Setelah Farha pergi, aku membongkar lemari bajuku. Lalu, mengeluarkan semua isinya. Tapi semuanya benar-benar kacau! Tidak ada satupun pakaian yang betul-betul milikku. Semua pakaian terdiri dari rok dengan bermacam-macam motif, sarung bunga-bunga, baju-baju kebesaran yang sama sekali bukan gayaku, dan kerudung yang bermacam-macam.
“Mending gue pake celana ini aja deh,” kataku, lalu mengambil baju berwarna merah dan membawanya ke kamar mandi. Kubiarkan bajuku berserakan di depan lemari.
Setelah selesai mandi, aku kembali memakai celana levis yang kupakai dari kemarin. Masa bodoh dengan kebersihan. Bagiku memakai rok gombroh adalah bagian ter-horror yang pernah kubayangkan. Lalu, kukenakan baju panjang berwarna merah kebesaran. Karena merasa tak nyaman, aku buru-buru mengambil pasmina/kerudung panjang, lalu kurobek dan kukepang hingga menjadi ikat pinggang yang modis, lalu kulilitkan di bagian perut.
Setelah berpakaian, aku teringat janjiku kepada Umi. Meski kukatakan pada beliau bahwa ‘Aku tidak janji’ namun ntah mengapa aku merasa bahwa itu semua janji. Senakal-nakalnya aku, aku pasti menepati janji. Aku merutuki diriku sendiri yang mudah betul mengangguk-anggukkan kepala mengiakan semua yang Umi katakan. Ini semua gara-gara Si Renda Merah. Jika saja dia tidak membawaku ke Rumah Umi, aku takkan terjerat janji konyol ini.
Seorang santri menghentikan langkahku dan mencegahku dengan menggunakan bahasa Jawa yang membuatku pusing, karena tidak mengerti.
“Apa? Gue gak ngerti. Minggir!” kataku angkuh.
“Mbak, kerudungnya mana?” tanyanya.
“Di atas,” kataku. “Awas!” lanjutku, dingin.
“Mbak dipakai dulu kerudungnya, baru boleh keluar.” katanya lagi. Dia berbahasa Indonesia dan bersikap mengatur, dia pasti pengurus.
“Gue gak mau, awasss!” teriakku, menyingkirkannya.
Tanpa aku duga santri di depanku ini malah langsung memelukku begitu saja. Ya ampun, aku masih normal. Aku tidak sudi dipeluk-peluk seperti ini oleh perempuan. Orang yang berhak memelukku hanyalah Revan.
Revan? Ah! Iyaaaa! Revannn! Kenapa aku gak kefikiran sama dia? -Batinku.
Aku langsung meraba kantong celanaku dan mendapati ponselku masih ada di sana. Dalam hati aku membatin untuk menelpon Revan seusai berurusan dengan Umi. Saat sibuk bergeming, aku kembali sadar ketika Santri Aneh ini berkata, “Aku mohon, Mbak pakai kerudungnya ya, dan ganti pakai rok.” kata Si Santri.
“Okay-okay fine!” kataku, dia akhirnya melepaskanku.
“Iya untuk kerudung dan big no untuk rok.” lanjutku.
Saat ia hendak protes, dengan cepat kukatakan. “Kalau lo protes gue gak mau pakai dua-duanya.” kataku mengancam. Diapun menyerah dengan menyodorkan kerudung langsung.
“Salamnya mana?” tanya Umi, hangat.
“Eh, ee as-salamu ‘alaikum.” kataku kikuk.
“Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.” jawab Umi sambil menyodorkan tangannya lalu aku langsung mencium tangannya.
“Ayo Umi, kita salat.” kataku setengah menarik tangan Umi. Jangan kira aku sudah alim, tentu belum. Jikapun aku di pondok ini seumur hidup, kurasa aku takkan pernah bisa berubah.
Aku hanya ingin cepat-cepat selesai salat dan menelepon Revan. Aku akan minta pertolongan padanya. Dia sangat mencintaiku, jadi pastilah ia akan senang membantuku kabur dari sini. Dengan begitu, aku bisa melakukan apapun dan bisa menghilang dari keluarga ‘bahagia’ku.
***
Rencana menelepon Revan harus kutunda. Sebab, sekeluarnya aku dari Rumah Umi, Farha menghampiriku. Dia sudah memakai mukena, kali ini renda mukenanya berwarna biru. Lalu ia mengajakku ikut mengaji dengannya.
“Gue gak bisa ngaji, udah deh sana aja sendiri. Gue ada urusan penting,” kataku.
“Anu Mbak, anu, kalau Mbak ndak ikut aku ngaji, aku dapet hukuman dari Mbak Linda, aku takut, Mbak.” kata Farha lagi. Nada suaranya begitu menyedihkan.
“Linda mana yang berani ngancem lo? Sini gue labrak!” kataku.
Aku tak habis pikir, bisa-bisanya si Linda-Linda itu mengancam Farha dengan alasan aku. Rasanya begitu tidak adil ketika kita yang melakukan sesuatu tapi orang lain yang kena imbasnya. Aku bisa saja membiarkan Farha terkena hukuman tapi kali ini aku sedang memiliki sedikit hati nurani. Jadi, aku berniat untuk membantunya. Lagi pula siapa sebetulnya Linda-Linda yang berani mengacam Farha yang polos?
Saat berjalan, tiba-tiba sandal yang dipakai Farha putus, lalu dia memintaku menunggunya di depan sebuah pondok yang masih beberapa meter di depan karena ia akan meminjam sendal temannya yang ada di pondok itu. Tak lama kemudian dia datang dari depan.
“Mbak, awas!” pekik Farha. Yang kini dia datang dari depan.
Mendengar pekikan Farha aku pun langsung sadar dari lamunanku. Aku yang sedang berada di tengah jalan otomatis menoleh ke belakang, mencari sesuatu yang akan menabrakku hingga aku harus menghindar atau menepi. Dari belakang tak ada tanda-tanda mobil ataupun motor yang hendak menabrakku. Aku mangkel setengah mati, karena merasa dibodohi oleh Farha, lalu kutatap matanya dengan tajam.
“Lo bohongin gue?” tanyaku, sambil melipatkan tanganku di depan dada.
“Ndak berani, Mbak. Ayo, Mbak, minggir, ada putra mau lewat.” kata Farha. Dia menarikku ke tepi jalan. Aku melongo mencoba mengerti apa arti dari ucapannya barusan.
Farha berdiri di sampingku dengan wajah yang sengaja ditundukkan, seperti ketakutan bila wajahnya dikenali seorang penculik. Karena penasaran dengan apa yang terjadi, akhirnya aku mencari keberadaan ‘Putra’ yang sangat menakutkan bagi Farha. Mataku menangkap sosok santri laki-laki yang sedang berjalan ke arah kami, jarak kami masih tergolong cukup jauh.
Aku mencoba mencari benang merah antara sosok laki-laki yang masih jauh dengan pekikkan Farha yang menyeruku untuk menepi. Aku amati laki-laki yang semakin mendekat itu. Tubuhnya tidak terlalu besar jika Farha beralasan takut aku tertabrak sesosok tubuh gembrot yang mirip truk tronton yang sering berlalu lalang di Tanjung Priuk. Atau mungkin laki-laki itu pernah mem-bully Farha? Jika tidak kedua alasan tersebut aku rasa Farha sudah gila.
Aku yang masih tak mengerti, langsung memandang Farha, “Elo, ngapain sih?” tanyaku, pada Farha yang terus menunduk.
“Itu, Mbak, ada Putra.” katanya lagi.
“Iya gue tau namanya Putra, terus kenapa lo ajak gue minggir? Dia gak segembrot itu buat nabrak gue, apa mungkin lo pernah di bully sama dia?” tanyaku lagi. Kini fokusku pada Farha, bukan laki-laki tadi.
“Namanya bukan Putra, Mbak, Putra itu sebutan untuk santri laki-laki.” kata Farha lagi. Matanya masih saja betah menatap tanah walaupun sesekali melirikku, tapi tidak berani melirik ke santri laki-laki yang semakin dekat.
“Ya terus masalahnya apa, sampai lo nunduk begitu?” tanyaku semakin bingung.
Farha menggeleng.
“Wah, benar-benar absurd nih anak. Udah ah, ayo jalan lagi!” kataku, menarik tangan Farha.
“Ada putra, Mbak.” kata Farha lagi.
“Wah, emang susah ya ngomong sama tutup botol. Bodo amat ah, gue tinggal aja.” Kataku hendak pergi. Namun, tanganku dicekal Farha.
“Malu.” kata Farha lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Ulfatul Naura
memang bagus sih ceritanya /Good/
2024-04-13
0
Nafiza
si farha ngomongnya kurang jelas...
ada putra mbak...ada putra mbak...
aku yg baca aja bingung apalagi Nindy😂😂
2021-06-23
0
Siti Nurhayati
wkwkwk.. kenapa harus tutup botol sih😂
2021-05-23
0