2

Sepasang mata itu bersinar sangat cantik dan tanpa sadar membuatku terpikat.

***

Estelle menggerutu sepanjang koridor. Belum seminggu ia bersekolah di sini, catatan siswanya sudah tercoreng poin terlambat tiga kali karena Axelle selalu meninggalkannya beberapa hari ini dan yang lebih parah laki-laki itu tidak membangunkannya.

Ini sudah masuk jam pelajaran ke-2 dan Estelle belum sampai juga di dalam kelas. Ketar-ketir? Tentu saja. Biasanya ia bisa selamat sampai di kelas tanpa hukuman lagi karena sebelum jam perlajaran ke-2 dimulai ia sudah ada di kelas. Namun sekarang? Estelle ragu ia akan selamat kali ini.

Dan benar saja, akhirnya Estelle berakhir di toilet wanita bagian koridor barat yang ada di lantai dasar; yang mana merupakan toilet yang paling sering dipakai di sekolah ini. Jangan ditanyakan lagi bentuknya seperti apa.

Satu-satunya keberuntungannya pagi ini adalah ia berpapasan dengan salah satu petugas kebersihan yang memang berencana akan membersihkan toilet yang akan ia bersihkan. Jadi, ia tidak perlu susah-susah mengambil peralatan kebersihannya dan langsung mengerjakan hukumannya.

“Ibu tinggal dulu. Nanti begitu ibu kembali, ibu akan cek. Kalau belum bersih … jangan harap kamu bisa masuk ke dalam kelas.” Estelle hanya mengangguk pasrah mendengarnya.

Sudah hampir setengah jam Estelle membersihkan toilet ini dan semua bilik toilet sudah ia bersihkan. Dalam hati ia berdoa hasil kerjanya ini cukup bersih dan bu guru galak tadi mau memperbolehkannya masuk ke dalam kelas setelah ini.

Estelle keluar dengan segala peralatan yang ia pakai tadi untuk mencari angin. Ia memilih untuk duduk di salah satu bangku panjang yang ada di koridor tersebut. Sesekali, ia mengelap keringatnya dengan punggung tangannya yang tidak kotor.

“Ibunya mana sih dari tadi gak balik-balik?” gerutu Estelle sebal. Kedua matanya menyipit saat mendapati sang kakak dan teman-teman sekelasnya sedang berolahraga  di lapangan tepat di hadapannya. Refleks ia menutupi sebagian wajahnya dengan lap yang ia pakai untuk bebersih tadi.

Mata bulatnya mengawasi pergerakan sang kakak bersama dua teman dekatnya yang kini asik bermain bola basket dengan penuh semangat. Estelle bisa melihat kebahagiaan dan kepuasan Axelle saat berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

Kini perhatiannya teralih pada Adam yang tampak begitu serius menghadapi sang kakak. Wajah adonis Adam kembali membuat Estelle berdecak kagum untuk ke-sekian kalinya. Tak bisa ia pungkiri, ia selalu terpesona oleh wajah rupawan milik Adam. Bahkan seringaian Adam yang saat ini berhasil menyamakan skor pun tampak begitu seksi di matanya.

Tanpa sadar, Estelle tidak lagi menutupi wajahnya dan beralih menggerakkan lap tersebut sebagai pom-pom milik cheerleader, menyemangati Adam diam-diam tanpa laki-laki itu tahu.

“Sudah selesai?” tanya guru yang tadi memberikan hukuman pada Estelle.

“Hah? Hah? I-iya, Bu. Tapi saya minta maaf ya kalau menurut Ibu toiletnya gak bersih. Saya gak pernah bersih-bersih soalnya, Bu.” Estelle mengekori guru tadi masuk ke dalam toilet. Guru tadi hanya mengangguk mendengar penjelasan Estelle.

“Ya tidak apa-apa. Kamu boleh masuk ke kelas sekarang,” ujar sang ibu yang langsung pergi dari sana meninggalkan Estelle yang terlebih dahulu harus membereskan peralatan bebersihnya tadi.

Sebelum pergi, Estelle mendekat ke arah lapangan untuk melihat Adam lebih dekat. Tatapan Estelle terus mengikuti arah pergerakan Adam di lapangan. Saking asiknya ia memperhatikan Adam, Estelle sampai tidak sadar dengan Axelle yang sudah berjalan menuju ke arahnya.

Saat tatapan matanya bertemu dengan sepasang mata milik Adam, barulah Estelle mengalihkan pandangannya. Semua itu tak luput dari mata elang sang kakak, Axelle.

“Stelle, what are you doing in here?” tanya Axelle dengan dahi mengerut tidak suka. Jangan lupakan fakta Axelle melihat betapa terkesimanya Estelle pada sang sahabat.

Estelle gelagapan tetapi berusaha tersenyum manis untuk menutupinya. “Liat kak Axelle dong.” Gadis itu dengan semangat mendekat ke arah sang kakak dan memeluk lengannya manja. Lagi-lagi tidak sadar kelakuannya itu membuat perhatian semua orang yang ada di sana tertuju padanya.

“Jangan nempelin gua dulu! Emang gak kebauan apa gua lagi keringetan gini?” Meski begitu Axelle tidak mendorong Estelle menjauh darinya dan malah mengusap lembut kepala sang adik yang kini tengah menggeleng pelan di bisep lengannya.

“HEH KAMU YANG DIPINGGIR LAPANGAN! ANAK KELAS BERAPA KAMU?!” Guru olahraga secara tidak langsung menegur keduanya.

Estelle yang merasa sedang ditanya pun dengan polosnya menyebutkan nama kelasnya. “Sepuluh ipa tiga pak!” teriak Estelle begitu jelas.

Axelle segera melepas Estelle. “Masuk kelas sana!”

Merasa diusir, Estelle merengut sedih. “Tapi bapaknya nanya aku, Kak.”

Refleks Axelle langsung memegang sebelah bahu sang adik seraya memejamkan matanya gemas. “Nanti pulang sekolah kamu bisa liat kakak lagi,” bujuknya. Untungnya Estelle mengangguk setuju dan langsung bergegas pergi dari sana.

Sepanjang perjalanan Estelle menuju kelasnya, tiada hentinya ia menggerutu kesal. Sesekali ia merengek sedih karena merasa Axelle tidak punya waktu untuknya akhir-akhir ini, ditambah tadi Axelle mengusirnya pergi. Makin kacaulah perasaan Estelle saat ini.

“Kamu dari mana saja Estelle? Jam pelajaran saya sudah mau habis.”

Estelle menunduk, matanya sudah berkaca-kaca menahan tangis. “Say-saya …” Estelle bingung. Tidak mungkin ‘kan ia jujur kalau ia menonton permainan basket Adam dan Axelle terlebih dahulu sebelum ke sini?

“Tidak sengaja terpeleset Bu pas bawa alat-alat kebersihan tadi,” dalihnya. Guru itu pun mengangguk pelan mendengar kebohongan Estelle dan sepertinya wanita muda itu percaya dengan perkataan Estelle tadi.

“Ya sudah, duduk di tempat kamu lalu kerjakan tugas yang Ibu berikan. Ibu tunggu sebelum jam makan siang nanti.” Estelle mengangguk patuh dan bergegas ke kursi miliknya.

“Permisi,” ujar Estelle pada Joyceline; teman sebangkunya.

Joyceline hanya menatap Estelle sekilas tanpa minat dan dengan cepat memberikan ruang untuk Estelle lewat. Joyceline gadis bermata kucing tersebut kembali fokus mengerjakan tugasnya setelah memberi ruang untuk Estelle lewat.

Estelle berterima kasih dan berniat untuk menanyakan tugas pada Joyceline. “Celine, tugasnya-”

“Hal 45 bagian essai, tulis di kertas selembar, jawabannya aja.” Tanpa membiarkan Estelle menyelesaikan pertanyaannya, Joyceline langsung memotongnya tanpa menoleh ataupun melirik ke arah Estelle sekali pun.

Estelle kembali berterima kasih dengan senyum senang. Walaupun Joyceline bersikap ketus padanya, tetapi gadis itu selalu saja membantunya selama ia pindah kemari.

“Gak usah liatin gue terus. Kerjain tugas lo!” tegur Joyceline yang langsung beranjak dari duduknya untuk mengumpulkan tugas miliknya. Dan Estelle, alih-alih sedih, senyum gadis itu semakin mengembang mendengar teguran Joyceline padanya.

Estelle pun mulai mengerjakan tugasnya dengan serius agar cepat selesai seperti perintah Joyceline tadi.

*

*

*

Estelle menggerutu sebal karena tak kunjung menemukan lapangan basket indoor yang dimaksud oleh kakaknya. Sedikit menyesali kelengkapan fasilitas sekolah yang justru malah membuatnya kesulitan seperti ini. Sebenarnya kalau saja Estelle tidak buta arah dan mengerti cara membaca map, ia pasti sudah sampai ke lapangan indoor yang dimaksud Axelle dari tadi, mengingat terdapat map yang menjelaskan denah lokasi lingkungan sekolah di setiap lantainya.

Menyerah, Estelle memutuskan untuk menunggu Axelle menjemputnya di lapangan indoor bulu tangkis; tempat berdirinya ia sekarang.

Estelle yang tengah menunduk tidak melihat jika Axelle sudah datang dengan Adam di sampingnya. “Ayo.” Mendengar suara Axelle yang menggema ke seluruh penjuru lapangan, Estelle mengangkat kepalanya dan bangkit dari duduknya.

Menyadari ekstistensi Adam, Estelle melirik takut-takut ke arah laki-laki itu. Axelle yang menyadari itu pun menghembuskan napas kasar lalu segera menggiring sang adik dengan cara memeluk pinggangnya erat.

“Stelle, gua masih jadi orang yang paling lo suka di dunia ini, ‘kan?” bisik Axelle tepat di telinga Estelle sambil sesekali melirik Adam yang mengekori mereka di belakang. Adam sendiri tidak ambil pusing saat tatapan tajam sang sahabat sempat tertuju padanya.

Estelle berdehem pelan seraya menganggukkan kepalanya kaku. Cukup terkejut dengan pertanyaan sang kakak yang begitu tiba-tiba.

“Kalau begitu lo harus fokus ke gua pas gua latihan nanti, janji?” Lagi-lagi Estelle hanya bisa mengangguk kaku.

Dan benar saja sepanjang Axelle latihan, Estelle sebisa mungkin menahan hasratnya untuk memperhatikan Adam dan berusaha fokus dengan gerak-gerik Axelle. Gio yang sempat mencuri dengar pembicaraan kedua kakak beradik itu sebelum latihan pun menggelengkan kepalanya heran melihatnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!