Aku tidak akan menyalahkanmu. Justru di sini akulah yang salah karena terlalu percaya dan berekspektasi terlalu tinggi padamu.
***
Estelle mengendap-endap ketika sampai di perkarangan rumahnya, bahkan tadi ia juga memberikan tip lebih pada satpam rumahnya. Namun usahanya sia-sia saja saat melihat kedua kakak laki-lakinya yang ternyata sudah menunggunya di depan pintu.
“Puas main?” Estelle hanya berdehem pelan lalu dengan ekspresi datar ia melewati keduanya. Terlihat berani memang, namun debaran jantung gadis itu tidak bisa membohongi; gadis itu takut.
“Gue mau kuliah ke Jerman.” Langkah Estelle terhenti, menunggu kalimat selanjutnya dari Axelle.
“Ya, gue emang ngomong ke mommy kalau gue capek ngurusin elo. Gue kira mommy bakalan ngeluangin waktunya buat lo, tapi ternyata engga-”
“Dia malah mau jodohin aku sama kak Adam,” potong Estelle seraya berbalik. Mata gadis itu sudah berkaca-kaca mendengar pengakuan Axelle. Tidak, memang dasarnya gadis itu ingin menangis sejak tadi pagi dan sekaranglah puncaknya. Axelle mengangguk pasrah mendengarnya, dia bisa menangkap kemarahan sekaligus kesedihan sang adik dari nada bicaranya.
Jacob yang sejak tadi diam saja pun mulai berjalan mendekati Estelle. “Estelle capek, besok lagi aja gobrolnya.” Jacob langsung diam membeku setelah mendengar penolakan dari sang adik. Seumur hidupnya, baru kali ini Estelle bersikap seperti ini padanya.
Melihat senyum yang terukir di wajah adiknya, membuat luka sayatan sendiri di hati Axelle. Aku melukainya, pikir laki-laki itu.
Jacob menghembuskan napas panjang setelah sadar dari lamunannya. “Merasa bersalah?” tanyanya pada Axelle seraya tersenyum miring. Axelle mengacak rambutnya frustrasi.
“Mending dia ngamuk-ngamuk ke gue, Bang! Lo liat gak tadi?! Dia bahkan senyum pas lagi nangis gitu!”
“Kasih dia waktu, Axelle. Apalagi lo bilang mau ke Jerman… lo gak inget waktu gua mau berangkat ke Jerman dulu?” Axelle terdiam mendengar perkataan sang abang. Jacob menepuk pundak Axelle pelan dan berjalan ke kamar Estelle yang saat ini kembali menjadi kamar miliknya.
Di sisi lain ….
Estelle melempar tasnya ke sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Dia kembali mengingat perkataan Axelle tadi, dia tidak masalah jika sang mommy akan menjodohkannya dengan siapa pun. Namun kenyataan bahwa keluarganya merasa repot saat mengurusnya, entah kenapa membuat dadanya sesak.
Hari ini sangat melelahkan, tidak hanya emosinya yang terkuras … dompetnya pun ikut terkuras saat Joyceline mengajaknya bolos ke mall.
Untung saja dia tidak jadi menggunakan ATM-nya untuk membeli sepatu itu. Kalau ia sampai jadi menggunakan ATM-nya, maka sia-sia saja usahanya menyisihkan uang untuk membeli album terbaru BTS nanti.
Semenjak dia jadi K-Popers, dia jadi orang yang paling rajin menabung untuk bisa membeli semua album dan pernak-pernik resmi idolanya. Satu hal yang sampai saat ini belum bisa ia dapatkan, tiket konser. Selain selalu kehabisan, gadis itu juga tidak pernah mendapatkan izin dari Axelle untuk menemui langsung para idolanya itu.
Deringan ponselnya membuat Estelle tersadar dari lamunannya.
Anu is calling ….
Estelle langsung semringah melihat nama kontak yang tertera di layar ponselnya. Dengan cepat ia langsung mengangkat panggilan itu.
“How ur day?”
“Hm, not bad …,” balas Estelle.
“Kapan kamu jadi pindah ke sini?” tanya Estelle menagih janji yang pernah dikatakan oleh laki-laki itu setahun yang lalu.
“Nah itu dia yang mau aku bahas. Kamu ngerengek ya sama ayah seminggu yang lalu?”
Estelle tidak mengatakan apa pun, tetapi gadis itu tertawa sebagai jawabannya. “Wae? Emangnya ayah ngomong apa?”
“Kamu pasti nyuruh Estelle buat bujuk ayah, ya? Seminggu yang lalu dia telepon ayah sambil nangis-nangis supaya ngizinin kamu tinggal di Jakarta.”
“Terus kamu bales apa?” tanya Estelle.
“Ya aku bales gini lah, ‘dih siapa yang nyuruh. Orang aku mah gada keinginan tinggal di Jakarta … itu mah buat nurutin permintaan anak gadis ayah aja.’ Abis itu dia ngasih izin deh buat pindah. Dia juga udah nyuruh sekretarisnya buat atur sekolah aku juga di sana.”
“Oh, ya? Kamu sekolahnya bareng aku, ‘kan?” tanya Estelle penasaran.
“Kayaknya engga deh.”
“YAK!!” teriak Estelle kesal.
“Hahaha bercanda kok bercanda. Pasti lah, kan aku pindah buat nemenin kamu, masa iya gak bareng?”
“Jadi kapaannn ke sininya??” rengek Estelle tak sabar.
“Lusa, maybe?”
“Serius? Jinjja? Jeongmal? Aaaaa seneng bangett!!” Saking senangnya, Estelle sampai melompat turun dari kasur. Boneka anjing kuning kesayangannya pun sudah terkena gigitan antusiasnya.
“Kalau gitu lusa aku langsung ke mansion utama ayah aja ya?” tanya Estelle memastikan.
“Iya, tunggu ya.”
*
*
*
Paginya ….
Tok! Tok!
“Boleh Abang masuk?”
Estelle bangkit dari tempat tidurnya dan membukakan pintu kamarnya. Dia terdiam karena bingung harus bagaimana saat melihat Jacob yang tersenyum manis padanya sekarang. Mencurigakan, batinnya.
“Masuk aja,” ucap Estelle mempersilahkan Jacob untuk masuk.
Gadis itu melakukan rutinitasnya tanpa memerdulikan Jacob, selain tidak tahu harus berbicara apa … Estelle juga harus segera bergegas karena Joyceline sudah sarapan dan akan segera menuju ke rumahnya.
Melihat Estelle yang sudah mandi jam segini, membuat Jacob mengerti jika gadis itu akan keluar pagi ini. “Kamu mau pergi?” tanyanya memastikan.
Estelle hanya mengangguk mengiyakan. Ia menghentikan langkahnya saat ingin masuk ke walk in closet dan berbalik menghadap sang abang. “Abang mau ngapain? Kalau mau ngomong sesuatu cepetan.”
Jacob melipat tangannya di depan dada seraya menatap Estelle dengan tajam. “Kamu udah berani merintah Abang?” Estelle menghembuskan napas panjang saat mendengar ancaman Jacob.
“Aku bukan anak kecil lagi, Bang. Cara kaya gitu udah gak mempan buat aku.” Setelah berkata seperti itu, Estelle langsung masuk ke walk in closet.
Jacob membeku di tempatnya. Sudah dua kali rasanya Estelle bersikap seperti ini padanya. Sebenarnya apa yang dialami adik bungsunya selama ia tidak berada di sini? Hal apa saja yang sudah ia lewatkan beberapa tahun ini?
Enggan bertanya-tanya sendiri tanpa mendapatkan jawaban, Jacob pun memutuskan untuk segera keluar dari kamar Estelle dan mulai mencari tahu sendiri.
Estelle yang telah mengenakan pakaiannya pun keluar dari walk in closet, dia melihat seisi kamarnya yang kosong. Bang Jacob dimana? pikir gadis itu. Estelle lagi-lagi tenggelam dalam lamunannya saat sedang menyisir rambut, entah apa yang ada di pikiran gadis itu sampai tidak sadar dengan kehadiran Axelle di kamarnya.
Axelle menghembuskan napas kasar saat perkataannya sama sekali tidak digubris oleh Estelle, bahkan gerakan tangan gadis itu berhenti. Ia pun berinisiatif untuk mengambil alih sisir itu dan mulai menyisiri rambut Estelle dengan telaten. “Kakak ngapain?” tanya Estelle sedikit terkejut namun tetap membiarkan Axelle menyisiri rambutnya.
Estelle tersenyum tipis saat tatapan matanya bertemu dengan tatapan Axelle di cermin.
“Kenapa?” tanya Axelle heran dan hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Estelle.
Axelle kembali memberikan sisirnya pada Estelle. “Kakak ngapain ke sini?” tanya Estelle saat kakaknya itu akan meninggalkan kamarnya.
Axelle berbalik dan teringat tujuan awal ia masuk ke dalam kamar Estelle. “Oh iya, ada temen kamu nyariin di bawah.”
Kedua mata Estelle membola. “Kenapa gak bilang dari tadi? Udah lama ya?” Panik, Estelle langsung menyiapkan dompet dan ponselnya.
Axelle mengecek jam tangannya. “Sekitar sepuluh menit yang lalu.” Mendengar jawaban Axelle, Estelle langsung keluar dari kamarnya dengan berlari.
Gadis itu mengatur napasnya terlebih dahulu sebelum menghampiri Joyceline yang kini tengah berdiri membelakanginya.
“Lama ya?” tanya Estelle membuat Joyceline berbalik badan dan menggeleng pelan padanya.
Jacob turun dari lantai atas dengan wajah datar. “Mau kemana?” tanyanya dengan wajah yang tidak bersahabat. Ia masih kesal dengan Estelle, mengingat kemarin gadis itu bolos tanpa seizinnya.
Estelle menahan Joyceline yang hendak berbicara dengan sang abang. “Mau main, jadi gak usah heboh kaya kemaren,” jelas Estelle dengan nada malas.
Axelle menggiring Estelle dan Joyceline ke depan pintu, mengabaikan teriakan Jacob yang masih menuntut penjelasan lebih dari Estelle. “Udah kalian keluar aja. Selagi libur main sepuas-puasnya. Jadi, pas waktunya sekolah gak bolos kaya kemaren.”
Estelle mengecup pipi Axelle saat akan pergi, laki-laki itu tersenyum puas saat melihat tatapan galak dari sang abang. “Mentang-mentang udah baikan,” sindir Jacob yang tidak dihiraukan sama sekali, baik oleh Axelle maupun Estelle karena sebenarnya mereka belum benar-benar berbaikan.
Setelah Estelle dan Joyceline pergi, Jacob menghampiri Axelle dengan wajah serius.
“Jadi, kapan berangkat ke Jerman?” Ekspresi wajah Axelle langsung berubah saat Jacob membahas tentang rencana kuliahnya.
Axelle menghembuskan napas kasar. “Seminggu setelah kelulusan.” Jacob terdiam, dia tahu kalau Axelle sebenarnya tidak ingin berangkat ke Jerman. Itu juga yang dirasakannya saat meninggalkan kedua adiknya enam tahun lalu.
Jacob menepuk-nepuk pundak Axelle pelan. “Gue bakal jagain Estelle karena dia adik perempuan gue satu satunya.” Axelle mengangguk seraya tersenyum, dia percaya jika abangnya ini akan menjaga Estelle dengan baik. Tapi akankah dia baik-baik saja tanpa Estelle di sana?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments