“Mbak, bangun, mandi yuk! Udah jam 3, nanti ramai kamar mandinya.” kata Farha.
Mendengar Farha yang tampak tak akan menyerah jika aku tidak bangun, aku pun bangun. Rasanya aku ingin sekali menjitak kepala Farha yang terus membangunkanku dengan mengatakan hal tak penting seperti ‘sudah jam 3’. Apa sebetulnya alasan dia mengajakku mandi jam 3 pagi? Dan apa pula maksudnya tentang kamar mandi akan ramai? Otakku berpikir cepat. Tiba-tiba terlintas di benakku sebuah film tentang santri yang harus antre tiap kali ingin mandi. Tidak, tidak.
“Lo gila ya? Ngapain lo bangunin gue jam segini? Kalo lo mau mandi, mandi aja sana jangan ajak-ajak gue!” kataku, kesal. Aku pikir ini adalah respons yang wajar, karena tidak ada manusia di dunia ini yang mau dibangunkan jam 3 pagi hanya untuk mengantre mandi. Bahkan, dulu saat aku mengikuti Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS), aku dan teman-temanku baru dibangunkan jam setengah 6.
Setelah puas mengomel. Aku memutuskan untuk menghempaskan tubuhku lagi ke kasur, namun sialnya aku lupa kalau punggungku tak pernah mencecap manisnya rasa kasur di sini. Sebab, yang menyambut punggungku hanyalah tikar tipis dan bantal.
Buggg!
Astaga! Punggungku! -teriakku dalam hati.
Ingin rasanya aku memekik kesakitan, namun aku begitu malu. Tindakan yang bisa ku lakukan saat ini adalah menaikkan selimut dan tidur.
BYUUURRR!
“Anjirrrr! Ngapain lo nyiram gue?” teriakku pada seorang santri yang menggunakan mukena berenda hijau yang baru saja menyiramku pakai air. Aku mengusap wajahku kasar. Lalu menatapnya tajam.
“Mohon maaf, Mbak. Kami sudah membangunkan Mbak dari tadi tapi Mbak ndak juga bangun. Di sini aturannya seperti ini, kalau ndak bisa dibangunkan dengan cara baik-baik, saya siram.” kata Si Renda Hijau.
“Emangnya lo siapa berani nyiram gue?” tanyaku, dengan emosi.
“Pengurus, Mbak.” katanya dengan wajah tanpa dosa yang membuatku muak.
“Lo itu cuma pengurus! Asal lo tau ya, nyokap gue aja gak pernah nyiram gue kalo gue bangun jam 12 siang! Dan sekarang? Elo yang cuma pengurus yang gue gak tau apa istimewanya berani nyiram gue pake air?” tanyaku dengan penuh emosi.
Apapun alasannya, aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Aku anggap tindakannya begitu semena-mena dan mesti kuberi pelajaran. Aku bangkit lalu menarik tangannya, “Ikut gue lo!”
Aku berniat membawanya ke kamar mandi yang berada di lantai bawah. Gayung yang tadi ada di tangannya sudah berpindah ketanganku.
Aku menyeretnya menuruni tangga, santri-santri yang lain mengikutiku. Penasaran dengan apa yang terjadi. Di perjalanan, salah satu santri menyerukan sesuatu pada Si Renda Hijau dengan menggunakan bahasa Jawa, lalu dibalas Si Renda Hijau. Ntah apa yang dikatakannya, santri yang bertanya langsung pergi meninggalkan kami. Aku melirik sekilas raut Si Renda Hijau, mukanya pucat pasi dengan air mata berderai, tangannya yang berada dalam genggamanku bergetar. Dalam hati aku mengejeknya, cengeng sekali. Mana sosoknya yang sok pemberani seperti tadi?
Tak lama kemudian kami berdua yang masih diikuti oleh santri-santri kepo sampai di lantai dasar. Pondok ini memiliki satu lantai dasar yang dijadikan tempat mandi (sebelah kanan) dan tempat mengambil wudu (sebelah kiri). Kedua tempat ini di pisahkan oleh satu kolam panjang. Di kamar mandi ini, tak ada keran air, hanya ada paralon besar yang dilubangi di bagian depan tiap 30cm, lubang ini yang nantinya digunakan untuk mengambil air wudu, yang disumpal dengan plastik saat tidak digunakan.
Aku menarik Si Renda Hijau ke dalam satu bilik kamar mandi. Dia terlihat sangat ketakutan. Meski kulihat jelas, namun aku tetap tidak menghiraukannya. Biarlah ini menjadi pelajaran untuknya agar tidak merasa sok berkuasa.
“Maaf, Mbak, sakit.” Rintih Si Renda Hijau saat aku semakin kuat mencengkram lengannya.
Tanpa menghiraukan rintihannya, aku mengguyurnya dengan air. Kini, tangisnya pecah dan dia sesengukan meringkuk sambil jongkok. Saat aku hendak menyiramnya lagi, tanganku ditahan oleh seseorang. Lalu sebelum aku melihat siapa yang menahanku, aku ditarik keluar bilik.
“Lepas! Lepasin!” teriakku, mencoba memberontak.
“Mbak, sudah keterlaluan!” teriak santri yang tak lagi asing bagiku. Dia adalah Si Renda Merah yang kemarin malam membawaku ke Rumah Umi.
“Heh! Lo lagi-lo lagi! Temen lo duluan tuh yang nyiram gue! Gue gak salah, kenapa lo narik-narik gue?” kataku, membela diri.
“Arum itu cuma mau bangunin Mbak yang ndak mau bangun!” kata Si Renda Merah. Meski ia sangat marah, dia tetap mengontrol emosinya.
Adzan subuh pun berkumandang. Si Renda Merah melepaskan tanganku, lalu hendak membawa Si Renda Hijau, sambil berseru, “Semuanya ke Masjid sekarang! Yang masih di sini saya takzir!”
Mendengar kata takzir semua santri pergi. Ntah apa hebatnya kata itu hingga santri begitu takut ketika mendengarnya.
Saat semuanya pergi, Si Renda Merah menatapku tajam, kali ini kubalas dengan tatapan santai. Aku melirik tangannya yang mulai ia genggam kuat sampai kuku-kuku jarinya memutih, “Mbak Nindy, silakan mandi sekarang juga. Saya permisi dulu.” katanya lalu pergi bersama Si Renda Hijau. Dia tidak mengucap salam. Mungkin itu bentuk kemarahannya.
Aku hanya mengangkat bahu, tak acuh. Dengan keadaanku yang separuh basah, akupun kembali ke kamar. Aku harus mandi jika tidak mau sakit. Sakit hanya memperlambat proses bunuh diri. Di perjalanan, beberapa santri yang melihatku langsung buru-buru masuk kamar. Mungkin di benak mereka aku adalah monster menakutkan yang harus dihindari.
“Mbah Nindy, Mbak ndak papa?” tanya Farha, sedikit mengagetkan.
“Lo gak ke Masjid?” tanyaku, bingung.
“Anu Mbak, aku, aku bolos, takut Mbak kenapa-kenapa.” kata Farha. Dia celingak-celinguk seperti maling yang takut ketahuan.
Aku membuka lemari pakaian yang memang sudah menjadi milikku saat pertama kali aku datang ke sini. Tapi setelah aku membuka lemari itu. Aku terkejut.
“Apa-apaan nih kok lemari gue isinya baju ginian semua?” teriakku. Farha menghampiriku. