5. Martin van der Spoel

Kereta kuda Raden Ayu Sumi kemudian kembali melaju ke arah selatan kota. 

"Ke arah mana, Ndoro?" tanya kusir saat mereka mendekati pertigaan jalan.

"Ke kediaman keluarga Van der Spoel," jawab Sumi tegas. "Di perkebunan Sumberejo."

Mbok Sinem yang duduk di sampingnya mengerutkan dahi. "Keluarga Belanda yang memiliki pabrik gula itu, Ndoro?"

"Ya, Mbok. Mereka pemilik tanah Kedung Wulan."

Kereta berbelok ke arah timur, melewati jalan utama yang lebih lebar dan terawat. Di kiri-kanan jalan mulai terlihat kebun tebu yang luas—hijau dan rapat, membentang hingga ke kaki bukit. 

Beberapa pekerja pribumi tampak sibuk di antara tanaman tebu, tubuh mereka membungkuk di bawah terik matahari.

Setelah beberapa kilometer, terlihat gerbang besar dari besi tempa dengan tulisan "Suikerfabriek Sumberejo" di atasnya, yang berarti “Pabrik Gula Sumberejo”.

Dua penjaga pribumi berseragam biru dengan topi lebar berdiri di sisi gerbang. Mereka membungkuk hormat saat melihat kereta kuda dengan lambang keluarga Prawiratama.

"Permisi," Sumi dengan anggun melongokkan kepalanya dari jendela kereta. "Saya ingin bertemu dengan Tuan Van der spoel."

Salah satu penjaga mengangguk dan segera berlari ke arah pos jaga untuk memberitahu atasan mereka. Tak lama kemudian, gerbang dibuka dan kereta diizinkan masuk.

Jalan menuju rumah utama keluarga Van der Spoel masih sekitar setengah kilometer dari gerbang. 

Di sepanjang jalan, terlihat kebun-kebun bunga yang terawat rapi, memberikan kontras menarik dengan latar belakang kebun tebu dan pegunungan di kejauhan. 

Sebuah kolam air mancur besar terletak di tengah kebun, dengan patung dewi Venus yang memegang kendi—seni Eropa yang tampak begitu asing di tengah lanskap Jawa.

Kediaman keluarga Van der Spoel merupakan rumah dua lantai bergaya kolonial, dicat putih dengan aksen hijau pada jendela dan pintunya. 

Pilar-pilar besar menopang beranda depan yang luas, dengan tanaman merambat yang berbunga merah dan ungu. 

Beberapa kursi rotan tersusun rapi di beranda, tempat tuan rumah biasa menikmati teh sore sambil mengawasi pekerja di kejauhan.

Kereta berhenti di depan tangga utama. Seorang pelayan pribumi berpakaian rapi menghampiri dan membukakan pintu kereta.

"Selamat pagi, Ndoro Ayu," sapanya sopan. "Tuan Van der Spoel sedang tidak ada di rumah. Beliau pergi ke Semarang sejak kemarin dan baru kembali minggu depan."

Sumi mengangguk paham, sedikit kecewa namun tidak menunjukkannya. "Apakah Nyonya Van der Spoel ada?"

"Nyonya sedang beristirahat, kurang sehat sejak seminggu lalu," jawab pelayan itu. "Tapi Tuan Muda Martin ada di rumah. Apakah Ndoro ingin bertemu dengannya?"

"Ya, jika berkenan."

Pelayan itu membungkuk dan mempersilakan Sumi untuk menunggu di beranda sementara ia masuk untuk memanggil tuan mudanya. 

Sumi duduk dengan anggun di salah satu kursi rotan, sementara Mbok Sinem berdiri di belakangnya dengan patuh.

Tak lama kemudian, seorang pemuda tampan keluar dari pintu utama. Usianya mungkin sekitar dua puluh lima tahun, dengan rambut cokelat kemerahan sedikit berantakan dan kulit yang tampak terlalu terang untuk ukuran orang yang tinggal di daerah tropis. 

Ia mengenakan kemeja putih ringan dengan rompi hitam dan celana panjang krem—pakaian santai untuk ukuran elit Belanda di Hindia-Belanda.

"Selamat pagi," sapanya dalam bahasa Melayu yang fasih dengan aksen Belanda yang kental. "Martin Van der Spoel. Ada yang bisa saya bantu?"

Sumi berdiri dan membungkuk sedikit, menjaga kesopanan namun juga keanggunan seorang bangsawan Jawa. 

"Selamat pagi, Tuan Martin. Saya Raden Ayu Sumi Prawiratama. Maaf mengganggu siang Anda."

Martin tampak terkejut mendengar nama Prawiratama. "Ah, istri Raden Mas Soedarsono? Suami Anda adalah rekan bisnis ayah saya. Silakan duduk kembali, Raden Ayu. Apa yang membawa Anda jauh-jauh ke sini?"

Mereka duduk berhadapan. Seorang pelayan perempuan membawa teh dan makanan kecil, menaruhnya di meja kecil di antara mereka.

"Saya tertarik dengan sebidang tanah milik keluarga Tuan," Sumi memulai dengan hati-hati. "Tanah di dekat Kedung Wulan."

Mata biru Martin melebar, alisnya terangkat tinggi. "Kedung Wulan?"

Sumi mengangguk. "Benar. Saya dengar keluarga Tuan sudah lama ingin menjualnya."

Martin menatap Sumi lekat-lekat, seolah mencari tahu motif tersembunyi di balik permintaan yang tidak biasa ini. 

"Boleh saya tahu untuk apa Raden Ayu menginginkan tanah itu? Tanahnya terlalu basah dan berlumpur."

