Livi dan Angga sampai di depan rumah Livi saat langit sudah mulai menggelap. Senyum yang terus terurai dari bibir Livi seketika menghilang saat melihat mobil mewah yang terparkir di halaman rumahnya. Ia turun dari motor Angga dengan raut wajah berubah muram, tangannya sibuk melepas kait tali helm agar terlepas dengan matanya menatap ke arah dalam halaman rumahnya.
Angga memperhatikan Livi, matanya juga menatap kemana mata Livi melihat. "Orang tuamu sudah pulang?" tanya Angga yang mengenali siapa pemilik mobil mewah itu.
Livi menghela nafas lalu mengangguk, ia menundukkan pandangannya sambil mengerucutkan bibirnya. Wajahnya muram yang terbesit kesedihan.
"Sudah masuk sana! Kamu tidak rindu pada mereka?" tanya Angga lalu mengacak pelan pucuk kepala Livi.
"Aku lebih suka mereka pergi bekerja dan meninggalkan ku sendiri di rumah!" Balas Livi dengan ketus.
"Kamu anak satu satunya mereka. Jadi menurutlah!" Angga yang tahu bagaimana hubungan Livia dengan orang tuanya mencoba memberi nasihat.
"Jangan menasehati ku lagi. Aku bosan dan tidak suka!" Kata Livi sambil melirik malas ke arah Angga.
Laki laki itu mengurai senyum. "Sudah masuk sana! Telfon aku jika membutuhkan bantuan ku."
"Bantu aku kabur sekarang?" Cetus Livia yang seketika membuat Angga terkesiap ditempatnya sejenak, kemudian disusul tawa darinya.
"Kamu mau aku di penggal sama om Gunawan? Bawa lari anak gadis orang? Salah salah nanti aku dinikahin sama kamu bawa lari anaknya?" tutur Angga lalu kembali tertawa.
Livi sedikit mengurai senyum mendengar ucapan Angga yang hanya candaan belaka, namun dalam hatinya ia mengamini ucapan itu. Karena ia percaya jika ucapan adalah doa. Berharap kata kata itu akan terwujud suatu saat nanti.
"Apaan si kak? Udah sana kamu pulang! aku masuk dulu!" Usir Livi sambil menyerahkan helm ke tangan Angga.
"Yang nurut sama orang tua." Ucap Angga menasihati sambil memasang helmnya kembali. "Aku pulang ya?" pamitnya lalu segera menarik gas saat Livi telah mengganguk.
Dengan langkah berat Livi mulai memasuki rumahnya. Selalu ditinggal sendiri oleh kedua orang tuanya dengan alasan bisnis yang sudah dialami Livi sejak kecil, membuat gadis remaja itu terbiasa hanya hidup berteman dengan beberapa asisten rumah tangga yang menemaninya sejak kecil.
Beranjak remaja, dirinya tak lagi menuntut kasih sayang dari kedua orang tuanya. Malah semakin terbiasa dan nyaman tanpa kehadiran orang tuanya. Kasih sayang berlimpah yang diberikan para asisten rumah tangganya sudah cukup memenuhi kasih sayang yang hampir tidak pernah ia dapat dari kedua orang tuanya.
Memasuki ruang tamu rumahnya, seorang wanita paruh baya dengan uban yang mulai menghiasi rambut yang digelung itu segera menghampiri dengan wajah cemas.
"Kok baru pulang non?" tanya Bi Yani lalu segera melepas tas ransel di punggung Livi. Mengamati keseluruhan dari ujung kepala hingga ujung kaki Livi. Takut sesuatu terjadi pada majikan yang sudah seperti anaknya sendiri. "Nyonya dan Tuan sudah pulang non. Beliau nyariin non." Ujar Bi Yani.
"Tumben nyariin." Jawab Livi enteng lalu meneruskan langkahnya menuju kamarnya dan diikuti Bi Yani dibelakangnya.
Ia merebahkan diri di atas ranjang berwarna putih itu setelah sampai di kamarnya.
"Mau mandi dulu apa makan dulu non?" tanya Bi Yani sambil memijit kaki Livi.
Livi tak lantas menjawab, gadis itu mendudukkan diri, memeluk boneka Teddy bear besar dalam dekapannya. "Mereka kemana Bi? Kok gak kelihatan?" tanya Livi.
Belum sempat Bi Yani menjawab, pintu kamar pun terbuka dan terlihat Maya, ibu dari Livi memasuki kamar. Bi Yani segera undur diri saat majikannya itu mendekat ke arah Livi.
"Kenapa pulang semalam ini, Livi?" tanya Maya sambil berdiri bersedekap memperhatikan putrinya.
"Habis jalan jalan Mi." Jawab Livi singkat.
"Bagaimana sekolah kamu? Kamu hanya berhasil mendapat juara dua seangkatan kan? Seharusnya juara satu yang kamu dapat, lalu untuk apa selama ini Mami dan Papi bekerja keras supaya kamu mendapat pendidikan yang bagus dan balasan kamu hanya mendapatkan juara dua?" Maya begitu menggebu melontarkan kekecewaannya atas apa yang telah di capai oleh putrinya.
Sedang Livi, sudut hatinya terasa begitu sakit. Hampir satu bulan wanita yang ia sebut Mami itu, telah meninggalkan dirinya hanya demi urusan bisnis, dan sekalinya datang, bukan kabar dirinya yang wanita itu tanyakan, lagi lagi tuntutan prestasi yang harus Livi capai.
Livi menengadah menatap wajah ibunya penuh rasa iba. "Mi, untuk mendapatkan juara dua itu aku sudah berusaha keras untuk belajar . Kenapa Mami selalu merasa tidak puas atas apa yang sudah aku dapat?" tanyanya lirih penuh keseriusan dan kekecewaan.
Maya melirik sekilas ke arah Livi. "Karena masih ada orang lain yang lebih di atas kamu Livi! Kamu harus berada paling tinggi diantara sekitar kamu. Kamu lupa? Siapa yang akan mewarisi kerajaan bisnis Papi dan Mami kalau kamu tidak bersungguh sungguh dari sekarang?" Bentak Maya yang semakin tak bisa mengontrol emosinya. Wanita itu menarik nafas sejenak sebelum melanjutkan ucapannya. "Mami tak bisa tinggal diam jika kamu terus seperti ini."
Livi semula menundukkan pandangannya kini dengan cepat menoleh kearah ibunya. Tatapannya penuh tanya.
"Papi memenangkan tender besar di luar negeri, dan akan memakan waktu cukup lama disana. Untuk itu juga demi masa depan kamu, Mami mau kamu ikut dengan Mami. Kamu pindah sekolah kesana." Ujar Maya.
"Aku gak mau Mi, aku tinggal disini saja!" Livia menghiba penuh permohonan.
"Livi! Mami tidak sedang bernegosiasi. Ini suatu keputusan!" Ucap Maya lalu segera beranjak keluar kamar meninggalkan anak gadisnya yang kini menangis.
Sepeninggal Maya, Gunawan yang adalah sang Ayah terlihat memasuki kamar.
"Papiii...!!" Livi segera merangsek kepelukan ayahnya. Menangis dalam dekapan ayahnya. Belaian lembut dari sang Ayah membuat hati Livi menjadi lebih tenang. Tak lama tangis gadis itu mereda.
"Papi sangat merindukan mu, sayang." Ucap Gunawan.
Livi segera menarik diri dari dekapan sang Ayah.
"Pi, aku mohon. Papi bujuk Mami biar aku gak pindah sekolah. Aku mau disini saja. Aku suka tinggal sama Bi Yani Pi. Please aku mohon." Livi mengatupkan kedua telapak tangannya di dadanya.
Gunawan tersenyum sambil membelai lembut rambut pirang putrinya. "Segala yang diputuskan Mami bukan tanpa alasan dan pertimbangan sayang. Semua demi kebaikan kamu." Gunawan yang memang lebih sabar dalam menghadapi putrinya berusaha selembut mungkin memberi nasihat.
Livi menepis kasar tangan sang Ayah yang hendak kembali menyentuh kepalanya. Kecewa bercampur amarah menggelayuti hatinya saat orang yang ia harapkan bisa menyelamatkan dirinya dari keegoisan ibunya kali ini tak berpihak padanya.
"Papi tidak mendukung ku?" tanya Livi lirih. Air mata yang sempat mereda kini mulai meyeruak kembali di pelupuk matanya.
"Livi, sayang bukan seperti itu naak..."
"Aku benci Papi, aku benci Mami! Aku benci kalian semua!" Livi berteriak sebelum gadis itu berlari keluar dari kamarnya.
"Livi, sayang dengarkan Papi dulu!" Gunawan turut berlari mencoba menghentikan Livia, namun ia segera menghentikan langkah saat melihat putrinya berlari menuju rumah Angga yang berjarak dua rumah dari tempat tinggalnya.
"Papi! Kejar donk Livi nya!" Seru Maya dari dalam rumah.
Gunawan berjalan pelan kembali menuju dalam rumah. Ia merangkul pundak sang istri, lalu menuntunnya masuk kedalam rumah. "Sudah biarkan saja. Kita memang yang keterlaluan." Ucap Gunawan.
"Setiap ada masalah kenapa larinya selalu ke rumah Angga! Huh!" Maya mendengus kesal. Sejak dulu memang dirinya tidak begitu menyukai Angga beserta keluarganya yang memang jauh dibawahnya jika dilihat dari segi materi. Keluarga Angga bukan keluarga tak punya, Kedua orang tuanya yang seorang pengacara dan memiliki bisnis transportasi cukup dikatakan sebagai orang kaya, tapi memang jika dibandingkan dengan keluarga Livia, keluarga Angga masih jauh dibawahnya.
