4. Hierarki Dalem Prawirataman

"Diajeng tahu Kangmas tidak suka dibantah,” bisik Soedarsono dengan mengecup lembut pipi sang istri, lalu mengeluarkan amplop cokelat tebal dari tas kulitnya. “Ini jatah untuk bulan ini. Kangmas pergi dulu. Hati-hati di jalan nanti."

Sumi mengangguk dan mengiringi suaminya hingga ke halaman depan, di mana kereta kuda sudah menunggu.

Begitu kereta berlalu, sosok anggunnya berubah tegas. Ia berbalik, memanggil Mbok Sinem yang sejak tadi menunggu di emperan.

“Mbok … kumpulkan semua orang …!”

Sebagai garwo padmi, ia bertanggung jawab mengatur seluruh urusan rumah tangga Dalem Prawirataman, termasuk pembagian uang bulanan untuk para garwo ampil dan pengelolaan para abdi.

Hari ini adalah tanggal lima, hari pembagian uang bulanan. Seluruh istri dan para kepala abdi sudah menunggu di ruangan tengah.

Pariyem duduk dengan anggun di sudut ruangan, mengenakan kebaya merah muda yang terlalu ketat untuk tubuhnya yang gemuk.

Di sampingnya duduk Lastri, istri kedua yang lebih senior—perempuan berusia dua puluh lima tahun yang lebih pendiam dan tahu diri.

Saat Sumi memasuki ruangan, semua orang membungkuk dengan dua tangan membentuk sembah.

Bahkan Pariyem yang biasanya kurang ajar pun terpaksa menunjukkan kesopanan, meski matanya memperlihatkan ketidaksukaan.

"Selamat pagi," sapa Sumi tenang, duduk di kursi utama. "Mari kita mulai pembagian bulanan."

Sumi mengeluarkan buku catatan kecil dan mulai membacakan pembagian uang untuk berbagai keperluan rumah tangga.

Sebagai garwo padmi, ia memiliki wewenang penuh atas keuangan keluarga, termasuk mengatur berapa banyak uang yang boleh diterima oleh para garwo ampil.

"Untuk Lastri, uang belanja bulan ini sama seperti bulan lalu, lima puluh gulden," ucap Sumi, menyerahkan uang pada Lastri yang menerimanya dengan sopan dan terima kasih.

"Untuk Pariyem," Sumi menatap perempuan muda itu, "uang belanja bulan ini empat puluh gulden, turun sepuluh gulden dari bulan lalu."

Wajah Pariyem seketika berubah merah. "Ngampunten, Ndoro Ayu … tapi kenapa turun?" tanyanya dengan nada protes yang ditahan.

"Karena bulan lalu kau banyak melanggar aturan dalem," jawab Sumi tenang. "Padahal sudah diajarkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh seorang garwo ampil di dalem."

Pariyem menunduk, ingin membantah tapi tidak berani. Sebagai garwo ampil–istri selir, posisinya dalam hierarki rumah tangga jelas di bawah garwo padmi.

Meski mendapat perhatian lebih dari suami, secara hukum adat Jawa ia tetap tidak memiliki hak yang sama dengan istri utama.

"Saya tidak akan melanggar lagi, Ndoro Ayu," ucapnya dengan suara manis yang dipaksakan. "Bulan depan tolong kembalikan seperti semula."

"Kita lihat dulu perilakumu bulan ini," jawab Sumi, tegas namun tetap tenang. "Dan satu hal lagi, mulai hari ini saya tidak mengizinkan siapa pun menggunakan abdi dalem untuk keperluan pribadi tanpa izin saya. Semua jadwal abdi harus melalui saya."

Peraturan baru ini jelas ditujukan untuk Pariyem yang sering memerintah para abdi seenaknya, membuat beberapa pekerjaan rumah terabaikan. Wajah istri muda itu kembali memerah, tapi ia hanya bisa mengangguk patuh.

Lastri, yang lebih mengerti tata krama, tetap menunduk sopan. Ia tahu betul posisinya sebagai garwo ampil dan selalu menghormati Sumi sebagai garwo padmi.

Tidak seperti Pariyem yang masih baru dan ambisius, Lastri lebih mementingkan keharmonisan rumah tangga.

Setelah pembagian uang selesai dan semua orang meninggalkan ruangan, Sumi memanggil Mbok Sinem.

"Mbok, siapkan kereta kecil. Panggil Pak Karto dan Mbah Joyo. Kita akan ke Kedung Wulan."

"Kedung Wulan?" mata tua Mbok Sinem membulat kaget. "Tempat angker itu, Ndoro?"

"Ya, Mbok. Ada yang harus saya lihat di sana."

