Gerobak dan Kakek Tua

Meera duduk di sebuah bangku panjang berwarna putih. Ia terlihat sedang membaca sebuah buku, di mana buku tersebut merupakan sebuah novel yang cukup tebal dengan cover bukunya yang terlihat berwarna cerah dan cukup menarik untuk di lihat.

"Elo lagi baca apa , Meer?" tanya seseorang yang langsung saja duduk di samping Meera dan membuka sebuah kaleng minuman kemudian meminumnya.

"Gue lagi baca novel buatan kakak gue. Kemarin lusa, kalo gak salah baru aja di rilis." Meera masih menatap lembar demi lembar novel yang dibalut kertas berwarna kecoklatan itu dengan seksama.

"Oh, kak Sekar ya, Meer?" tanyanya lagi hingga membuat Meera menganggukkan kepalanya, dengan mata yang masih mengarah ke arah novel yang di bacanya. "Meer," panggilnya kembali.

"Hmmm . . ."

"Gue putus sama Reza."

Meera langsung mengalihkan pandangan matanya ke arah seorang perempuan yang duduk di sampingnya dengan ekspresi wajah yang cukup terkejut. Dia langsung menutup buku miliknya, kemudian menggenggam tangan perempuan yang berada di hadapannya itu.

"Bukannya kalian mau tunangan? Kenapa tiba-tiba kalian putus? Ko, tiba-tiba banget?"

"Ya, susah sih buat tunangan juga, Meer. Orang tuanya gak setuju Reza married sama gue."

"Tapi, kenapa? Bukannya, hubungan lo sama Reza baik-baik aja?"

"Perbedaan keyakinan, Meer. Selama hampir 2 tahun pacaran sama Reza, gue baru tau banget kalo ayahnya Reza itu seorang ustadz. Pantas aja selama ini Reza kaya yang ragu gitu kalau sedang membicarakan soal pernikahan. Apalagi, dia gak pernah cerita soal latar belakang keluarganya. Keluarganya tuh islami banget, Meer."

Almeera kembali mempererat genggangam tangannya dan menatap sahabat yang duduk di sampingnya itu dengan sorotan mata iba.

"Bukannya orang tuanya Reza baik sama lo, Sil?"

"Baik sih memang. Tapi, selama 2 tahun pacaran, gue cuma beberapa kali aja ketemu sama orang tuanya Reza. Keseringannya sih, Reza yang ketemu keluarga gue. Jadi, gue nggak tahu banyak juga tentang keluarganya."

Meera menghela nafas pendek dan kembali menatap wajah sahabatnya itu dengan seksama.

"Elo sayang banget ya sama Reza?"

"Gue sayang banget sama Reza, Meer. Walau gue tahu sih pada akhirnya kita akan ribet dan bermasalah soal perbedaan keyakinan kita. Tapi, Reza itu pria yang sangat berbeda dari kebanyakan pria lainnya."

"Gue ngerti ko, Sil. Gue ngerti perasaan lo buat Reza gimana. Tapi, lo sendiri tahu kan ending hubungan lo sama Reza bakalan gimana? Kan, dari awal lo pacaran sama Reza juga, gue udah sering banget nasehatin lo."

Sesilia. Sahabat Meera sejak masih SMP hingga sekarang yang sama-sama berprofesi sebagai Model. Sahabat di mana tempat untuk saling berbagi suka maupun duka, senang maupun susah, teman untuk berkeluh kesah dan masih banyak hal lainnya.

"Meer, apa dulu saat bokap dan nyokap lo married, nyokap lo galau gak sih?" tanya Sesilia tiba-tiba hingga membuat Meera melepas genggaman tangannya dan mengalihkan pandangan matanya.

"Gue nggak tahu percis, Sil. Gue gak pernah berani menanyakan soal itu lebih dalam ke nyokap."

"Apa gue?"

"Sil," potong Meera dengan cepat. " Jangan terburu-buru mengambil keputusan kalo pada akhirnya nanti lo akan menyesal. Pernikahan itu suci, bukan sebuah permainan. Tuhan tidak suka jika kita mempermainkan sebuah pernikahan apalagi mempermainkan Nya. Jangan gegabah dalam bertindak sebelum lo mengkaji masalah ini lebih dalam."

