Sudah satu bulan berlalu semenjak Livi terus kemana mana harus dikawal oleh orang suruhan Papinya. Menghadapi seorang pak Cipto saja sudah membuatnya malas ditambah lagi sekarang dua orang berpakaian serba hitam dengan wajah datar yang tak pernah menunjukkan senyum itu, selalu mengekor kemana dirinya berada. Di sekolah pun, antek antek suruhan Papinya itu tetap stand by di parkiran sekolah. Takut kejadian beberapa hari lalu terulang saat Livi berhasil kabur dari para pengawalnya yang lengah dalam menjaganya.
"Liv, itu pengawal kamu seharian loh berdiri disitu. Gak makan gak minum, kasihan loh." Ucap Alya sambil mengamati para pengawal Livi yang berada tak jauh dari mushollah tempatnya kini sedang duduk berdua dengan Livi selepas menunaikan kewajiban pada sang pencipta.
Livi memandang sekilas pada pengawalnya, tatapannya benar benar tak suka. "Biarin aja, biar mereka pada sakit jadi gak bisa jagain aku." Ucapnya sewot.
"Husssh! Gak boleh doain orang yang jelek jelek Liv. Gak baik." Sergah Alya mengingatkan
Livi hanya memutar bola matanya dengan malas. "Kamu enak ya Al, hidup kamu normal gak banyak aturan. Gak kayak aku, sendirian banyak aturan, harus ini harus itu yang gak sesuai dengan keinginanku." Gadis itu menundukkan kepalanya. Matanya menerawang menatap lantai keramik dibawahnya.
Alya sesaat terdiam, melihat sisi lain dari seorang Livia yang selalu ia lihat begitu sempurna. Sebelum berteman sedekat ini dengan Livi, Alya melihat Livi adalah orang yang sangat beruntung. Wajah cantik yang tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, pintar dan cerdas, juga bergelimang harta. Semua yang dipakai Livi adalah barang barang mewah yang membuat semua mata ingin juga memiliki nya.
Tapi siapa sangka, jika dibalik itu semua, akhirnya Alya tahu jika sahabat nya itu begitu kesepian juga tak nyaman dengan hidupnya yang penuh aturan.
"Kata siapa kamu sendirian?" tanya Alya mencoba menghibur Livi. Gadis berparas bule itu segera menoleh ke arah Alya.
"Kamu punya aku Liv, kita berteman kan?" Ucap Alya riang.
Mendengar ucapan Alya, senyum terulas dibibir Livi. Gadis itu mengangguk, benar yang dikatakan Alya. Sejak memutuskan berteman dengan Alya, setidaknya ia memiliki tempat berkeluh kesah selain pada Angga.
"Makasih ya Al, udah mau jadi teman ku. Kamu jadi orang berharga di hidupku sekarang selain kak Angga." Ucap Livi dengan tulus.
Mendengar nama Angga, senyum yang mengembang di bibir Alya perlahan surut dan menghilang. Ia menatap lekat wajah Livia. Bibirnya hendak menanyakan sesuatu namun entah kenapa tak ada keberanian untuk mengungkapkannya.
"Al.." Livi menepuk tangan Alya yang sedang melamun. "Kenapa? Kok tiba tiba diem." tanya Livi.
Dengan hati hati, Alya pun memutuskan untuk tetap bertanya. Ia tak ingin suatu hal terus mengganjal di hatinya. "Kak Angga berarti banget ya buat kamu Liv?" tanya Alya dan membuat Livi menoleh secepat kilat menatap Alya.
Sejenak Livi mengawasi raut wajah Alya yang menanti jawabannya sebelum kemudian mengangguk kan kepala. "Dia sahabat ku sejak kecil Al, cuma kak Angga tempatku tertawa dan menangis. Dia sudah seperti kakak ku sendiri." Ucap Livia.
"Dan kamu menyukainya?" Pertanyaan dari Alya membuat irama jantung Livi berpacu lebih cepat.
"Iyalah Al aku suka sama kak Angga. Aku kan bilang kalau dia baik banget sudah seperti kakak ku sendiri." Jelas Livi.
"Kamu mencintai nya?" Satu pertanyaan lagi dari Alya yang membuat Livi menegakkan duduknya.
Keduanya saling menatap, Alya dengan sorot mata menanti jawaban, sedang Livia dengan tatapan terkejut atas pertanyaan Alya.
Tawa dari Livi secara tiba tiba memutus pandangan keduanya. "Enggak lah Al. Enggak mungkin aku cinta sama kak Angga. Aku sayang sama dia ya cuma...cuma sebatas temen sebatas saudara. Iya! cuma sebatas saudara saja kok." Entak kenapa lagi lagi Livi menjadi seorang pengecut dalam mengungkapkan perasaannya meski dihadapan Alya.
"Astagaaa! Kenapa aku sepengecut ini?"
Dan Alya hanya mengulas senyum mendengar jawaban Livi, sejenak keduanya hanya terdiam saling bergelut dengan pikiran masing masing sebelum kemudian suara bel masuk berbunyi. Kedua remaja itu segera melangkah kembali menuju ruang kelas.
🌸🌸🌸🌸
Langit yang sudah menghitam kali ini tak menampilkan suguhan indahnya taburan kemerlip bintang, malah menurunkan rintik hujan. Bersamaan dengan itu Angga baru saja menapaki rumahnya. Laki laki itu melangkah memasuki rumah setelah memarkirkan motor kesayangannya di garasi.
Wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik seperti Mama Mama muda sosialita segera menghampiri kala melihat putra kesayangannya datang.
"Angga, sayang? Kamu dari mana jam segini baru pulang?" Tanya wanita bernama Rosa yang tak lain adalah ibu dari Angga.
"Kuliah lah Ma. Terus tadi nongkrong bentar sama temen." Ucapnya sambil berjalan menuju arah dapur dan tak menghiraukan Mamanya yang mengekor dibelakangnya.
"Angga, Livi tadi kesini nyariin kamu. Hape kamu kenapa? katanya ditelfonin gak bisa, mati." Ucap Rossa.
"Oh iya, baterai hape Angga lowbath Ma." Jawab Angga sambil membuka pintu lemari es dan mengambil salah satu minuman bersoda didalamnya.
"Kamu cepetan samperin Livi gih! Kasihan dia, tadi kesini kayak habis nangis. Matanya sampai sembab gitu." Ucapan Rossa menghentikan tangan Angga yang akan meneguk minuman kaleng ditangannya.
"Menangis?" tanya Angga memastikan.
Rossa segera mengangguk cepat. "Gak bilang apa apa, cuma tanya kamu. Ya Mama bilang kamu belum pulang, terus dia pamit pulang. Udah sana samperin kasian Livi sendirian." Perintah Rossa.
Angga pun meletakkan kembali minumannya yang belum sempat ia minum lalu berlari keluar rumah.
"Baik baik ya sayang sama Livi!" Seru Rossa mengantar kepergian putranya. Ia memang gencar menyuruh Angga untuk mendekati Livi yang notabene anak seorang kaya raya. Karena memiliki
menantu kaya raya adalah salah satu cita citanya.
🌸🌸🌸
Suara ketokan dari arah jendela kamarnya segera membuyarkan lamunan seorang Livia yang tengah termenung menatap foto masa kecilnya yang begitu lucu. Ia segera berjalan menghampiri jendela kamarnya. Wajah sedih yang sejak tadi ia tampilkan kini berubah berbinar kala melihat wajah Angga berada dibalik kaca jendela kamarnya. Ia segera membuka jendela, memundurkan langkah ketika laki laki yang menjadi tambatan hatinya itu meloncat memasuki kamarnya.
"Kenapa mesti lewat jendela kalau ada pintu?" tanya Livi. Livi sama sekali tak terkejut dengan tindakan Angga yang memanjat rumahnya untuk sampai di kamarnya, karena hal itu sudah menjadi kebiasaan laki laki itu saat tak mendapat ijin dari Maya selaku ibu dari Livi untuk bertemu dengan Livi.
"Takut gak dibukain sama Mami kamu." Jawab Angga lalu melangkah duduk di Sofa besar disudut kamar itu.
Senyum berkedut dibibir Livi, membayangkan Angga sering di usir secara halus oleh Maminya yang memang tak menyukai diri dirinya terlalu dekat dengan Angga.
"Udah lama nangisnya?" tanya Angga setelah melihat wajah, hidung Livi memerah dan mata yang sembab. Ceceran Tisu bekas pakai juga berserakan di tepi ranjang gadis itu. Menandakan jika gadis itu telah menangis cukup lama.
Livi yang masih berdiri kini mengangguk. Ia berjalan menuju pintu kamarnya lalu membukanya.
"Liv! Jangan dibuka nanti ketahuan Mami Papi kamu!" Sergah Angga.
"Udah pergi kok mereka sore tadi."
"Kemana?"
Livi mengangkat bahunya. "Ke bulan mungkin!" Ucapnya asal.
"Bi Yani...!!! Buatin minum buat kak Angga!" Seru Livi kemudian segera melangkah kembali dan duduk di samping Angga.
Angga menatap wajah Livi dengan seksama. Memperhatikan mata indah itu terlihat bengkak. "Kenapa menangis sampai bengkak seperti itu?" tanyanya.
Air mata yang dikira Livi telah habis nyatanya menyeruak kembali saat mendengar pertanyaan Angga. Ia kembali menangis, hatinya kembali perih.
Tangisnya semakin pecah saat Angga membawanya dalam pelukannya. Laki laki itu membelai rambut Livi, berusaha memberi ketenangan pada Livi.
"Sejak aku kecil aku selalu sendiri, aku hidup bersama Bi Yani, hampir setiap malam aku ketakutan, aku ingin dipeluk mereka tapi malah Bi Yani yang memelukku." Livi mulai menceritakan apa yang membebani hatinya. Gadis itu memberi jeda saat kembali sesenggukan oleh tangisnya. "Sejak mereka mengatakan jika kasih sayang yang diberikan padaku lebih penting uang dari pada waktu luang mereka untukku, aku sekalipun tidak pernah menuntut apa apa lagi. Aku menjalani hidup ku sendiri. Aku tidak pernah menuntut mereka apapun kak."
Angga mendengarkan dengan seksama apa yang diceritakan Livi. Ia cukup tahu kehidupan gadis cantik dipelukannya itu memang tak pernah mendapat kasih sayang orang tuanya. Angga masih diam, memberi kesempatan pada Livi untuk melanjutkan ceritanya, ia ingin tahu tuntutan apa lagi yang diberikan oleh orang tua Livi untuk gadis itu.
Cukup lama menangis, akhirnya tangis Livi mereda, hanya terdengar sesekali isakan saja. Dan Angga memberanikan diri untuk bertanya. "Lalu apa yang membuat kamu sesedih ini?" tanya nya pelan.
Perlahan Livi menarik diri dalam dekapan Angga, ia menyeka air matanya. "Mami memaksa ku untuk ikut tinggal diluar negeri dengannya. Aku enggak mau. Aku gak mau pergi dari sini kak."
Angga menatap Livi penuh rasa iba, mengingat sejak kecil, Livi selalu mendapat tekanan atas keinginan orang tua Livi. "Kamu selalu merindukan mereka bukan?" tanya Angga dan jawaban dari Livi adalah menggelengkan kepala.
"Baiklah. Sekarang katakan alasan kamu tidak mau ikut!"
"Kamu masih bertanya kenapa?" tanya Livi dengan nada kecewa.
"Livi, bukan seperti itu maksudku. Aku selalu mengatakan, mereka orang tua kamu. Tidak mungkin mereka akan terus menekan kamu. Mungkin dengan berada dekat dengan mereka, kedepannya mereka bisa meluangkan sedikit waktunya untuk kamu. Kesempatan kamu untuk lebih dekat dengan mereka semakin besar.
Livi terdiam menatap Angga. Ia tidak mengiyakan nasihat Angga juga tidak membantahnya.
Kehadiran Bu Yani yang membawa segelas minuman hangat di atas nampan itu menjeda pembicaraan dua remaja itu.
"Terima kasih Bi." Ucap Angga pada Bi Yani setelah wanita tua itu meletakkan minuman di meja dan segera undur diri.
"Kalau aku ikut mereka, aku gak bisa ketemu kamu lagi." Cetus Livi yang seketika membuat Angga yang semula tatapannya mengantarkan kepergian Bi Yani keluar dari kamar kini memfokuskan pandangannya kembali pada wajah Livi.
"Siapa yang akan menemaniku saat aku sendirian? Siapa yang akan mendengarkan tangis juga curhatku kalau aku ikut Mami. Kamu bakalan jauh dariku."
Angga, laki laki itulah yang menjadi alasan Livi tak ingin ikut dengan orang tuanya. Bayangan dirinya jauh dari Angga membuat hatinya sakit. Seakan tak sanggup jika harus sendiri jauh dari Angga. Kebersamaan bertahun tahun membuatnya nyaman bersama laki laki yang entah sejak kapan mulai memenuhi hatinya itu.
Angga menatap penuh rasa iba pada dara cantik dihadapannya itu. Keadaan Livi yang seperti ini mengingatkan nya dengan seekor kucing kecil yang menatapnya ingin disayangi. Perlahan tangannya bergerak mengusap air mata Livi yang kembali jatuh.
"Sudah terlalu lama kamu menangis, istirahatlah dulu. Besok aku akan menjemputmu." Ucap Angga lalu menuntun Livi ke arah ranjangnya. Dengan telaten Angga menangkupkan selimut pada tubuh Livi saat gadis itu sudah berbaring.
"Tidurlah!"
"Jangan meninggalkan ku sebelum aku benar benar tidur." Pinta Livi.
Angga tersenyum mengangguk, laki laki itu duduk ditepi ranjang Livi. Saling menatap cukup lama, hingga akhirnya mata indah dara cantik itu mulai terpejam. Dengkuran halus mulai terdengar yang menandakan Livi telah jatuh ke alam mimpinya.
Angga perlahan beranjak mematikan lampu kamar Livi dan hanya menyisakan lampu tidur yang menebarkan cahaya temaram. Satu kecupan hangat dikening Livi ia berikan untuk menemani tidur gadis itu. Perlahan Angga melangkah keluar kamar Livi. Setelah berpamitan pada Bi Yani, ia pun segera undur diri.
🌸🌸🌸🌸
Happy Reading
Semoga suka sama ceritanya
Jangan lupa kasih like ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
KIA Qirana
Ayo....kami datang
💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕
♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️♥️
2021-10-14
0
🎯™SuhaedahE𝆯⃟🚀 ⍣⃝కꫝ🎸
sebenarnya Angga cinta gak sih sama Livi..
semangat lanjut ya thor..🌹🌹❤❤
2021-02-23
1
Yohana Agriany
Alya lebih gesit ya...
2021-01-24
1