitu berat. Seketika ia menganggukkan kepalanya pelan, 'Hm... Berat juga, padahal tubuhnya begitu ramping.'

Mendengar jeritan darinya, tangan Mey bergerak dengan sendirinya. Tanpa disadari, dia telah mengangkat baju belakang Metallo dan memperhatikan seluruh tubuhnya mulai dari pundak sampai ke pinggang, "Badanmu tidak terluka."

Ia memalingkan muka kepadanya, serta menatapnya dengan senyuman yang sinis. Ketika pandangan keduanya bertemu, Mey menjadi kaget.

"Ma... Maaf, telah lancang terhadap engkau."

Kedua alis mata Metallo terangkat, menatapinya dengan senyuman sinis yang sedikit memudar, "Iya, tidak apa-apa."

Metallo memalingkan mukanya kembali dan menatapi seluruh badannya, serta mulai mengangkat tangan kanannya ke atas untuk melakukan sedikit gerakan.

'Ah... perih bangat, sih,' sebelum memperhatikan tangannya. Ia melakukan hal yang sama sekali lagi, sehingga tetesan darah mulai jatuh ke telapak tangan Mey, yang menyebabkan dia pusing karena melihat darah tersebut.

Rupanya Mey masih trauma dengan kejadian yang menimpa keluarganya dua tahun yang lalu, ketika Ayahnya terluka parah akibat tabrakan beruntun yang menyebabkan Ayahnya kehilangan nyawa, setelah satu minggu tiga hari dari kejadian itu. Sebelum pingsan, Mey mengingat kembali  saat-saat terakhir dia dan Ayahnya bersenda gurau bersama.

*****

Waktu itu, Mey bermain petak umpet bersama Ibunya dengan penuh ceria. Setelah sekian lama Ibunya mencari dia akhirnya ketemu juga, sehingga gilirannya untuk menjaga.

"Satu, Dua, Tiga, Empat, Lima, Enam..." seketika dia berhenti menghitung, oleh karena mendengar suara dari Ayahnya di depan pintu masuk rumah mereka.

"Hay, Maymunahke," sapaan manja Mey dari Ayahnya.

Diapun mulai berlari membuka pintu rumah mereka, namun setelah sekian lama dia memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dia tak menemukan keberadaan Ayahnya.

"Ah... Tidak ada Ayah. Mungkin ini hanyalah perasaanku saja," diapun membalikkan badannya dan melangkah menuju ke dalam rumah mereka, setelah memperhatikan keadaaan disekitar rumah mereka yang sangat sepi.

Ketika dia melangkah maju, dengan cepat Ayahnya meloncat dari balik pot bunga yang begitu besar, di samping kanan teras rumah mereka tanpa disadarinya.

Sebelumnya Mey ingin memeriksa dibalik pot itu, namun dia berpikir bahwa Ayahnya tidak mungkin bersembunyi jikalau melihat kehadirannya.

Beda halnya dengan Ayahnya, sebab dia ingin mengagetkan Ibu Esi. Hanya saja dirinya telah melakukan kesalahan dengan memanggil nama Mey.

Ketika melihat Mey, diapun berniat tak mengagetkannya. Oleh karena dia tahu bahwa Mey sangat ketakutan jikalau di kagetan dengan tiba-tiba, tetapi masih ada alternatif lain untuk memberikan surprise kepada anaknya itu, sehingga dia melakukan hal demikian.

"Tangan ini...." perkataannya terhenti. "Hm... Ayah," Mey pun memutarkan badannya dengan cepat, sehingga Ayahnya tak mampu menahan tangannya mengingat, Leher Mey pasti sangat sakit jikalau dia menahan kepalanya.

"Ehh..." Ayahnya menundukkan kepala sesaat, sebelum menggendong Mey menuju ke ruangan tamu, sembari memutar-mutarkan badannya dengan penuh tawa, yang terasa sangat bahagia diantara keduanya.

"Dimana, Ibu?" Ayahnya mulai menanyakan keberadaan Ibunya, karena melihat keadaan rumah mereka sangatlah sepi.

Mey tidak menjawabnya melainkan mengangkat jari telunjuknya, dan meletakkannya di bibir Ayahnya seakan-akan memberikan sebuah isyarat, agar Ayahnya menurunkan nada bicaranya.

Dahi Ayahnya mengkerut, serta tatapan yang penuh tanya kepada Mey, "Kenapa, Nak? Ada apa dengan Ibumu?"

Mey tersenyum tipis kepada Ayahnya, sebelum menjelaskan dimana keberadaan Ibunya, "Aku dan Ibu sedang bermain petak umpet, dan sekarang giliranku yang menjaga, sedangkan Ibu bersembunyi."

Alis mata kanan Ayahnya terangkat, sebab ia sendiri tahu bawha Ibu sama sekali tidak suka dengan hal-hal yang demikian.

"Hm..." Ayahnya tersenyum begitu lebar, menatapi Mey dengan penuh kegirangan oleh karena baru kali ini Ibu Esi bermain petak umpet bersama anaknya.

"Jikalau demikian, ayo... Kita cari, Nak."

Mey sangat senang karena baru kali ini juga, Ayahnya mengajak ia bermain petak rumput bersama Ibunya.

'Ada apa dengan Mey? Apakah dia tidak mencariku?' benak Ibu Esi penuh tanya ketika mendengar teriakan anaknya itu, namun dia tetap tidak mau keluar dari persembunyiannya, sebab dirinya menyangkah ini adalah jebakan dari Mey. Dan jikalau dia kelar dari persembunyiannya, maka Mey akan mengatahui keberadaannya.

Ibu Esi menggelengkan kepalanya pelan, serta tersenyum lebar, 'Kamu pikir Ibu akan menunjukan diri. Tidak semudah itu, Nak. Kamu mau menjebak Ibu, iya. Hmm... Tidak... Ibumu tidak akan tertipu.'

Ayahnya menghela nafas panjang dan mengelus-elus kepala Mey, sebab baru saja Mey mengingatkannya untuk diam tetapi dia sendiri tidak, "Nak, jangan berteriak... Nanti Ibumu bisa mengetahui, bahwa Ayah sudah di rumah dan dia pun keluar dari persembunyiannya."

"Iya, Yah," jawabnya tersenyum lebar, menatapi Ayahnya dengan raut wajah yang sangat ceria.

Mereka berdua pun mulai melangkah perlahan-lahan, sehingga tak terdengar sedikitpun sentakan kaki dari keduanya.

Mey melangkah menuju ke kamarnya namun Ayahnya menghentikan dia, oleh karena ransel yang dibawahnya sangatlah berat, sehingga dia memutuskan untuk menyimpan ransel itu dulu.

"Nak, sini," dia memegan pergelangan tangan kanan dari Mey, dan menyuruhnya mengikuti dia dari belakangan menuju ke kamar keluarga mereka.

Perlahan-lahan mereka memasuki kamar itu, dan Ayah langsung meletakan ransel yang dibawahnya di atas tempat tidur, sebelum memperhatikan keadaan di sekeliling mereka namun tidak ada yang mencurigakan, ketika pandangan Ayahnya tertuju pada jendela kamar itu, dia menemukan sesuatu yang mencurigakan.

"Nak, itu dia," bisiknya kepada Mey, sembari menunjuk kearah jendela itu.

Mey pun mengerutkan dahinya, dia menatap Ayahnya dengan penuh tanya, "Dimana, Yah?"

Pandangan Ayahnya tertuju pada kain jendela yang berwarna merah tua dengan panjang 2,75cm, hingga kain itu begitu panjang sampai ke lantai , sebelum mengatakan dengan nada yang begitu pelan, "Dibalik kain jendela itu, Nak."

Mey menggaruk kepalanya, "Oh... Iya, Yah," sebenarnya Mey tidak yakin, sebab dialah yang membereskan kamar itu ketika Ibunya sedang memasak, namun dia menuruti apa yang dikatakan Ayahnya, sehingga dia mulai melangkah menuju ke jendela itu.

'Kena kau, Esi,' Ayahnya mengumpat dalam hati, dengan tatapan yang sinis mengarah pada kain jendela.

"Ke..." ucapan Mey terhenti, ketika mengetahui Ibunya tidak ada disitu. Diapun mulai berdiri mematung serta menundukkan kepalanya dan menggelengkan pelan-pelan.

"Tidak ada, Yah. Ini... Hanya karena angin," dia kemudian menunjukan kain itu kepada Ayahnya, yang di tengah-tengah dari pada kain itu terdapat gelembung yang menyerupai manusia, akibat angin yang bertiup kencang.

"Hm... Iya, sudah." pinta Ayahnya, terlihat sedik ragu sebelum berjalan perlahan mengarah pada pintu dari kamar itu, "Ke..." Ayahnya dengan cepat mengarahkan wajahnya ke balik pintu kamar itu, seakan-akan mengagetkan Ibunya jikalau ada.

Terpopuler

Comments

Jazz ♋

Jazz ♋

"Hm... Iya sudah." pinta Ayahnya, terlihat sedik...................

Thor, itu ☝️☝️ sedikit
gitu ya

2022-07-01

1

🏁Nyno_Ever🏁

🏁Nyno_Ever🏁

Aku juga Phobia Darah

2022-05-16

2

Cika🎀

Cika🎀

bahagia ddpt dr hal sederhana😗

2020-11-10

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!