Sebulan Berlalu..
Aurora menenteng plastik belanjaannya dengan langkah tergesa, melintasi lorong apartemen yang sepi namun terasa begitu sempit malam itu. Setiap langkahnya bergema di dinding-dinding yang dingin, seolah mempertegas kegelisahan yang berdenyut di dadanya. Sesampainya di depan pintu apartemen, tangannya gemetar saat menggeser kartu kunci, dan ketika pintu berderit membuka, ia segera masuk, menutup pintu rapat-rapat seakan ingin mengunci semua kecemasan di luar sana.
Ia bersandar sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya, namun tetap saja jantungnya berdetak liar, memukul-mukul rusuknya dengan cemas. Aura ruang apartemen yang biasa terasa nyaman kini terasa menyesakkan, seolah udara yang dihirupnya tak pernah cukup mengisi paru-parunya.
Di sudut ruangan, Yuki yang tengah duduk di atas ranjang sambil memainkan ponselnya melirik sekilas. Alisnya terangkat tipis, namun bibirnya tetap malas bergerak. "Ada apa dengan wajahmu?" tanyanya tanpa melepaskan pandangannya dari layar, jarinya masih sibuk menggulir pesan-pesan yang berhamburan. "Kau seperti habis dikejar setan saja," lanjutnya dengan nada setengah acuh.
Aurora hanya diam, mengabaikan sindiran Yuki. Langkahnya berderak pelan mendekati ranjang, lalu tanpa banyak bicara, ia menjatuhkan plastik belanjaannya. Plastik belanjaan dari supermarket yang penuh dengan barang kebutuhan sehari-hari terburai di atas kasur, bergulir pelan hingga ke tepi ranjang, menambah kesan berantakan pada ruangan yang sepi itu.
Aurora memandang barang-barang itu dengan tatapan kosong, sementara pikirannya terus melayang pada kekacauan yang tak pernah berhasil ia lupakan selama sebulan terakhir.
Aurora menangkap benda kecil yang baru saja dia keluarkan dari plastik belanjaannya. Tangan mungilnya langsung menggenggam erat tespek itu, seolah berat untuk melepaskannya. Pandangannya kosong, terfokus pada alat kecil yang kini seolah menjadi penentu nasibnya.
Yuki meliriknya lagi, menghela napas panjang. Suara gesekan jarinya yang terus-menerus menggulir layar ponsel kini terhenti. Matanya memperhatikan Aurora dengan sedikit rasa jengkel yang disamarkan di balik wajah malasnya. "Kau masih saja membelinya, lagi dan lagi?" ujarnya, bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang penuh dengan nada skeptis. "Astagaa, Aurora... Kau sudah meminumnya, bukan? Pil itu seharusnya cukup. Tenang saja," lanjutnya, suaranya berusaha terdengar santai meski ada nada sedikit gemas karena melihat sepupunya masih saja terlihat resah.
Aurora tidak menjawab. Tangannya mengeratkan genggamannya pada tespek itu, seolah takut melepaskannya. Pandangannya kosong menatap lantai, pikirannya terjebak dalam kekalutan yang terus menggerogoti hatinya.
Yuki hanya menggeleng pelan, kembali menatap ponselnya, mengabaikan wajah Aurora yang masih saja dibayangi kecemasan. Sudah sebulan berlalu, tapi Aurora belum juga berhasil melupakan apa yang terjadi malam itu. Semua kenangan yang berputar seperti film buruk di kepalanya seakan menolak untuk pudar, membekas di setiap sudut pikirannya, menggerogoti kewarasannya sedikit demi sedikit.
Nyatanya, Aurora memang tidak pernah benar-benar bisa tenang. Kenangan itu terus menghantuinya, membuat dadanya sesak setiap kali mengingatnya, seakan waktu yang berlalu hanya menambah beban di hatinya.
Setelah malam itu berlalu, ingatan Aurora mulai kembali perlahan, menyusun potongan-potongan kejadian yang tadinya terasa kabur dalam benaknya. Semua berawal dari rencana yang ia susun dengan Yuki. Malam itu, mereka sudah merencanakan semuanya dengan hati-hati. Aurora, dengan hatinya yang penuh cinta namun juga dendam, mengundang Sean untuk minum bersamanya setelah bekerja. Rencananya sederhana tapi berbahaya – sebuah usaha terakhir untuk merenggut Sean dari wanita lain, dari tunangannya, yang tak lain adalah musuh bebuyutan Aurora sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments