Aku meletakkan tas di atas meja belajarku, lalu menjatuhkan tubuh ke atas kasur. Lelah. Panas. Dan... penuh pikiran.
Langit-langit kamarku tak pernah berubah. Seperti biasa, polos dan tenang. Tak seperti kamar gadis kebanyakan, kamarku jauh dari warna merah muda. Bukan karena aku ingin berbeda, tapi entah kenapa warna itu membuatku geli sendiri. Terlalu manis, terlalu ‘princess’. Sedangkan aku?
Aku justru suka merah. Bukan merah jambu. Tapi merah terang yang berani. Aneh, ya? Lebih aneh lagi, aku suka warna itu tapi takut lihat darah. Jijik. Langsung mual kalau lihat luka berdarah. Jadi... apa namanya ya? Kelainan selera?
Semakin lama aku berbaring, semakin mengantuk. Tak ada salahnya, kan, kalau aku memejamkan mata sebentar? Hari ini terlalu panjang. Terlalu banyak kejutan.
Novi yang ngambek.
Rangga yang... seperti biasa, nyebelin tapi perhatian.
Dan... kak Leon. Muncul lagi dalam hidupku setelah bertahun-tahun.
Apa ini pertanda? Bencana? Atau... babak baru?
Ya ampun, Tiara! Ngomong apa sih?
Tak sadar, aku pun tertidur. Lelap. Nyaman. Aman.
Seolah tubuhku tahu kalau hari ini aku butuh istirahat ekstra. Jangan-jangan aku depresi? Atau cuma kurang minum air putih? Kasih saran dong!
Tiga jam kemudian...
"Ughh..." Aku membuka mata. Liat jam... pukul 19.00?
GILA! Aku tidur tiga jam?! Udah lewat dong. Aku belum mandi, belum makan, dan perutku sekarang bunyi seperti sirene darurat.
Tiba-tiba, suara hujan deras terdengar dari luar. Air mengguyur atap dan jalanan dengan hebat. Petir menggelegar sesekali. Suara gemuruh yang entah kenapa bikin hati makin kosong.
Aku menguap lebar sambil mengusap mata. “Hujan, ya?”
Aku langsung bangkit dan berlari ke ruang tamu. Ada Papa, Ayah, dan Bunda. Tapi... tidak ada Leon.
Mataku menyapu seisi ruangan.
Kosong. Sepi.
Aku segera membuka pintu rumah, menatap keluar. Tak ada siapa-siapa. Hanya hujan dan lampu-lampu jalan yang memantul di genangan air.
Kemanakah dia pergi?
Kenapa aku malah sedih begini? Padahal... bukannya dia cuma “kakak masa kecil”, ya? Tapi kenapa jantungku begini? Seperti ada yang kosong tiba-tiba. Seperti kehilangan sesuatu yang baru saja datang.
Saat aku masih termenung, sebuah suara muncul tepat di belakangku. Pelan. Dekat. Dan... familiar.
“Sedang apa kamu berdiri di depan pintu? Tidak baik, apalagi seorang gadis. Pamali.”
Aku sontak menoleh.
Kak Leon.
Dia berdiri di belakangku, tenang. Wajahnya teduh. Suaranya lembut, tapi jelas. Hati-hati.
Berarti dia memang belum pergi. Dia masih di sini. Dari tadi. Entah kenapa... aku lega sekali.
“Mengapa menatapku begitu, Gadis Es Krim Vanila?” tanyanya, tersenyum. “Kamu nggak percaya aku masih ada di dunia ini?”
Aku terdiam. Jantungku? Berdebar keras. Serius, kayak mau copot.
Apa dia bisa dengar? Jangan-jangan dia juga bisa rasain degupnya? Gila, aku kenapa sih ini?
“Ah, nggak... aku cuma bingung. Hujannya deras banget. Nggak bisa ngapa-ngapain. Dingin juga,” jawabku gugup.
“Mukamu pucat. Belum makan, ya?” katanya, mendekat. “Tadi kata Bunda, kamu ketiduran. Kecapean, ya?”
Aku reflek mundur setapak. Jaraknya terlalu dekat!
“Anu... nggak kok. Cuma tadi AC masih nyala pas tidur, jadi kedinginan aja.”
“Tadi hujan mulai pas kamu naik ke atas. Mungkin kamu nggak denger.” Dia menatapku dalam. “Kamu merasa pusing? Matamu sakit?”
Aku mengangguk ragu.
“Tadi iya... tapi sekarang udah nggak apa-apa kok.”
“Berarti kamu cuma kecapean. Tapi jangan dianggap remeh. Banyakin minum air putih, tidur jangan terlalu malam.”
Hah?
Aku diperhatiin? Serius nih?
Beda banget dari cowok-cowok di sekolah. Dia... malah kayak malaikat yang turun dari langit, terus tiba-tiba ingetin aku buat hidup sehat.
Oh, no! Aku LUPA SALAT. Magrib lewat gitu aja! Udah jam setengah delapan lagi. Mau Isya! Malu banget!
“Jadi udah 3 jam hujan?” tanyaku, menunjuk lima jariku.
Dia mengangguk.
“Iya. Kamu tidur pulas banget. Makanya Bunda nggak mau bangunin.”
Ah, Bunda... memang paling ngerti aku.
Aku ingin bilang sesuatu padanya. Banyak hal. Tapi... mulutku berat. Jantungku makin berisik. Tapi rasa ingin tahu ini tak bisa dibendung lagi.
“Kak!”
“Iya? Mau tanya apa, Mutiara si Pecinta Es Krim Vanila?” godanya, sambil membungkuk ke arahku. Wajar sih, aku pendek...150 cm. Sedangkan dia? Pasti 170 cm lebih.
Aku menelan ludah.
“Kakak... masih orang yang sama, kan? Kakak... masih ingat aku?”
Dia tersenyum kecil, lalu berdiri tegak.
“Kenapa tanya begitu? Tentu saja aku orang yang sama. Kamu bisa lihat ‘sesuatu’ yang berbeda?”
Aku tersentak.
Ya ampun, Tiara! Kan kamu sendiri tadi yang bilang, kak Leon beda karena kelopak matanya nggak sipit. Dia memang unik dari dulu. Ya jelas ini dia!
“Udah, mikirnya. Masuk sana. Ayah sama Bunda nyariin kamu dari tadi.”
“Iya, Kak...”
Dia melangkah pergi. Meninggalkanku berdiri membeku. Aku memperhatikan punggungnya dari belakang. Gimana ya cara jelasin...
Dari belakang aja, udah kelihatan dia ciptaan Tuhan yang sangat... sangat sempurna.
Oh! Aku baru ingat. Aku lapar banget. Jadi aku pun segera menyusul mereka ke ruang makan. Saatnya berkumpul bersama keluarga... dan dua tamu spesial yang sudah lama ditunggu.
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments