Ih, aku benar-benar makin nggak tahan dengan suasana ini. Rasanya ingin menghancurkan apa pun yang ada di depanku—termasuk wajah menyebalkan Rangga. Walaupun dia temanku, sikapnya yang selalu membalas omonganku dengan candaan dan basa-basi malah bikin aku tambah muak. Apalagi suasana hatiku sedang kacau.
Rangga berdiri dan mengambilkan makanan yang kupesan tadi. Aku sempat ingin memarahinya, tapi sebelum sempat buka mulut, dia sudah meletakkan mangkuk dan minuman di depanku sambil bicara:
"Iya, iya... aku tahu kok, Ti! Nggak usah marah-marah, nanti cepat tua lho—bahaya, tuh!" ejeknya sambil nyengir.
"Ish... amit-amit! Kamu aja sana yang tua duluan!"
Aku langsung menyantap makanan tanpa banyak pikir lagi. Rangga sendiri tidak memesan apa pun, padahal waktu istirahat hampir habis. Sesekali aku melirik ke arahnya. Dia terlihat santai mengobrol dengan beberapa temannya, seolah hidupnya ringan tanpa beban—sedangkan aku... bahkan belum sempat minta maaf ke sahabatku sendiri.
"Rangga!" panggilku pelan.
"Ya? Kenapa, Tiara?"
"Emm... kamu nggak lapar? Aku lihat kamu kayak nggak ada beban sama sekali."
Dia menatapku, kali ini lebih serius, tapi tetap dengan senyum tenangnya.
"Kalau lapar, pasti aku udah makan dari tadi. Soal beban... ya aku punya. Tapi menurutku, nggak perlu bawa semua itu ke sekolah. Bisa diselesaikan di rumah, kan?"
Aku termenung mendengar jawabannya. Rasanya... dewasa sekali. Padahal umur kami sama-sama 16 tahun. Sementara aku? Masih sering marah-marah, manja, dan mudah tersinggung. Rasanya seperti anak TK dibanding dia.
"Ehem! Melamun lagi, ya?" godanya sambil menepuk meja.
"Eh, iya. Maaf. Aku lupa..."
"Katanya sih, melamun itu nggak baik. Walau nggak selalu mikir yang negatif, tapi tetap aja bisa bahaya."
"Iya, iya... aku ngerti kok."
Aku kembali fokus pada makananku. Sementara itu, Rangga sudah asyik ngobrol lagi dengan teman-temannya. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi dari ekspresinya, semuanya tampak ringan dan menyenangkan. Dalam hati aku mengakui—apa yang dia katakan memang benar. Kalau aku terus begini, kapan dewasanya?
Tak lama, bel masuk kembali berbunyi.
Kriiing! Kriiiing! Kringgg!!
Semua siswa yang masih di kantin langsung bergegas. Gerbang akan ditutup sebentar lagi, jadi kami harus segera kembali ke kelas.
Jam menunjukkan pukul 16.00 WIB. Waktunya pulang.
Kriing! Kriing! Kriing!
Bel tanda pulang terdengar nyaring. Suasana kelas mulai ramai, semua bersiap membereskan barang masing-masing. Tapi tak seperti biasanya... Novi tidak menungguku. Sepertinya dia masih kesal. Aku berdiri pelan, mataku menatap kosong ke luar jendela. Perasaan bersalah makin menumpuk dan mataku mulai berkaca-kaca.
Tapi kemudian... seseorang muncul.
Rangga.
Ya, si pengganggu itu datang lagi—dengan senyum andalannya.
"Ehem, Tiara! Melamun lagi. Kan udah aku bilang, nggak baik," ucapnya pelan.
"Ah... iya. Maaf, aku lupa."
"Kamu nggak pulang, Rang? Biasanya bareng Arga dan Wisnu, kan? Mereka udah duluan?"
"Nggak kok. Mereka masih di luar, katanya mau nongkrong sebentar di kantin."
"Oh, gitu. Yaudah... aku pulang duluan, ya?"
Dia mengangguk.
"Iya, pulang sana! Aku memang nunggu sampe kamu jalan, biar bisa pastiin kamu nggak melamun lagi di jalan."
"Iya, iya. Aku pulang duluan, Rang!"
Aku melangkah keluar kelas dengan perasaan yang entah kenapa terasa lebih ringan. Mungkin karena ada yang ngajak bicara? Atau... karena Rangga tahu cara membuat suasana jadi lebih tenang? Entahlah, aku sendiri nggak yakin.
Sambil berjalan, aku iseng menengok ke belakang. Benar saja—dia masih memperhatikanku dari kejauhan. Aku pura-pura membenarkan tali sepatu hanya untuk memastikan... dan ya, dia masih memandang ke arahku.
Itulah Rangga. Entah apa isi pikirannya. Kenapa bisa seaneh itu? Seperti seorang penjaga, yang memastikan semuanya aman sebelum pergi.
Kenapa sih dia seteliti itu? Apa aku tahanan buat dia?
Aku biarkan saja dia memperhatikanku. Daripada berpura-pura tak tahu, lebih baik aku terus berjalan dan membiarkannya kembali berkumpul dengan teman-temannya sesuka hati.
Jarak dari sekolah ke rumahku lumayan jauh. Biasanya aku pulang naik bus kota. Pagi-pagi sih, aku masih diantar ayah atau bunda. Tapi kalau sore begini, mereka masih sibuk di kantor.
Perjalanannya sekitar 15 menit.
Sampai di depan rumah, aku langsung heran. Ada motor sport berwarna hitam terparkir di halaman. Nggak biasanya ada motor seperti itu.
Hah? Motor siapa nih? Keren banget. Apa tetangga punya tamu? Tapi kenapa parkir di sini?
Aku melangkah mendekat, mengerutkan alis sambil memperhatikan detailnya. Motor itu bukan tipe biasa. Mahal, mewah, dan pastinya bukan milik siapa pun yang aku kenal.
Ah, mungkin punya tamu tetangga... pikirku singkat, sebelum naik ke teras.
Tapi saat hendak membuka pintu, aku mendengar suara orang berbicara dari dalam. Lebih tepatnya... seperti sedang ada pembicaraan serius di ruang tamu. Salah satu suara terdengar asing. Laki-laki. Suaranya tidak terlalu berat, dan terdengar seperti anak muda.
Aku mematung di depan pintu, menajamkan telinga.
“Bagaimana kalau misalnya Leon tinggal di Batam?” tanya suara laki-laki asing itu.
Leon? Siapa itu? Aku makin bingung.
“Ya, tergantung Leon-nya. Saya bisa bantu carikan tempat tinggal dekat kampus. Lagipula, Tiara juga tahu daerah sekitar sini,” jawab ayahku dengan nada tenang.
Aku tersentak.
Leon?! Siapa Leon?!
Kenapa ayah menyebut namaku juga? Apa aku akan dijodohkan? Nggak mungkin! Ayah sudah janji—tidak akan menjodohkanku dengan siapa pun.
Panik. Bingung. Penasaran. Aku tetap berdiri di depan pintu, menggenggam kedua tanganku erat. Dalam hatiku hanya satu pertanyaan berputar-putar:
Siapa Leon sebenarnya...?
BERSAMBUNG...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments