3. Raden Mas Soedarsono

Malam telah jauh larut ketika Raden Ayu Sumi melangkah keluar dari pondok Ki Jayengrana. 

Tubuhnya masih lemah dan gemetar setelah mengalami ritual yang menguras tenaga dan mentalnya. 

Sensasi aneh di perutnya terus terasa—seperti ada sesuatu yang menggelitik, berputar pelan namun pasti.

Di luar pondok, cahaya lampu minyak menyambut kedatangannya. Mbok Sinem dan Pak Karto, sepasang suami istri yang telah mengabdi pada keluarga Prawiratama selama dua generasi, berdiri dengan patuh. 

Wajah mereka yang sudah berkeriput menunjukkan kekhawatiran melihat kondisi majikan mereka.

Mbok Sinem bergegas menghampiri, membawa selendang halus untuk menutupi bahu Sumi yang tampak lelah. "Ndoro Ayu, baik-baik saja?"

"Tidak apa-apa, Mbok," jawab Sumi pelan, suaranya masih serak. "Ayo kita pulang."

Pak Karto, pria tua dengan tubuh yang masih tegap meski usianya hampir enam puluh tahun, mengangguk dan mengangkat lampu minyak lebih tinggi untuk menerangi jalan setapak yang gelap. Ia berjalan di depan.

"Ngampunten, Ndoro. Biar saya bantu. Ndoro sakit?" tanya Mbok Sinem pelan, matanya yang sudah rabun memerhatikan wajah pucat majikannya.

Dengan hati-hati ia memapah majikannya yang berjalan sempoyongan, meski ia tahu bahwa seorang abdi tidak seharusnya menyentuh tubuh bangsawan sembarangan. Namun kekhawatirannya mengalahkan rasa sungkan.

"Tidak, Mbok. Hanya lelah," jawab Sumi singkat, tak ingin membahas apa yang baru saja terjadi.

Kereta kuda sudah menunggu di ujung jalan setapak, tersembunyi di balik pepohonan bambu agar tidak menarik perhatian penduduk desa yang mungkin melintas. 

Kusir yang juga merupakan abdi Prawiratama buru-buru turun, memastikan tangga kereta terpasang benar.

Tanpa banyak bicara, Sumi masuk ke dalam kereta, dibantu oleh Mbok Sinem yang masih mengawasi dengan cemas, sedang Pak Karto duduk di sisi kusir.

Perjalanan pulang terasa panjang dan sunyi. Sumi menyandarkan kepalanya pada bantalan kursi kereta, matanya terpejam, namun tidak bisa tidur. 

Rasa aneh di perutnya terus mengganggu—kini sudah sedikit mereda–hanya gelitikan lembut yang sesekali mengirimkan gelenyar ke seluruh tubuhnya.

Satu jam kemudian, kereta kuda memasuki kompleks Dalem Prawirataman, kediaman keluarga Prawiratama yang megah. 

Berbeda dengan rumah-rumah di sekitarnya yang sudah banyak terpengaruh arsitektur Belanda, Dalem Prawirataman masih mempertahankan gaya Jawa klasik.

Pendopo besar dengan delapan tiang utama menyambut setiap tamu yang datang. Di belakangnya terdapat pringgitan—ruang sebelum masuk ke area dalam rumah. 

Bagian dalam rumah atau dalem ageng dilengkapi dengan emperan yang luas dan beberapa gandok sebagai ruang tambahan. Semuanya dikelilingi oleh pekarangan luas yang ditanami berbagai tanaman hias dan pohon buah.

Semua lampu di rumah utama sudah dimatikan, kecuali beberapa lampu minyak yang dinyalakan oleh para abdi untuk menerangi jalan. 

Namun, Sumi melihat cahaya masih menyala terang dari arah gandok kulon—paviliun barat yang menjadi kediaman Pariyem, istri muda Raden Mas Soedarsono yang baru dinikahi enam bulan lalu.

Saat kereta berhenti di depan pendopo, telinga Sumi menangkap suara tawa perempuan yang melengking dari arah paviliun tersebut. Tawa yang diikuti oleh suara berat yang sangat dikenalnya—suara suaminya.

"Simbok langsung istirahat saja," ujar Sumi pada Mbok Sinem yang masih membantunya turun dari kereta.

"Sendika, Ndoro," jawab Mbok Sinem dengan mengangguk patuh, meski matanya melirik ke arah gandok kulon dengan tatapan tidak senang.

Dengan langkah pelan, Sumi berjalan menuju kamarnya di bagian tengah dalem ageng. Untuk mencapai kamarnya, ia memilih melewati area taman yang memisahkan rumah utama dan paviliun–gandok kulon yang ditinggali Pariyem.

Suara-suara dari kamar Pariyem semakin terdengar jelas—tawa riang, bisikan manja, dan sesekali suara berat suaminya yang diikuti kikikan Pariyem.

"Ndoro betul-betul kuat …."

"Kau memang pintar memuji, Yem."

"Tapi memang benar, Ndoro ... Bagaimana mungkin Ndoro Ayu dan Yu Lastri belum juga hamil kalau Ndoro sekuat ini … pasti mereka yang tidak bisa punya anak."

Mendengar namanya disebut, langkah Sumi terhenti. Tubuhnya menegang.

"Kalau begitu, saya yang akan melahirkan pewaris Prawiratama," suara Pariyem terdengar bersemangat. "Ndoro tidak perlu khawatir. Keluarga saya terkenal subur. Ibu saya melahirkan sembilan anak ...."

"Kita lihat saja nanti," jawab suaminya, diikuti tawa ringan. "Kalau kau bisa memberiku putra dalam satu tahun, aku akan memberikan tanah itu untukmu."

"Benarkah, Ndoro?" suara Pariyem meninggi penuh kegembiraan. "Tanah luas itu? Yang dekat dengan perkebunan tebu milik Belanda?"

"Ya, tapi harus putra, bukan putri."

"Tentu saja akan putra, Ndoro ... Saya akan memastikannya ..."

Tangan Sumi mencengkeram dinding kayu di sampingnya hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya yang lelah kini terasa panas. 

Tanah yang dimaksud adalah tanah pribadinya—warisan dari mendiang ayahnya, bukan milik keluarga Prawiratama. Dan kini suaminya dengan enteng menjanjikannya pada istri muda yang licik.

Dengan langkah gontai, ia bergegas menuju kamarnya, tak ingin mendengar lebih banyak lagi. Begitu pintu kamar tertutup, Sumi merosot ke lantai, tubuhnya bergetar menahan amarah dan kesedihan.

Pagi datang dengan cepat. Cahaya matahari menembus celah-celah jendela berukir di kamar Raden Ayu Sumi. 

Suara kesibukan para abdi terdengar dari arah dapur—persiapan sarapan dan berbagai aktivitas rumah tangga telah dimulai sejak ayam pertama berkokok.

Sumi membuka mata, merasa sedikit lebih baik meski sensasi aneh di perutnya masih samar terasa. 

Ia bangkit perlahan, memandang ke luar jendela. Dari kamarnya, ia bisa melihat sebagian halaman belakang dalem yang luas, dengan kolam kecil dan berbagai tanaman bunga.

Mbok Sinem masuk setelah mengetuk pintu, membawa sebaskom air hangat untuk cuci muka dan secangkir teh jahe yang masih mengepul.

"Ndoro Ayu sudah bangun," ucapnya dengan senyum lega. "Saya kira Ndoro masih lelah dari semalam."

"Saya tidak apa-apa, Mbok," jawab Sumi, menerima teh yang disodorkan. "Hari ini ada banyak yang harus diurus."

Setelah membersihkan diri dan berpakaian rapi—mengenakan kebaya sutra berwarna biru langit dengan motif bunga kecil dan kain batik parang rusak—Sumi melangkah menuju ruang tengah. 

Seorang abdi dalem mendekat sambil membungkuk. "Ndoro Ayu, Ndoro Mas menunggu untuk sarapan bersama."

Di ruang makan, Raden Mas Soedarsono duduk dengan tenang, membaca surat kabar berbahasa Belanda. 

Usianya empat puluh tahun, tubuhnya tegap dengan kumis yang terawat rapi. Sebagai salah satu priyayi terpandang, ia mengenakan beskap hitam yang rapi, seperti hendak menghadiri pertemuan penting.

"Selamat pagi, Kangmas," sapa Sumi, duduk di kursi yang berseberangan dengan suaminya.

"Pagi, Diajeng," balas Soedarsono sambil melipat korannya. "Semalam pulang larut?"

Terdengar seperti pertanyaan biasa, namun Sumi bisa menangkap nada menyelidik di dalamnya.

"Ya, perjalanan pulang dari undangan puputan bayi tidak bagus, roda rusak," jawabnya dengan santai. "Hari ini Kangmas ada pertemuan di kadipaten?"

"Ya, dengan Bupati dan beberapa priyayi lain. Ada rencana pembangunan jalan baru dari arah selatan."

Percakapan mereka berlanjut seperti biasa, membahas politik kadipaten dan beberapa skandal bangsawan Jawa.

"Kangmas," Sumi memulai dengan hati-hati, setelah beberapa saat mereka menikmati sarapan, "saya dengar tanah di dekat Kedung Wulan masih milik keluarga Van der Spoel?"

Soedarsono mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan topik yang dibawa istrinya. "Benar. Kenapa tiba-tiba bertanya tentang tanah itu?"

"Saya ingin membelinya," jawab Sumi langsung. "Sebagai simpanan pribadi. Tanah warisan dari Romo sudah menghasilkan cukup banyak, saya ingin menggunakan uangnya untuk membeli tanah baru."

Kata-kata "tanah warisan" dan "simpanan pribadi" sengaja ditekankan, mengingatkan suaminya bahwa Sumi memiliki kekayaan pribadi di luar kekayaan keluarga Prawiratama. 

Sebagai perempuan bangsawan dari keluarga berada, Sumi memang membawa banyak harta ketika menikah—harta yang secara hukum adat tetap menjadi miliknya pribadi.

Soedarsono tampak memikirkan permintaan istrinya. "Area itu sudah lama tidak didatangi orang, Diajeng. Jalur ke sana tidak bagus."

"Tidak masalah, Kangmas," Sumi tersenyum tipis. "Nanti pelan-pelan bisa dibenahi. Saya ingin membuat kolam ikan di sana. Di sini jauh dari laut, harga ikan mahal. Air yang selalu ada akan sangat menguntungkan."

Tentu saja ini hanya alasan. Sumi tidak benar-benar berniat membuat kolam ikan. Yang ia butuhkan adalah akses ke sendang Kedung Wulan untuk ritual yang dianjurkan Ki Jayengrana.

"Baiklah," jawab Soedarsono akhirnya. "Terserah Diajeng saja kalau begitu."

"Terima kasih, Kangmas," Sumi tersenyum. "Kalau bisa, saya ingin melihat tanah itu hari ini. Sekadar meninjau."

"Pergilah dengan pengawal," Soedarsono menyetujui. "Tempat itu sudah lama tidak didatangi orang. Bawa Karto dan Mbah Joyo."

Begitu sarapan usai, seorang abdi mendekati dengan sopan, memberi tahu bahwa kereta Raden Mas sudah siap untuk membawanya ke kadipaten. 

Soedarsono bangkit sambil menatap istrinya, sejak tadi memperhatikan, rasanya ada yang berbeda dengan perempuan itu, tampak lebih menggoda.

Sumi memang cantik, tapi entah apa yang membuatnya berbeda kali ini. Soedarsono masih memandangi parasnya yang ayu dan kemudian sedikit membungkuk untuk berbisik, “Diajeng, atur ulang jadwal gilir nanti malam. Kangmas ingin Diajeng yang menemani. Diajeng cantik sekali pagi ini.”

Sumi terkejut dengan keinginan mendadak sang suami, sedang janji temunya dengan Ki Jayengrana tentu saja tidak bisa diundur–harus tujuh malam berturut-turut.

“Tapi Kangmas, nanti malam jatah untuk Lastri.”

Terpopuler

Comments

nn.maria

nn.maria

ini masih satu scene sama om jay atau ratna maya ngga ndoro

2025-05-04

1

❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈

❤️⃟Wᵃf ༄SN⍟𝒚𝒂𝒚𝒖𝒌🦈

lahh punya berapa itu woyyy hadeh istri pertama dan selir2 gila

2025-05-17

2

Jati Putro

Jati Putro

Ndoro ayu Sumi nasib nya kurang mujur ,
suami nya banyak istri
mungkin yg mandul Raden Soedarso sendiri

