Malam itu, mereka bertemu di bar yang penuh dengan lampu kelap-kelip dan musik hingar bingar yang seolah menenggelamkan suara hati yang kalut. Yuki sudah menyiapkan segalanya sebelum benar benar pulang karena yakin rencana mereka pasti akan berhasil – sebuah obat perangsang yang diam-diam ia masukkan ke dalam salah satu gelas minuman. Cairan bening yang tak berbau itu melarut sempurna, menyatu dalam minuman berwarna gelap yang nantinya akan menjadi awal dari segalanya.
Namun, rencana yang tampak rapi itu mulai goyah saat Aurora sendiri mulai kehilangan kendali. Mungkin karena minuman yang terus ia teguk tanpa jeda. Kesadarannya perlahan memudar, dunia di sekelilingnya terasa semakin buram, dan batas antara benar dan salah perlahan terkikis.
Saat gelas itu akhirnya sampai di tangannya Sean, Sean tiba-tiba menerima panggilan telepon. Ia berdiri, beranjak ke sudut bar yang lebih sepi, meninggalkan gelasnya di meja tanpa banyak pikir. Aurora yang setengah mabuk tak menyadari bahwa seorang pria lain, dengan langkah tenang, mengambil tempat di sampingnya. Sebelum ia sempat berpikir jernih, pria itu sudah meraih gelas yang seharusnya untuk Sean, meneguknya dalam sekali tegukan seolah sedang berusaha melupakan dunia.
Aurora tak mampu mengingat lebih banyak. Bayangan itu menjadi semakin kabur, terdistorsi oleh alkohol dan kepanikan. Ia hanya samar-samar ingat tangan asing yang tiba-tiba merayap ke pahanya, bibir yang tak ia kenali mendarat di bibirnya, lalu dunia berputar dalam kegelapan yang membingungkan. Saat kesadarannya perlahan kembali, Aurora mendapati dirinya terbaring di atas ranjang, tanpa sehelai kain pun menutupi tubuhnya. Jantungnya berdegup kencang, keringat dingin membasahi kulitnya yang pucat, namun otaknya menolak bekerja untuk menghubungkan semua potongan peristiwa itu.
Ya, Aurora memang merencanakan ini untuk Sean – pria yang telah menjadi pusat dunianya sejak masa sekolah. Pria yang membuatnya jatuh cinta, tapi juga membuatnya tersiksa. Namun, rencana itu berubah menjadi kekacauan yang jauh di luar dugaannya, sebuah keputusan yang kini menghantuinya setiap detik. Cinta dan amarah telah membutakannya.
Aurora menatap Yuki dengan mata menyala, ekspresi wajahnya penuh dengan frustrasi yang sulit disembunyikan. "Yuki Sialan!" serunya dengan nada tajam, menggenggam tespek itu lebih erat seolah benda kecil itu adalah satu-satunya yang bisa menenangkan pikirannya. "Kau tahu aku sudah telat seminggu!" lanjutnya menatap kesal sepupu sialannya ini.
Yuki, yang masih bersandar santai di atas ranjang dengan ponselnya, hanya melirik sekilas. Ia menghela napas pelan, nyaris tak peduli dengan kegelisahan sepupunya yang semakin jelas terpancar di setiap gerakannya. "Mungkin itu cuma karena kau stres saja," ujarnya dengan nada yang nyaris terdengar bosan. "Kau sudah sering mengeceknya, kan? Hasilnya selalu negatif." Ia menambahkan sambil menyandarkan kepalanya ke bantal, matanya kembali terfokus pada layar ponselnya
Aurora mendengus keras, tangannya semakin mengeratkan genggaman pada tespek di tangannya, seolah mencoba menyalurkan seluruh kecemasan dan amarahnya ke benda plastik kecil itu. "Tolong ingatkan aku," ucapnya dengan suara yang lebih rendah namun penuh tekad, pandangannya lurus ke depan seolah berbicara pada dirinya sendiri. "Jika ini tetap negatif, maka ini akan menjadi yang terakhir kalinya aku mengecek," lanjutnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri meski hatinya masih penuh keraguan.
Yuki hanya memutar bola matanya, menghela napas pelan dengan ekspresi malas yang tak lagi bisa disembunyikan. Ia tahu Aurora keras kepala, dan mencoba menenangkan gadis itu sama saja seperti mencoba menenangkan badai di tengah laut – nyaris mustahil. Namun, Yuki memilih diam, membiarkan Aurora bergulat dengan pikirannya sendiri, berharap sepupunya itu segera kembali ke akal sehatnya sebelum semuanya semakin rumit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Cindy
lanjut
2025-05-10
0