Setengah jam kemudian, kereta melaju ke arah selatan kota. Mbok Sinem menemani di dalam kereta, sementara Pak Karto menunggang kuda di samping kereta dan Mbah Joyo duduk di samping kusir.

Perjalanan ke Kedung Wulan memakan waktu hampir satu jam, melewati jalan-jalan kampung yang sempit dan berbatu.

Semakin mereka mendekati tempat tujuan, semakin sunyi jalanan yang mereka lewati. Tidak ada rumah penduduk, hanya pepohonan lebat dan semak belukar.

Kereta berhenti di ujung jalan setapak yang tidak bisa dilalui kendaraan. Dari sini, mereka harus berjalan kaki sekitar lima ratus meter untuk mencapai area Kedung Wulan.

"Ndoro yakin ingin ke sana?" tanya Mbah Joyo ragu. "Tempat itu sudah lama tidak ada yang berani mendekati."

"Saya harus ke sana, Mbah," jawab Sumi tegas. "Saya ingin membelinya, untuk usaha ikan. Tempat itu paling cocok, katanya air tidak pernah kering di sana meski musim kemarau."

Dengan hati-hati, mereka menyusuri jalan setapak yang hampir tertutup semak. Pak Karto berjalan di depan, membawa golok untuk membuka jalan.

Mbah Joyo mengikuti dengan membawa tongkat, siap menghadapi binatang berbahaya. Sumi berjalan di tengah, diikuti Mbok Sinem yang terus merapalkan doa-doa dalam bisikan pelan.

Setelah berjalan cukup jauh, hutan mulai merapat. Pepohonan semakin tinggi dan rindang, menghalangi sinar matahari.

Suasana menjadi remang dan lembap. Entah kenapa, meski di luar panas terik, area ini terasa dingin dan basah. Tanah yang mereka pijak pun mulai terasa basah.

"Kita sudah dekat," ucap Mbah Joyo. "Saya masih ingat tempat ini, dulu orang-orang sering kemari."

Beberapa meter ke depan, pepohonan semakin jarang, membuka ke sebuah cekungan tanah yang lebih rendah.

Di sana, di antara semak belukar tinggi dan pohon-pohon yang merunduk, terlihat genangan air gelap yang cukup luas.

"Itu Kedung Wulan, Ndoro," bisik Pak Karto, suaranya terdengar gentar. "Sendang keramat."

Sumi melangkah lebih dekat, matanya memperhatikan sendang itu dengan seksama. Air berwarna kehitaman karena tertutup lebatnya bayangan pepohonan, namun tidak berbau busuk. Justru ada aroma aneh—seperti campuran tanah basah dan wangi bunga yang samar.

"Mbah Joyo," panggil Sumi pelan. "Apa Mbah tahu cerita tentang tempat ini?"

Mbah Joyo mengangguk perlahan. "Sedikit, Ndoro. Dulu tempat ini dikeramatkan. Orang-orang datang untuk meminta berkah kesuburan. Konon, air sendang ini bisa menyembuhkan berbagai penyakit, terutama yang berkaitan dengan keturunan."

"Tapi kemudian jadi angker?" tanya Sumi.

"Ya, Ndoro. Setelah gadis Belanda itu ditemukan tewas di sini. Ada yang bilang dia dibunuh, ada yang bilang dia bunuh diri karena patah hati. Tapi yang pasti, sejak saat itu banyak kejadian aneh di sekitar sendang."

Sumi mengedarkan pandangannya. Kedung Wulan sebenarnya tidak terlalu besar, mungkin hanya seluas sepertiga lapangan pendopo kadipaten. Tapi kedalamanya tidak terlihat jelas karena airnya yang hitam pekat.

"Saya akan membeli tanah ini," ucap Sumi tegas.

Ketiga abdinya saling pandang dengan tatapan cemas. Namun tidak ada yang berani membantah keputusan majikan mereka.

Tanpa disadari siapa pun, permukaan air sendang beriak pelan, seolah merespons ucapan Sumi. Di perutnya, sensasi bergerak itu kembali terasa—kini lebih kuat dan lebih pasti.

Terpopuler

Comments

ian

ian

mantap istri sah harus tegas

2025-05-04

2

Fetri Diani

Fetri Diani

alhamdulillah🤲... sampai sini dengan selamat ndoro... monggo dilanjutkan.. saya siap membaca🤭🤣

2025-05-05

1

neng Ai💗

neng Ai💗

Yuhuu...baru landing ke rumah baru🥳

2025-05-04

1

lihat semua
Episodes
1 1. Tahun 1927
2 2. Lemah Teles (Tanah Basah)
3 3. Raden Mas Soedarsono
4 4. Hierarki Dalem Prawirataman
5 5. Martin van der Spoel
6 6. Johanna van der Spoel
7 7. Kedung Wulan
8 8. Kanjeng Ibu
9 9. Undangan di Rumah Residen van Reijden
10 10. Raden Ayu Retnosari
11 11. Meninggalkan Pesta
12 12. Asal-Usul Ki Jayengrana
13 Janji Ki Jayengrana
14 Panunggaling Sukmo
15 Mengintip
16 Ilusi
17 Keanehan Kedung Wulan
18 Keanehan Setelahnya
19 Keanehan Sumi
20 Kunjungan Martin
21 Tuntutan Martin
22 Martin yang Keras Kepala
23 Kedatangan Raden Mas Soedarsono
24 Keberanian Baru Sumi
25 Kecurigaan Raden Mas Soedarsono
26 Pariyem
27 Halus Namun Mematikan
28 Jejak Martin
29 Keberanian Sumi
30 Johannes van der Spoel
31 Ki Djoyosubroto
32 Syarat dari Johan
33 Pengkhianatan Sumi
34 Adu Jotos
35 Perceraian
36 Helena van der Spoel
37 Lastri
38 Dalem Pranatadirja
39 Ki Jayengrana Lenyap
40 Pendeta Cornelis
41 Usaha Baru
42 Cerita Lain yang Dijanjikan
43 Kuasa Gelap
44 Berderma
45 Kabar Tak Baik
46 Uang Kompensasi
47 Terjerat Kembali
48 Memutus Kutukan
49 Merusak Jiwa
50 Seminari
51 Ikatan Gelap
52 Perkawinan Campuran
53 Ayah Soedarsono Meninggal
54 Membujuk Sumi
55 Pengakuan
56 Keputusan Sumi
57 Pernikahan
58 Pengembalian Uang
59 Tujuan Utama
60 Nasihat Pernikahan
61 Waspada
62 Kepulangan Sumi
63 Kedatangan Soedarsono
64 Perhitungan Johan
65 Rencana Soedarsono
66 Sabotase Pertama
67 Mogok Massal
68 Strategi Johan
69 Menjemput Sumi
70 Tahap Kedua
71 Fitnah
72 Pendeta Cornelis Meninggal
73 Melapor Polisi
74 Rencana Johan ke Batavia
75 Rudolf Dekker
76 Strategi Dekker
77 Residen Oude
Episodes

Updated 77 Episodes

1
1. Tahun 1927
2
2. Lemah Teles (Tanah Basah)
3
3. Raden Mas Soedarsono
4
4. Hierarki Dalem Prawirataman
5
5. Martin van der Spoel
6
6. Johanna van der Spoel
7
7. Kedung Wulan
8
8. Kanjeng Ibu
9
9. Undangan di Rumah Residen van Reijden
10
10. Raden Ayu Retnosari
11
11. Meninggalkan Pesta
12
12. Asal-Usul Ki Jayengrana
13
Janji Ki Jayengrana
14
Panunggaling Sukmo
15
Mengintip
16
Ilusi
17
Keanehan Kedung Wulan
18
Keanehan Setelahnya
19
Keanehan Sumi
20
Kunjungan Martin
21
Tuntutan Martin
22
Martin yang Keras Kepala
23
Kedatangan Raden Mas Soedarsono
24
Keberanian Baru Sumi
25
Kecurigaan Raden Mas Soedarsono
26
Pariyem
27
Halus Namun Mematikan
28
Jejak Martin
29
Keberanian Sumi
30
Johannes van der Spoel
31
Ki Djoyosubroto
32
Syarat dari Johan
33
Pengkhianatan Sumi
34
Adu Jotos
35
Perceraian
36
Helena van der Spoel
37
Lastri
38
Dalem Pranatadirja
39
Ki Jayengrana Lenyap
40
Pendeta Cornelis
41
Usaha Baru
42
Cerita Lain yang Dijanjikan
43
Kuasa Gelap
44
Berderma
45
Kabar Tak Baik
46
Uang Kompensasi
47
Terjerat Kembali
48
Memutus Kutukan
49
Merusak Jiwa
50
Seminari
51
Ikatan Gelap
52
Perkawinan Campuran
53
Ayah Soedarsono Meninggal
54
Membujuk Sumi
55
Pengakuan
56
Keputusan Sumi
57
Pernikahan
58
Pengembalian Uang
59
Tujuan Utama
60
Nasihat Pernikahan
61
Waspada
62
Kepulangan Sumi
63
Kedatangan Soedarsono
64
Perhitungan Johan
65
Rencana Soedarsono
66
Sabotase Pertama
67
Mogok Massal
68
Strategi Johan
69
Menjemput Sumi
70
Tahap Kedua
71
Fitnah
72
Pendeta Cornelis Meninggal
73
Melapor Polisi
74
Rencana Johan ke Batavia
75
Rudolf Dekker
76
Strategi Dekker
77
Residen Oude

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!