Luka hati itu tidak akan pernah benar-benar sembuh. Sungguh, luka itu akan selalu membekas dan sewaktu-waktu dapat terbuka kapan saja tanpa ada yang bisa mencegahnya.
***
“Kita mau kemana?” tanya Estelle saat mereka melewati daerah yang tidak pernah gadis itu lewati sebelumnya.
Joyceline menoleh dan tersenyum tipis saat menyadari kekhawatiran Estelle. “Tenang aja.” Estelle mengangguk kaku, dan tetap berusaha tersenyum meskipun hatinya sedikit tidak tenang. Namun saat dia melihat arah jalan yang menuju pinggiran kota, gadis itu sesekali menatap Joyceline dengan gelisah.
“Ini gak kejauhan?” Setelah ditahan-tahan untuk tidak berbicara, Estelle akhirnya bertanya pada Joyceline setelah berpikir beberapa kali. Joyceline tidak mengatakan apa pun, ia hanya menggeleng seraya tersenyum tipis untuk menenangkan Estelle.
Mereka tiba di kompleks perumahan sederhana yang sangat sepi, membuat Estelle merasa semakin khawatir dengan lingkungan yang sangat asing untuknya. Joyceline menepikan mobilnya. “Yuk turun.” Estelle terdiam saat melihat rumah sederhana yang sedang mereka singgahi.
Kecemasan Estelle menghilang seketika, digantikan oleh rasa yang begitu hangat pada hatinya. Gadis itu ikut tersenyum saat Joyceline mengenalkannya pada seorang wanita paruh baya yang merupakan pengurus panti asuhan yang saat ini mereka singgahi. “Kalau gitu ibu tinggal dulu ya,” ucap ibu panti itu sangat ramah.
Karena Estelle tidak terbiasa dengan anak kecil, dia memilih untuk melihat Joyceline dan anak-anak panti bermain dari jarak yang tidak begitu dekat. Rasanya baru kali ini Estelle melihat Joyceline tertawa selepas itu dan Estelle ikut tersenyum senang melihatnya.
Tatapan Estelle beralih karena merasa diperhatikan. Ternyata seorang gadis kecil dengan kursi roda memperhatikannya dengan tatapan kagum. Walau sedikit ragu, ia pun menghampiri gadis kecil itu. “Kamu gak ikut main?” tanya Estelle dengan lembut. Gadis kecil itu tampak terkejut, Estelle tersenyum gemas melihatnya.
“Kamu ngeliatin aku ya dari tadi? Badan aku kaya ketusuk-tusuk tau karena diliatin segitunya.” Niat Estelle tadinya hanya bercanda tapi gadis kecil itu malah menunduk karena merasa bersalah telah membuat Estelle merasa tidak nyaman.
“Abis Kakak cantik banget sih …,” cicit gadis itu yang masih bisa Estelle dengar dengan sangat jelas.
Estelle tersenyum hangat lalu berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan gadis itu. “Kamu juga cantik kok,” balas Estelle seraya mengacak rambut gadis itu gemas.
Gadis itu menatap Estelle dengan mata yang berbinar. “Bener, Kak?” Estelle mengangguk mantap mendengarnya. Namun gadis itu kembali menunduk sedih, membuat Estelle bertanya-tanya dalam hatinya.
“Kamu kenapa?” tanya Estelle setelah berpikir berulang kali untuk mengatakannya.
“Kata temen sekelas aku … aku ini jelek dan cacat. Aku dibuang sama orang tuaku karena aku cacat dan buruk rupa.” Gadis itu menundukkan kepalanya dalam-dalam saat mengatakan semua itu.
Deg!
Dada Estelle seperti ditimpuk oleh bebatuan besar setelah mendengar pengakuan gadis kecil di hadapannya. Kedua telapak tangannya sampai bergetar saat beberapa kilasan memori terbayang di pikirannya.
“Kata mereka aku gak mungkin punya kakak yang setampan itu karena aku kaya babi ….”
Estelle menggenggam tangan gadis itu dengan kuat, berharap bisa menyalurkan kekuatannya pada gadis itu lewat genggamannya. “Kamu cantik kok, siapa yang bilang kaya gitu? Biar Kakak lindes dia pake mobil.” Tanpa sadar Estelle menitihkan air mata ketika mengatakan hal itu, suaranya bahkan sedikit bergetar.
Gadis kecil itu tersenyum tipis, tangannya terulur untuk menghapus air mata Estelle. “Kakak kenapa nangis?” tanya gadis itu yang dibalas Estelle dengan gelengan kepala, dia menggenggam tangan gadis yang ada di wajahnya dan mengecupnya pelan.
“Kamu jangan lagi dengerin atau peduliin kata-kata yang kaya gitu ya. Kita memang gak bisa menutup mulut mereka satu persatu, tapi setidaknya kita bisa menutup kedua telinga kita.” Estelle menaruh telapak tangan kecil gadis itu ke atas dada sebelah kiri sebelum melanjutkan perkataannya.
“Kamu harus bisa melindungi diri kamu sendiri. Jangan sampai kamu terluka atau gagal hanya karena kata-kata gak bermutu mereka. Arrachi?” Gadis itu memiringkan kepalanya bingung tidak mengerti kata terakhir yang diucapkan Estelle.
Estelle terkekeh pelan, ia pun meralat ucapannya, “mengerti?” Dengan semangat gadis kecil itu mengangguk mengiyakan.
Joyceline yang sedari tadi memperhatikan dari jauh pun tersenyum lembut.
Sampai akhirnya ibu panti menyuruh mereka untuk masuk dan makan siang bersama. “Kita masuk yuk.” Gadis itu mengangguk, Estelle membantu gadis itu dengan mendorong kursi rodanya masuk ke dalam.
“Gimana?” tanya Joyceline saat mereka di perjalanan pulang.
Estelle tersenyum tipis. “Seru,” jawabnya singkat.
Joyceline mengernyitkan dahinya bingung saat merasakan ada yang berbeda dari Estelle. “You good?” Estelle mengangkat kedua alisnya saat mendengar pertanyaan Joyceline.
“Gapapa kok.” Setelah itu keduanya terdiam.
*
*
*
“Dasar tukang bohong!”
“Manusia babi kaya lo mah gak mungkin punya kakak kayak pangeran!”
“Lagi buat apa sih bohong, ngeribetin orang aja!”
“Mati aja sana!”
Estelle terbangun dengan napas yang terengah-engah, bahkan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.
Rasa pusing langsung menyerangnya begitu bangkit dari tempat tidur dan refleks ia menggapai apa pun yang ada di sekitarnya dan malah membuat teko kaca yang berada di atas nakasnya ikut terjatuh dan pecah.
“Ah! His appo,” lirih Estelle saat pecahan kaca tersebut mengenai kaki dan tangannya. Ia memejamkan matanya sejenak dan berusaha untuk tenang.
Setelah rasa pusing di kepalanya mereda, Estelle berusaha untuk bangun sendiri dan berjalan perlahan ke kamar mandi. Dengan hati-hati Estelle mengeluarkan beberapa serpihan kaca yang menancap di tangannya.
Setelah itu ia membersihkan lukanya dengan mengalirkan air ke lukanya.
Tok tok tok!
“Stelle! Kamu gapapa? Kok ini banyak darah?” Axelle terus mengetuk pintu kamar mandi dengan tidak sabar. Estelle yang mendengar hal itu pun bergegas memakai bathrobe-nya dan keluar dari kamar mandi.
Begitu melihat Estelle, Axelle langsung mengecek keadaan gadis itu. “Tangan lo kok bisa kaya gini?” Tanpa mengatakan apa pun lagi, Axelle langsung membopong Estelle ke kasurnya.
“Kotak obatnya di mana?”
Estelle langsung menunjuk walk in closet.
Setelah menemukan kotak obatnya, Axelle langsung mengobati tangan dan kaki Estelle. Dia juga mengirim pesan pada Jacob mengenai keadaan Estelle. Tak hanya itu ia juga membersihkan pecahan kaca yang ada di lantai, memastikan tidak ada sisa serpihan yang akan menambah luka di tubuh adiknya.
“Abang gak ada di rumah, ‘kan?” tanya Estelle.
Axelle mengangguk. “Iya, dia ke kantor hari ini. Kenapa memangnya?”
Estelle menunduk seraya memainkan jarinya gelisah. “Aku mau ke mansion ayah Ryan. Si Anu datengnya hari ini. Aku udah janji sama dia mau ke mansion pas kemarin lusa lewat telepon.”
“Kalau tunda sampe besok gimana? Kamu-”
“Bisa kok. Jadi, bolehin, ya? Ya ya?” Estelle dengan cepat memotong perkataan Axelle dan berusaha membujuk kakak laki-lakinya itu.
Axelle memalingkan wajahnya saat Estelle memasang muka memelas andalannya. “Tunggu abang pulang, tanya ke dia sendiri.”
“Kelamaan. Sama Kak Axelle aja deh … izinin ya, Kak?” Lagi, bahkan Estelle memberikan muka memelas andalannya yang level dua supaya bisa mendapatkan izin Axelle.
Axelle menghembuskan napas kasar. “Oke, gua ikut tapi.” Estelle terdiam sebentar, menimbang penawaran sang kakak.
“Gimana, deal?” Axelle mengulurkan tangannya.
Bibir Estelle mengerucut. “Emang kalau sendiri kenapa?”
“Kalau lu mau sendiri ya harus tunggu izin abang. Kalau mau gua izinin ya gua harus ikut,” terang Axelle tersenyum puas saat melihat ekspresi kesal sang adik.
“Ya udah deh,” pasrah gadis itu. Mau tidak mau Estelle pun menyambut uluran tangan Axelle.
“Kalau gitu, Kakak keluar dulu, aku mau pake baju.” Estelle mendorong Axelle untuk menjauh. Dan berniat untuk beranjak dari ranjang ke walk in closet-nya. Tentu saja Axelle menentangnya. Laki-laki itu sampai menggulung tubuh Estelle dengan selimut; seperti kepompong agar gadis itu tidak bisa kemana-mana.
Setelahnya ia mengambilkan pakaian yang sekiranya nyaman untuk Estelle lalu melemparkannya pada gadis itu. “Nih, kalau udah selesai ganti … teriak aja. Jangan coba-coba turun dari sini sendiri, awas aja!” Axelle memperingatkan adiknya itu dengan tegas.
Estelle sendiri sudah merengut sebal karena Axelle begitu berlebihan. Meski begitu, gadis itu tidak protes sama sekali dan patuh dengan apa yang dikatakan sang kakak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments