Rasa yang Mengganjal

Adrian tampak baru saja selesai mandi dan berpakaian. Begitu ia duduk di sebuah kursi dekat meja belajarnya sambil mengeringkan rambutnya yang basah, Adrian terlihat melirik ke arah sebuah bingkai foto di mana dalam foto tersebut, ia terlihat sedang tersenyum lebar sambil merangkul seorang pria separuh baya yang tampak sudah tua.

"I miss you, Pah," tutur Adrian pelan sambil mengambil bingkai foto tersebut dan tersenyum kecil dengan mata yang terlihat berkaca-kaca.

Adrian kembali menyimpan bingkai foto itu di atas meja belajarnya. Begitu melihat handphonenya, Adrian teringat akan sesuatu saat di mana ia dan Almeera berbincang-bincang di sebuah caffe tadi sore.

"*Sudah berapa lama menjadi Jaksa?" tanya Meera sambil meminum secangkir coffee capuccino miliknya.

"Sudah hampir 3 tahun."

"Pasti banyak banget kasus-kasus yang rumit yah di Indonesia ini?"

"Lumayan, sih. Akhir-akhir ini, kasus yang sering gue tangani itu tentang kasus penculikan dan juga pemerkosaan. Hampir 60% tingkat penculikan dan pemerkosaan di Jakarta ini meningkat pesat."

"Kadang gue nggak ngerti,Ian. Kenapa mereka harus sampai melakukan tindak kejahatan yang diatas normal seperti itu? Apa mereka tidak memiliki iman yang kuat, sampai harus melakukan hal-hal yang seperti itu?"

Adrian tertawa kecil seraya mengambil cangkir coffee expresso miliknya kemudian meneguknya.

"Tipe manusia di dunia ini berbeda-beda, Meer. Kadang ada yang terlihat baik di depan, namun sebenarnya dia orang yang bermuka dua. Kalau membicarakan iman, gue tidak berani membicarakannya lebih dalam. Hanya saja, setiap orang punya kadar imannya masing-masing. Ada yang mudah terbawa arus, ada juga yang tetap kokoh dengan keyakinannya."

Almeera menganggukkan kepalanya dan kembali meneguk cangkir coffee miliknya.

"Tapi, setiap orang mempunyai iman dan keyakinannya sejak kecil bukan?" tutur Meera hingga membuat Adrian menatap wajah Almeera dengan tatapan mata yang sedang memikirkan sesuatu. "Mereka yang melakukan tindak kejahatan yang keji seperti itu, pasti sudah memiliki keyakinannya sejak lahir. Tapi, bisa saja mereka menyia-nyiakannya bahkan menganggap sepele keyakinannya itu. Bisa jadi juga, mereka tidak percaya dengan adanya Tuhan."

Almeera memegang kalung berbentuk salib miliknya dengan erat dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. Sementara Adrian, ia tidak sengaja melihat Almeera yang tengah memegang kalung salib miliknya itu dengan pandangan mata yang sangat sulit diartikan.

"Eh, sorry-sorry. Kenapa pembahasan kita jadi berat gini. Sorry yah, Ian."

"Nggak apa-apa. Santai aja, Meer. Gue malah suka dengan pemikiran lo itu. Ternyata, pemikiran lo jauh juga, yah?"

"Ah, tidak. Gue tadi hanya asal bicara saja, padahal gue sama sekali nggak ngerti apa-apa soal hukum atau pun soal tingkah perilaku manusia di dunia ini. Toh, gue pun bukan anak psikolog yang bisa membaca karakter manusia," katanya sambil tertawa.

"Jadi, biarkanlah gue yang mengerti soal hukum yang berbicara soal hukum, yah?"

Almeera tertawa kecil hingga membuat keduanya tertawa bersama.

"Jadi, desain apa yang lo inginkan?"

"Gue ingin buat gaun untuk hadiah ulang tahun adik gue, Meer. Bulan November nanti adik gue mau lamaran. Nah, si gaunnya itu pengen gue kasih buat acara Prewednya dia. Soalnya, adik gue pernah bilang, pengen banget pas Prewednya dia itu, dia pakai gaun ala ala vintage gitu. Tapi, masih pengen ada sisi modernnya."

"Oh, gitu. Di mix gitu kali yah maksudnya. Oke, nanti gue buatkan beberapa desain yang oke buat adik lo. Jadi, sabar untuk menunggu, yah*?"

"*Makasih banyak yah, Meer."

"Iya, sama-sama, Ian*."

Mengingat kejadian sore tadi saat bersama Almeera, membuat Adrian menyadari akan sesuatu hal. Ia sebenarnya menyimpan rasa kagum kepada wanita yang baru saja ia kenal beberapa jam yang lalu itu.