2025-05-19

1

lihat semua
Episodes
1 1. Tahun 1927
2 2. Lemah Teles (Tanah Basah)
3 3. Raden Mas Soedarsono
4 4. Hierarki Dalem Prawirataman
5 5. Martin van der Spoel
6 6. Johanna van der Spoel
7 7. Kedung Wulan
8 8. Kanjeng Ibu
9 9. Undangan di Rumah Residen van Reijden
10 10. Raden Ayu Retnosari
11 11. Meninggalkan Pesta
12 12. Asal-Usul Ki Jayengrana
13 Janji Ki Jayengrana
14 Panunggaling Sukmo
15 Mengintip
16 Ilusi
17 Keanehan Kedung Wulan
18 Keanehan Setelahnya
19 Keanehan Sumi
20 Kunjungan Martin
21 Tuntutan Martin
22 Martin yang Keras Kepala
23 Kedatangan Raden Mas Soedarsono
24 Keberanian Baru Sumi
25 Kecurigaan Raden Mas Soedarsono
26 Pariyem
27 Halus Namun Mematikan
28 Jejak Martin
29 Keberanian Sumi
30 Johannes van der Spoel
31 Ki Djoyosubroto
32 Syarat dari Johan
33 Pengkhianatan Sumi
34 Adu Jotos
35 Perceraian
36 Helena van der Spoel
37 Lastri
38 Dalem Pranatadirja
39 Ki Jayengrana Lenyap
40 Pendeta Cornelis
41 Usaha Baru
42 Cerita Lain yang Dijanjikan
43 Kuasa Gelap
44 Berderma
45 Kabar Tak Baik
46 Uang Kompensasi
47 Terjerat Kembali
48 Memutus Kutukan
49 Merusak Jiwa
50 Seminari
51 Ikatan Gelap
52 Perkawinan Campuran
53 Ayah Soedarsono Meninggal
54 Membujuk Sumi
55 Pengakuan
56 Keputusan Sumi
57 Pernikahan
58 Pengembalian Uang
59 Tujuan Utama
60 Nasihat Pernikahan
61 Waspada
62 Kepulangan Sumi
63 Kedatangan Soedarsono
64 Perhitungan Johan
65 Rencana Soedarsono
66 Sabotase Pertama
67 Mogok Massal
68 Strategi Johan
69 Menjemput Sumi
70 Tahap Kedua
71 Fitnah
72 Pendeta Cornelis Meninggal
73 Melapor Polisi
74 Rencana Johan ke Batavia
75 Rudolf Dekker
76 Strategi Dekker
77 Residen Oude
Episodes

Updated 77 Episodes

1
1. Tahun 1927
2
2. Lemah Teles (Tanah Basah)
3
3. Raden Mas Soedarsono
4
4. Hierarki Dalem Prawirataman
5
5. Martin van der Spoel
6
6. Johanna van der Spoel
7
7. Kedung Wulan
8
8. Kanjeng Ibu
9
9. Undangan di Rumah Residen van Reijden
10
10. Raden Ayu Retnosari
11
11. Meninggalkan Pesta
12
12. Asal-Usul Ki Jayengrana
13
Janji Ki Jayengrana
14
Panunggaling Sukmo
15
Mengintip
16
Ilusi
17
Keanehan Kedung Wulan
18
Keanehan Setelahnya
19
Keanehan Sumi
20
Kunjungan Martin
21
Tuntutan Martin
22
Martin yang Keras Kepala
23
Kedatangan Raden Mas Soedarsono
24
Keberanian Baru Sumi
25
Kecurigaan Raden Mas Soedarsono
26
Pariyem
27
Halus Namun Mematikan
28
Jejak Martin
29
Keberanian Sumi
30
Johannes van der Spoel
31
Ki Djoyosubroto
32
Syarat dari Johan
33
Pengkhianatan Sumi
34
Adu Jotos
35
Perceraian
36
Helena van der Spoel
37
Lastri
38
Dalem Pranatadirja
39
Ki Jayengrana Lenyap
40
Pendeta Cornelis
41
Usaha Baru
42
Cerita Lain yang Dijanjikan
43
Kuasa Gelap
44
Berderma
45
Kabar Tak Baik
46
Uang Kompensasi
47
Terjerat Kembali
48
Memutus Kutukan
49
Merusak Jiwa
50
Seminari
51
Ikatan Gelap
52
Perkawinan Campuran
53
Ayah Soedarsono Meninggal
54
Membujuk Sumi
55
Pengakuan
56
Keputusan Sumi
57
Pernikahan
58
Pengembalian Uang
59
Tujuan Utama
60
Nasihat Pernikahan
61
Waspada
62
Kepulangan Sumi
63
Kedatangan Soedarsono
64
Perhitungan Johan
65
Rencana Soedarsono
66
Sabotase Pertama
67
Mogok Massal
68
Strategi Johan
69
Menjemput Sumi
70
Tahap Kedua
71
Fitnah
72
Pendeta Cornelis Meninggal
73
Melapor Polisi
74
Rencana Johan ke Batavia
75
Rudolf Dekker
76
Strategi Dekker
77
Residen Oude

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!