"Sudah biarkan saja. Nanti pasti Angga akan mengantarkan nya pulang." Balas Gunawan lalu kembali merangkul istrinya memasuki rumah.
💮💮💮
Di dalam kamar bernuansa putih yang begitu rapi dan bersih itu, terlihat Livi dan Angga sedang duduk di sofa. Tak ada tempatnya berlari mengadu segala keluh kesahnya selain pada Angga.
"Sudah jangan menangis!" Angga menghapus buliran air mata yang jatuh di pipi Livi.
"Aku benci mereka! Kenapa mereka harus pulang. Aku lebih senang mereka tidak pulang!" Livi masih menggebu menumpahkan amarah disela sela tangisnya.
"Jangan berbicara seperti itu! Sudah waktunya kamu nurut sama orang tua mu Liv." Ucap Angga, tangannya memegang dan menegakkan kedua bahu Livi hingga gadis itu menatap tepat di bola mata Angga. "Jangan mengeluarkan kata benci atau kasar untuk orang tuamu. Mereka segalanya untuk kamu Liv, yaaa hanya saja cara mereka sedikit lebih keras dalam mendidik kamu." Tutur Angga lalu mengurai senyum di bibirnya.
Selalu saja seperti ini, disaat orang lain akan mencoba menasehatinya, bukan emosinya yang semakin mereda, tapi dirinya akan malah semakin marah. Namun berbeda jika Angga yang berbicara, kata kata dari Angga selalu mampu meredakan kesedihannya, kemarahannya. Disaat hatinya terluka dan bersedih, apa yang diucapkan Angga seolah menjadi obat penyembuh untuk hatinya. Perlahan Livi mengangguk, ia mengusap air matanya sendiri.
"Sudah jangan menangis! Aku nyanyikan satu lagu biar kamu gak sedih." Angga berdiri dari duduknya lalu mengambil gitar kesayangannya. Lalu duduk kembali di tempat semula. "Aku nyanyikan sebuah lagu yang menggambarkan kondisi kamu saat ini." Ucapnya mengulas senyum lalu jemarinya mulai memetik senar gitar hingga alunan musik tercipta.
Livi hanya mengamati dengan menopang dagu dengan kedua tangannya bertumpu bantal yang ia peluk.
"Harta yang paling berharga adalah keluarga."
Livi mengernyit kening menunjukkan ketidaksukaan atas apa yang ia dengar. "Stop!! Kok lagu itu siiih?" Protesnya.
"Kenapa? Bener kan lagunya menasehati kamu kalau keluarga itu paling berharga Liv." Ucap Angga sambil mencubit pipi Livi.
"Enggak mau! Jangan lagu itu. Lagu kesukaan aku aja!" Cetus Livi.
"Suka banget kaya gak ada lagu lain aja. Dari dulu sukanya lagu itu mulu." Gerutu Angga namun jemarinya mulai memetik senar gitar.
..."*I Will always love you, kekasihku....
Dalam hidupku hanya dirimu satu*."
Livi mengembangkan senyum saat terdengar suara Angga begitu mendayu dayu di telinganya kala menyanyikan lagu favoritnya itu. Mungkin bagi Angga, setiap kata yang dinyanyikan tak memiliki makna apa apa. Hanya sebuah lagu.
Namun bagi seorang Livia, semua kata yang ada dalam lagu itu bermakna dan penuh pengharapan. Harapan suatu saat Angga akan menyanyikan syair lagu itu untuknya sebagai bentuk perwakilan atas perasaanya pada Livi.
"*Ku mau menjadi yang terakhir untuk ku,
Ku mau menjadi mimpi indah mu,
Cintai aku dengan hatimu, sayangi aku dengan kasihmu,
I Will be the last for you, You Will be the last for me..."
💮💮💮💮💮
Happy Reading 😘🥰
Jangan lupa tekan Like nya yaaa*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
AZura Hasan
👍👍👍👍👍
2022-11-25
0
Mega Chai
ortua yg keras n memaksa anak untuk jadi no 1 seperti ortua livia adalah ortua yg akan membuat anak nya frustasi, didunia nyata utk org2 yg sudah jadi ortua,semoga kita semua tidak menjadi ortua seperti ortua livia,mw prestasi anak seperti apa pun kita harus ttp memberikan anak semangat utk menjadi lbh baik lagi bukan malah memaksa anak,krn sebagai anak pun mereka sudah berusaha utk mendapatkan prestasi yg terbaik,kita pun pernah diposisi anak kita dulu sebagai pelajar,
2022-01-28
1
KIA Qirana
Ayo....kami datang
💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕💕
💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜💜
2021-10-14
0