Sensasi licin dan lengket dari cairan putih telur mentah yang kental melumuri seluruh rongga mulutnya.
Rasa amis yang menyengat bercampur dengan bau lumpur—bau yang tak pernah ia bayangkan akan masuk ke dalam mulutnya yang terbiasa dengan hidangan bangsawan.
Perutnya bergolak hebat. Keringat dingin membanjiri seluruh tubuhnya, membuat kulit kuning langsatnya berkilau disorot cahaya lampu minyak.
Ia merasakan dorongan kuat untuk muntah. Matanya mulai berair, wajahnya yang cantik kini pucat pasi.
"Jangan dimuntahkan, Ndoro Ayu," Ki Jayengrana berujar cepat. Suaranya menyiratkan kecemasan yang tidak dibuat-buat. . "Sangat sial jika Ndoro memuntahkannya. Bulus akan murka karena anak keturunannya akan terbuang sia-sia. Jangan pikirkan rasanya, Ndoro."
Tapi bagaimana mungkin Sumi tidak memikirkan rasanya? Telur mentah itu terasa seperti lendir yang hidup, dengan tekstur yang membuat bulu kuduk meremang—kental namun licin, dingin namun terasa aneh di tenggorokan.
Bukan hanya amis, tapi juga pahit dengan sentuhan rasa lumpur. Seolah-olah ia sedang menelan sepotong rawa-rawa dalam bentuk paling menjijikkan.
Sumi menggeleng, mulutnya setengah terbuka, siap untuk memuntahkan segala isinya.
Wajah Ki Jayengrana mengeras. "Ndoro harus bisa! Kalau tidak, semua usaha ini sia-sia!"
Dengan panik, dukun tua itu meraih sebuah mangkuk kayu berisi air yang telah dicampur dengan ramuan-ramuan khusus.
Ia mencelupkan jari-jarinya sambil merapalkan mantra-mantra dalam bahasa kuno dan meniupnya perlahan.
"Tahan, Ndoro. Bayangkan ini adalah jalan satu-satunya untuk menjaga kedudukan Ndoro sebagai garwo padmi. Bayangkan wajah bahagia Raden Mas Soedarsono saat Ndoro mengandung putranya. Bayangkan wajah iri para istri muda saat perut Ndoro membesar dengan pewaris sah Prawiratama.”
Kata-kata tentang istri muda seperti memantik sesuatu dalam diri Sumi. Ia membuka matanya, menatap langit-langit gubuk yang remang.
Bayangan wajah sombong Pariyem—istri muda suaminya yang baru berusia delapan belas tahun—muncul dalam benaknya.
Bagaimana perempuan kampung itu meliriknya dengan tatapan mengejek saat mereka berjumpa terakhir. Bagaimana bisik-bisik para pelayan yang mengatakan bahwa Pariyem mulai telat datang bulan.
Dengan tekad yang tiba-tiba muncul, Sumi menarik napas dalam-dalam dan menenangkan gejolak perutnya.
Telur bulus yang nyaris dimuntahkannya meluncur kembali melalui tenggorokannya, terasa seperti menelan batu licin yang bergerak-gerak. Akhirnya, dengan satu tegukan terakhir, telur itu masuk ke dalam perutnya.
Tubuhnya ambruk ke belakang, terbaring di atas tikar dengan napas tersengal. Ki Jayengrana tersenyum puas.
Ia cepat-cepat mengambil cangkir tembikar berisi air putih yang telah dicampur dengan madu hutan dan sedikit akar-akaran.
"Minumlah, Ndoro. Ini akan menghilangkan rasa tidak enak di mulut."
Dengan patuh Sumi meneguknya. Air terasa manis dan segar, membilas sisa-sisa rasa amis dan tanah dari mulut Sumi. Tubuhnya yang lemas kembali terbaring sepenuhnya di atas tikar pandan yang kasar.
Dadanya naik turun dengan cepat, masih berusaha mengatur napasnya setelah perjuangan hebat menelan telur bulus.
Peluh membasahi seluruh tubuhnya, membuat kemben dan jarik hitam itu menempel erat pada kulitnya yang halus.
Tiba-tiba, Sumi merasakan sensasi aneh di perutnya, tepat di bawah dadanya yang naik turun dengan berat.
Seperti ada sesuatu yang bergerak-gerak, menggeliat pelan. Awalnya terasa seperti gelitikan halus, namun semakin lama semakin terasa jelas—seolah telur itu kini hidup dan bergerak di dalam perutnya.
"Ki …," ucapnya panik dengan napas yang masih terengah, "Ada yang bergerak di perut saya!"
Ki Jayengrana mengangguk tenang, seolah hal itu sudah biasa terjadi.
"Tenang saja, Ndoro. Ini pertanda baik. Telur bulus sedang mencari jalan ke rahim Ndoro."
Sumi menutup matanya, merasakan gerakan itu semakin sering. Sensasinya membuat seluruh tubuhnya meremang—antara ngeri dan takjub.
"Ki, kapan saya harus mandi di sendang?" tanyanya dengan suara terengah, mencoba mengalihkan perhatian dari sensasi aneh di perutnya. “Sendang yang mana?”
Wajah Ki Jayengrana berubah serius. "Soal sendang itu …," Ia terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sendang Kedung Wulan, Ndoro. Tapi sudah lama ditutup."
"Tertutup? Apa maksudnya?"
"Sendang itu sekarang tertutup pepohonan dan belukar tinggi. Sudah hampir tiga puluh tahun tidak ada yang berani ke sana."
Sumi mencoba bangkit, bertumpu pada sikunya. "Kenapa tidak ada yang berani?"
Ki Jayengrana menghela napas panjang. "Tempat itu dikenal sebagai Lemah Teles oleh orang-orang tua dulu. Tanah Basah. Letaknya di lembah kecil di antara dua bukit, di bagian paling selatan dari tanah milik keluarga Belanda yang menguasai tanah itu."
"Kenapa disebut Lemah Teles?" tanya Sumi, rasa ingin tahunya mengalahkan ketidaknyamanan di perutnya.
"Karena tanahnya selalu basah, Ndoro. Bahkan di musim kemarau paling panjang sekalipun. Di sana ada mata air yang tak pernah kering. Konon, mata air itu berhubungan langsung dengan Laut Kidul."
Sumi mengernyitkan dahi. Sebagai perempuan terpelajar yang pernah belajar di sekolah Belanda, ia tahu bahwa hal itu tidak mungkin dari segi ilmu pengetahuan karena desa itu sangat jauh dari Laut Kidul. Namun ia juga cukup paham bahwa dalam dunia perdukunan, logika sering kali tidak berlaku.
"Lalu kenapa tempat itu ditutup?" tanyanya.
Ki Jayengrana terdiam lama, matanya menerawang jauh. Cahaya lampu minyak membuat bayangan-bayangan aneh di wajahnya yang keriput.
"Tahun seribu delapan ratus sembilan puluh tujuh, terjadi sesuatu di sana," ucapnya akhirnya, suaranya merendah menjadi bisikan. "Putri bungsu keluarga Belanda yang menguasai tanah, ditemukan mengambang di sendang itu, tidak bernyawa. Tubuhnya membiru, dengan bekas cengkeraman seperti tangan kecil di seluruh tubuhnya."
Dukun itu melirik Sumi, mengamati reaksinya sebelum melanjutkan. "Sejak saat itu, keluarga Van der Spoel dan pemerintah setempat menutup jalan ke sendang. Mereka mendatangkan pendeta untuk memberkati tempat itu, tapi tetap saja ... banyak kejadian aneh terjadi. Hingga akhirnya, mereka membiarkan pepohonan dan belukar menutupi seluruh area itu."
Sumi menelan ludah. Perutnya masih terasa bergerak-gerak, tapi kini perhatiannya terpusat pada cerita Ki Jayengrana.
"Lalu, bagaimana saya bisa mandi di sana jika tertutup?"
"Itulah masalahnya, Ndoro Ayu," jawab Ki Jayengrana. "Ndoro harus membuka tempat itu kembali. Ndoro bisa memanfaatkan kekayaan dan kedudukan Ndoro untuk membeli tanah di area tersebut dari keluarga Belanda itu. Mereka sudah lama ingin menjualnya, tapi tidak ada yang berani membeli."
Sumi tampak berpikir. "Apa tidak ada sendang lain yang bisa digunakan?"
Ki Jayengrana menggeleng tegas. "Harus sendang itu, Ndoro. Karena hanya di sana terdapat air yang bisa menyuburkan rahim Ndoro. Air yang sama yang membuat tanah di sekitarnya selalu basah dan subur. Lemah Teles adalah tempat suci bagi para bulus.”
Sumi menatap dukun itu dengan tatapan campuran antara takut dan penasaran. "Bagaimana Ki Jayengrana tahu tentang semua ini?"
Dukun tua itu tersenyum samar. "Karena leluhur saya adalah penjaga sendang itu, jauh sebelum tanah itu jatuh ke tangan Belanda. Kami, para keturunan Ki Djojosubroto, adalah penjaga rahasia Lemah Teles dan bulus-bulus keramatnya."
Keheningan menyelimuti ruangan itu. Di luar, suara jangkrik dan katak semakin riuh, diselingi dengan lolongan anjing dari kejauhan.
Angin malam bertiup lebih kencang, membuat dinding bambu berderak dan atap ilalang bergesekan.
"Jadi saya harus membeli tanah itu?" tanya Sumi akhirnya.
"Ya, Ndoro. Dan harus segera. Ritual harus selesai sebelum bulan purnama berakhir."
Sumi menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Saya akan bicara dengan suami saya besok."
Ki Jayengrana mengangguk puas. "Bagus, Ndoro Ayu. Sementara itu, besok malam Ndoro datang lagi untuk menelan telur kedua."
Sumi mengerang pelan. Perutnya masih terasa aneh, seperti ada sesuatu yang berenang-renang di dalamnya. "Apakah ... rasa bergerak di perut ini akan terus ada?"
"Ya, Ndoro. Tapi Ndoro tidak perlu khawatir. Itu adalah kekuatan bulus yang sedang bekerja."
Dengan susah payah, Sumi mencoba bangkit dari tikar. Tubuhnya terasa lemas dan gemetar, seperti habis terserang demam tinggi.
Ki Jayengrana membantunya berdiri dengan tangan-tangannya yang keriput—tangan yang bergerak terlalu lambat dan menyentuh terlalu banyak bagian tubuh Sumi yang seharusnya tak tersentuh.
"Ndoro sebaiknya segera berganti pakaian dan pulang. Tidak baik perempuan ningrat berkeliaran terlalu malam," ucap dukun itu, tatapannya mengikuti setiap gerakan Sumi yang perlahan berjalan ke arah bilik.
Dengan langkah gontai, Sumi memasuki bilik kecil itu dan mulai melepaskan kemben dan jarik hitam yang kini basah oleh keringat. Tubuhnya masih gemetar, antara lemas, jijik, dan rasa aneh yang terus bergerak di perutnya.
Sementara itu, Ki Jayengrana kembali mengintip dari celah dinding bambu, matanya berkilat dalam keremangan. Senyum tipis tersungging di bibirnya yang keriput.
"Enam hari lagi," bisiknya pada diri sendiri. "Dan Lemah Teles akan kembali terbuka."
Tanpa sepengetahuan Sumi, sesuatu telah terbangun di dalam dirinya. Sesuatu yang jauh lebih tua dan lapar dari yang pernah dibayangkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
ian
aku deg2an ndoro...
antara takut ngebayangin muka dukun tua
2025-05-03
0
Rani
pendatang baru nih blm tau cara mainnya.demi si Sumi sampe gue bersih2 HP biar bisa donlod nih aplikasi.
2025-05-03
0
GW Widiarti
Ditunggu bab selanjutnya Ndoro....biar nyambung sama yg sdh dibaca
2025-05-03
1