Hanya saja, rasa kagum itu membuatnya harus membatasi akan sesuatu hal. Dan, itu menyebabkan dirinya tidak boleh melangkah terlalu jauh kalau tidak ingin menyebabkan hal-hal yang tak diinginkan terjadi.

Esok harinya, Adrian terlihat sedang meminum cangkir berisi teh yang baru saja dibuatkan oleh ibunya di ruang makan. Sambil membaca koran, Adrian kembali meminum cangkir isi teh miliknya itu.

"Ian," panggil sang ibu yang baru saja menyimpan beberapa hidangan makanan di atas meja.

"Iya, Mam?"

"Kapan kamu mengenalkan calon istrimu sama mamah?"

Mendengar kata calon istri, tiba-tiba saja Adrian langsung tersedak dengan teh yang baru saja ia minum.

"Mam, calon istri dari mana, sih? Ian punya pacar aja nggak, apa lagi calon istri."

"Ian, mamah sudah tua. Kedua kakakmu juga sudah menikah, adikmu mungkin akan segera menyusul. Kamu kapan, Ian?"

Adrian melipat koran miliknya dan menyimpannya di atas meja, kemudian menatap wajah ibunya yang sudah terlihat tua itu dengan tatapan mata yang hangat dan penuh kasih sayang.

"Mam, Ian masih muda. 30 tahun aja belum, Ian masih menikmati masa-masa muda Ian. Lagian, Ian masih senang bekerja. Jangankan buat mikirin soal cewe, kerjaan Ian aja banyak banget. Gak ada waktu Ian mikirin soal pernikahan."

"Tapi, pernikahan itu dalam Islam hukumnya wajib, Ian. Memangnya, kamu mau selamanya sendirian terus?"

"Ya, nggaklah, Mam. Siapa juga yang mau hidup sendirian. Kan, ada masanya di mana Ian bakalan nikah. Tapi, nggak sekarang."

Sang ibu menghela nafas pendek dan menggenggam kedua tangan anak laki-lakinya itu dengan erat.

"Nak, ingat pesan almarhum papahmu, kan?"

Mendengar ibunya mengatakan tentang pesan almarhum papahnya, ekspresi wajah Adrian berubah menjadi terlihat sedih dan juga putus asa.

"Ian tahu ko, Mam. Ian gak lupa."

"Syukurlah kalau tidak lupa. Ya sudah, ayo, kita sarapan. Nanti kamu telat lagi ke kantor."

Adrian mengangguk. Setelah selesai sarapan bersama ibunya dan berpamitan, Adrian langsung bergegas pergi ke kantor dengan menggunakan mobil Pajero miliknya.

Selama di perjalanan, Adrian terlihat diam dan memikirkan banyak hal di dalam fikirannya itu. Wajahnya terlihat serius sekali. Begitu mendengar handphonenya berdering, Adrian langsung melirik ke arah handphonenya yang berada di dashboard.

Saat melihat melihat nama Almeera di layar handphonenya, Adrian pun langsung mengangkat telepon darinya.

"*Iya, Meer, kenapa?"

"Desain yang elo minta udah gue kerjain semalam. Mau lihat nggak?"

"Boleh."

"Hmm, nanti malam lo ada waktu gak? Kalau ada waktu lo datang aja ke Butiq gue. Nanti gue Whatssapp alamatnya di mana."

"Oke, jam 9 malam gimana*?"

"*Oke, gue tunggu di Butiq, yah."

"Sipp*."

"*Oh iya, jangan lupa gue minta ukuran badan adek lo yah, Ian."

"Iya, thanks ya, Meer*."

Setelah menutup telepon dari Meera, Adrian kembali fokus menyetir. Sebenarnya, ada beberapa hal yang mengganjal di hatinya setelah pertemuannya kemarin dengan Almeera. Hanya saja, Adrian sendiri tidak mengerti apa yang mengganjal di hatinya itu. Mau melangkah, takut akan menjadi hal yang menjadi rumit. Tapi??

Ya Allah. Ucap Adrian dalam hati.

Terpopuler

Comments

ptr_25

ptr_25

Ijin promo ya kak. 🥰

yuk mampir di karya aku yang berjudul " My Teacher Is Mine" menceritakan kisah cinta murid dan gurunya.

tinggalkan jejak ya kk🥰🥰💙💙💙
pasti aku feedback 😇😇😇

2020-10-02

1

ptr_25

ptr_25

semangattt up

2020-10-02

1

ptr_25

ptr_25

bomlike dan rate 5 dariku

2020-10-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!