Sesilia tertegun. Ia menundukkan kepalanya dan terlihat begitu gelisah. Selama 2 tahun menjalin hubungan memang bukan waktu yang sebentar.

Sejak dulu, Sesil sendiri tahu resikonya jika berhubungan dengan seseorang yang berbeda keyakinan dengannya. Apalagi jika hubungan mereka semakin dalam dan menjurus ke dalam suatu hubungan yang semakin serius.

"Jangan sampai apa yang menimpa nyokap bokap gue, lo alami juga, Sil. Gue nggak mau lo kaya gitu, gue ingin lo bahagia lahir batin," tutur Meera dengan ke dua bola mata yang berkaca-kaca.

Setelah percakapannya dengan Sesilia. Meera duduk termenung di dalam mobilnya seraya memikirkan beberapa hal yang cukup rumit di dalam fikirannya.

Ia kembali memandangi bingkai foto di mana di dalam foto tersebut ada foto dirinya bersama keluarganya yang bisa dibilang tidak utuh.

Saat tengah memandangi foto kebersamaan dirinya bersama keluarganya, Meera tidak sengaja melihat seorang kakek tua yang tengah mendorong sebuah gerobak yang berisi kardus-kardus bekas. Namun, entah kenapa kardus-kardus itu tiba-tiba saja berjatuhan dan berserakan di dasar tanah.

Karena merasa tak tega, Meera langsung membuka pintu mobil dan keluar untuk membantu kakek tersebut. Saat tengah membantu kakek itu untuk mengambil kardus-kardus yang berserakan di dasar tanah, tiba-tiba saja seorang pria bertopi putih datang menghampiri Meera dan kakek tua itu untuk membantu mengambil kardus-kardusnya.

"Terima kasih banyak, Nak," ujar kakek tua itu terbata-bata.

"Sama-sama, Kek. Kakek mau ke mana? Biar saya antar," tutur Meera pelan.

"Kakek mau ke mesjid sana, mau sholat ashar dan istirahat sejenak," jawab si kakek sambil tersenyum tipis.

"Saya bantu dorong gerobaknya yah, Kek," ujar si pria bertopi putih itu sambil membantu si kakek mendorong gerobak miliknya.

Melihat pria bertopi putih itu mendorong gerobak si kakek, Meera pun ikut membantunya. Meera dan di pria bertopi putih itu pun saling melempar senyum.

"Kasian yah kakek tua itu." Meera kembali membuka suara ketika kakek tua itu tengah mengambil air wudhu untuk menjalankan ibadah sholat ashar. "Sudah tua, tapi masih bekerja untuk mencari nafkah."

"Beliau adalah sosok yang pekerja keras. Saya sering melihat kakek itu di daerah sini."

"Oh, begitu."

"Hmm, mbanya mau ke mana?" tanya pria itu tiba-tiba.

"Oh, saya mau pulang, Mas."

"Hm, kalau gitu hati-hati di jalan, Mba. Saya tinggal sholat dulu. Mari, Mba."

"Oh, iya makasih banyak, Mas. Mari juga, Mas."

Setelah kepergian si pria bertopi putih itu, Meera membalikkan badan dan kembali melangkahkan kakinya menuju tempat di mana mobilnya terparkir.

"Mba!!" teriak si pria bertopi putih itu tiba-tiba hingga membuat langkah Meera terhenti.

"Iya, Mas? Kenapa?"

"Hati-hati di jalan."

Meera tampak bingung, tapi lambat laun ia tertawa kecil.

"Kan, tadi masnya udah bilang."

"Oh, iya. Saya lupa, maaf."

Meera kembali tertawa hingga membuat si pria bertopi putih itu menundukkan kepalanya karena malu.

"Iya, santai aja, Mas. Silahkan, lanjutkan kembali ibadahnya."

"Iya, Mba."

Meera melangkahkan kakinya menuju parkiran mobil. Saat masuk ke dalam mobil, ia kembali tersenyum tipis saat mengingat kembali interaksi singkat antara dirinya dengan si pria bertopi putih yang ikut membantu si kakek tua tadi bersamanya.

"Lucu sekali pria itu," katanya pelan kemudian menjalankan mobilnya dengan perlahan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!