"Justru itu yang saya cari," Sumi tersenyum tipis, mengulang alasan yang sama yang ia berikan pada suaminya. "Saya ingin membuat kolam ikan. Air yang selalu ada akan sangat menguntungkan."

Martin masih menatapnya dengan pandangan menyelidik. "Anda tahu bahwa tanah itu ... memiliki reputasi tertentu, bukan?"

"Saya dengar ada kejadian tragis di masa lalu," Sumi menjawab hati-hati.

"Kakak perempuan saya, Johanna," Martin berkata pelan, matanya menerawang jauh. "Dia ditemukan mengambang di sendang itu tiga puluh tahun lalu. Anda tidak takut?"

Meski sudah mendengar cerita ini dari Ki Jayengrana, Sumi tetap ngeri mendengarnya langsung dari keluarga korban. 

"Tidak, saya tidak takut.” Sumi menjaga nada suaranya tetap datar. “Saya turut berduka, Tuan Martin. Saya tidak bermaksud membuka luka lama."

Martin menggeleng pelan. "Sudah lama berlalu. Saya bahkan belum ada saat itu terjadi. Hanya tahu dari cerita orangtua saya."

Ia menyesap tehnya perlahan sebelum melanjutkan. "Sejak kejadian itu, ayah saya menutup akses ke tanah itu. Memasang pagar di sekeliling area sendang. Tapi seiring waktu, pagar itu rusak dan tidak pernah diperbaiki. Tidak ada yang berani mendekati tempat itu lagi. Saya kagum dengan keberanian Anda."

Sumi tersenyum. “Saya berpikiran itu hanya sebuah kecelakaan biasa, Tuan. Sayang sekali jika tempat seperti itu terbengkalai, ada sumber air yang bisa dimanfaatkan. Jadi saya tertarik untuk membelinya. Berapa harga untuk tanah itu, saya dengar dulu ayah Anda berencana menjualnya.”

"Cerdas sekali.” Mata biru Martin berbinar. “Dulu ayah saya memang berencana menjualnya, tapi sekarang saya yang mengambil alih. Beliau sudah terlalu tua dan saya tertarik untuk mengelolanya, seperti kata Nyonya, ada sumber air yang bisa dimanfaatkan.”

“Begitu rupanya.” Senyum menawan di bibir Sumi seketika surut. “Sayang sekali. Tapi jika Tuan bersedia menjualnya, saya akan membelinya dengan harga tinggi.”

Martin terdiam sejenak, matanya kini terpaku pada wajah Sumi. Ia tertarik pada kecantikannya, keberaniannya, juga kecerdasan perempuan itu dalam melihat peluang usaha, padahal sebelumnya pemuda itu tidak tahu akan memanfaatkan tanah itu untuk apa.

"Maaf, Nyonya … saya tidak berencana menjualnya. Tapi saya bisa menawarkan sesuatu yang lain," lanjutnya dengan nada berbeda, lebih lembut dan personal. "Anda bisa menggunakan tanah itu sesuka Anda. Membangun kolam ikan atau apa pun yang Anda inginkan. Tanpa perlu membelinya."

Sumi menatapnya bingung. "Maksud Tuan?"

Martin mencondongkan tubuhnya ke depan, terpaku pada mata indah perempuan itu.

 "Kita bisa bekerja sama–bagi hasil. Dengan syarat, Anda mengizinkan saya untuk sesekali mengunjungi proyek kolam ikan Anda itu."

Ada sesuatu yang tidak wajar dalam cara Martin memandang Sumi. Tatapannya intens, seolah baru pertama kali melihat perempuan cantik. 

Senyumnya pun terlalu ramah untuk pertemuan pertama mereka. Sumi mulai merasa tidak nyaman, namun berusaha menjaga sikap tenangnya.

"Itu tawaran yang sangat baik, Tuan Martin. Tapi saya lebih suka membeli tanah itu secara resmi. Untuk menghindari masalah di kemudian hari."

Martin terkekeh. "Anda pintar sekali, Raden Ayu. Saya tidak menyangka seorang Raden Ayu bisa sepintar ini dalam urusan membuka usaha. Tapi sayang sekali, saya juga tidak mau kehilangan tanah dengan potensi menjanjikan."

Ia mengambil selembar kertas dan pena dari meja kecil di sampingnya. "Saya akan membuat surat izin untuk Anda. Dengan ini, Anda bisa menggunakan tanah itu sesuka hati. Termasuk membangun pagar dan struktur lain jika dibutuhkan."

Sambil menyiapkan perlengkapan izin termasuk stempel keluarga Van der Spoel, Martin sesekali melirik ke arah Sumi, tidak bisa menahan godaan untuk mencuri pandang ke arah lekuk tubuhnya yang indah terawat.

"Anda tahu, Raden Ayu, jika bukan Anda, mungkin saya tidak akan bersedia memberi izin. Tapi karena keberanian dan kecerdasan Anda, saya pikir itu gabungan yang bagus untuk tanah itu. Saya yakin Anda akan memberi saya bagi hasil yang memuaskan dengan kepintaran Anda. Bagaimana? Apa Anda setuju?"

Terpopuler

Comments

Teh Qurrotha

Teh Qurrotha

selalu ditunggu kelanjutannya,
nungguin Martin berada ditanah basah

2025-05-05

1

🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈

🍵𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌 𝒋ᷟ𝒖ⷽ𝒐ᷟ𝒔ⷽ𝒔๎🦈

ada teka teki nya ini

2025-05-18

0

neng Ai💗

neng Ai💗

Ayo gas kak....lanjoooooot....😬😘

2025-05-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!