–Aster–
Aku benar-benar merasa terkejut dengan perkataan bibi yang ingin menjual rumahku. Tidak, itu bukan rumahku tapi rumah bibi. Dia membutuhkan uang jadi ingin menjual rumahnya, tapi kalau rumah itu dijual aku harus pergi kemana?
Ah lagi-lagi aku mengingat ibu dan nenek, seandainya mereka masih bersamaku mungkin aku tidak akan merepotkan bi Siti dan suaminya. Aku juga tak akan merepotkan tetangga lainnya dan dijauhi oleh teman-temanku karena tak memiliki seorang ayah.
Bibi benar-benar salah paham sekarang, paman juga terlihat kebingungan memperhatikan amplop putih dihadapannya. Sekarang apa yang harus ku lakukan? Batinku bertanya-tanya.
“Bibi,” ucapku angkat suara mencuri perhatian semua orang.
“Ya sayang?” Tanya bibi sambil membelai rambutku.
“Paman ini bukan kerabatku, aku tidak mau tinggal bersamanya. Aku tidak mau merepotkannya, aku juga tidak mau merepotkan bibi hiks ... tapi Aster harus kemana kalau bibi mengusir Aster dari rumah itu?” Tanyaku dengan suara bergetar, tak lama kemudian buliran bening merembes keluar dari pelupuk mataku.
“Tidak sayang bukan seperti itu, bibi tidak bermaksud mengusirmu. Kalau kamu tidak mau tinggal dengan pamanmu, kamu boleh tinggal di rumah bibi disini—bersama bibi dan paman.” Tutur bi Siti langsung memeluk tubuhku.
“Tapi dia bukan pamanku,” gumamku disela-sela tangisku.
“Maaf sepertinya kami salah paham.” Suara paman Zaenal yang duduk disamping bibi.
“Apa yang kamu katakan Aster?” Tanya paman membuatku melirik kearahnya dibalik pelukan bi Siti, ku lihat dia menatapku dengan hangat dan tersenyum lebar saat pandangan kami bertemu, “aku ini kerabatmu, kamu bisa ikut bersamaku sekarang.” Lanjutnya membuatku melongo.
“A—apa itu benar?” Tanya bi Siti melepaskan pelukannya dariku dan aku pun menyeka air mataku.
Paman ini kenapa? Apa dia benar-benar ingin mengadopsiku? Tapi kita bukan kerabat kan? Kami baru bertemu kemarin malam, apa tidak apa-apa dia mengadopsiku? Haruskah aku menolak ajakannya itu?
Habisnya aku benar-benar anak yang merepotkan, aku tidak ingin merepotkan siapapun. Aku juga tidak mau menghambat paman dan bibi untuk menjual rumah mereka, kalau aku tinggal bersama mereka ... bukankah akan merepotkan mereka juga?
Aku harus pergi kemana sekarang nek, ibu? Batinku bertanya-tanya.
“Ka–kalau begitu mari bibi bantu mengemasi barang-barangmu ya.” Tutur bibi sambil tersenyum kepadaku.
Ah aku benar-benar tidak bisa menolaknya, wajah bibi terlihat begitu lega sekarang. Padahal selama ini bibi selalu memasang ekspresi cemas saat melihatku, tapi sekarang ... bibi terlihat lega dengan senyuman hangatnya.
Mau tak mau aku pun pergi ke rumah yang ku tinggali bersama dengan bi Siti, meninggalkan paman Zaenal bersama dengan paman merah di ruang tamu rumah mereka. Ku lihat paman merah masih memasang ekspresi tersenyumnya padaku saat aku menoleh padanya sebelum pergi meninggalkan ruangan itu.
“Sekarang bagaimana?” Gumamku merasa serba salah mengikuti langkah bi Siti memasuki rumahku, rumah yang penuh dengan kenanganku bersama ibu dan nenek. Tapi sekarang aku harus pergi dari rumah itu.
***
Persiapanku sudah selesai, aku hanya membawa satu koper pakaian, satu kardus berukuran sedang berisi peralatan sekolah dan satu tas sekolah berisi seragam sekolah beserta sepatu sekolahku.
Ku lihat paman merah sudah berdiri didepan mobilnya bersama dengan pak supir yang mengantarku pulang. Tapi sekarang aku harus ikut dengan mereka lagi.
“Aster sayang, bibi senang akhirnya kamu tidak sendirian lagi. Ibu dan nenekmu pasti senang melihatmu dari atas sana.” Suara bibi sambil mengeratkan genggaman tangannya saat menggandeng tanganku.
“Sudah selesai?” Tanya paman merah saat aku sampai di hadapannya.
Aku bahkan tak berani menatap matanya, entah kenapa aku merasa tidak enak padanya. karena dia mengantarku pulang, dia harus kembali membawaku pulang ke rumahnya.
Lagi-lagi aku merepotkan orang lain. Batinku merasa kesal pada diriku sendiri sambil meremas ujung pakaianku.
“Ada apa nak?” Suara bibi meruntuhkan lamunanku, dengan cepat ku tunjukan senyuman terbaik ku padanya.
“Masukan barang-barangnya ke dalam mobil.” Suara paman membuat pak supir segera mengangkut koper biru milik ku beserta kardus yang ada dihadapanku.
“Ayo Aster, kita kembali ke rumahku. Sekarang kamu akan tinggal bersamaku.” Lanjutnya sambil meraih tangan kananku.
“Jaga dirimu baik-baik ya nak.” Ucap bibi sambil berderai air mata membuatku ingin menangis juga, tapi sekuat tenaga ku coba untuk menahannya.
“Kapan-kapan kamu boleh berkunjung menemui kami, jadilah anak baik ya.” Lanjut paman Zaenal sambil merangkul bi Siti.
“Kalau begitu kami pamit sekarang, terima kasih karena sudah menjaga Aster selama ini. dan maaf aku baru bisa datang hari ini.” Tutur paman mengeratkan genggaman tangannya membuatku menoleh kearahnya yang sudah membungkukan badannya dihadapan bi Siti dan paman Zaenal.
Lalu kamipun masuk ke dalam mobil, meninggalkan kediaman bi Siti dan semua kenanganku yang tersimpan di rumah itu.
“Ma—maafkan aku paman.” Ucapku sedikit bergetar sambil meremas celana pendek yang ku kenakan.
“Kenapa?” Tanyanya bersama buliran bening yang kembali jatuh dimataku.
“Aku–” Jawabku terhenti saat merasakan telapak tangan paman yang menyentuh puncak kepalaku dengan lembut, bahkan senyumannya kembali merekah dan menatapku dengan teduh.
“Pasti sulit ya tinggal sendirian diusiamu yang masih semuda ini.” Tutur paman membuat derai air mataku semakin deras.
Entah kenapa ucapannya terdengar begitu lembut dan penuh perhatian, padahal kami belum lama bertemu. Tapi paman malah bersikap sebaik ini padaku. Apakah di dunia ini memang ada orang-orang seperti paman?
“Kenapa malah menangis?” Tanyanya sambil menghapus air mataku yang masih berjatuhan.
“Paman hiks ... Aster janji tidak akan merepotkan paman,” gumamku sambil terjun ke pelukannya tanpa sadar.
Melihatnya begitu baik padaku benar-benar membuatku merasa seperti memiliki seorang ayah. Dan aku ingin menganggapnya sebagai ayahku, apa tidak apa-apa? Lagipula aku ingin memiliki ayah seperti teman-temanku.
Aku ingin memamerkannya pada teman-teman sekolahku kalau aku juga memiliki ayah seperti mereka, dengan begitu mereka akan berhenti mengejek ku nantinya. Tapi ... permintaan seperti itu terdengar tidak pantas kan? Apalagi setelah paman menyelamatkanku dan membawaku kembali bersamanya.
“Aster?” Suara paman kembali terdengar ditelingaku. Tangannya mulai membelai rambutku dengan lembut.
Sekali saja, tidak apa-apa kan aku berpura-pura tidur dipelukannya? Aku masih ingin merasakan kehangatannya, setidaknya sampai kami sampai di rumah paman. Biarkan aku menganggapnya sebagai ayahku sebentar saja.
“Dia tidur.” Suara paman terdengar ketelingaku, lalu detik berikutnya aku mendengar helaan napas lelahnya.
“Maaf tuan muda, apa tidak sebaiknya tuan meminta pendapat nyonya dulu? Nyonya pasti terkejut jika melihat tuan membawa anak ini ke rumahnya.” Kali ini aku mendengar suara pak supir.
“Makanya aku bilang kita pulang ke rumahku. Aku tidak akan membawanya ke rumah ibuku.”
“Tapi tuan, nyonya meminta saya untuk mengantar tuan ke rumahnya.”
“Aku bilang kita pulang ke rumahku, setelah itu baru kita pergi ke rumah ibu.”
Sepertinya aku membawa masalah bagi keluarga paman. Ibu tidak bisakah ibu membawaku pergi juga? Aku tidak mau terus merepotkan orang-orang disekitarku.
.
.
.
Thanks for reading...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 252 Episodes
Comments
veronicarismaa1
selalu hadir, selalu lanjut baca
2022-08-02
0
nonk sa
good job
2021-12-30
0
Maret
mantap
2021-12-30
0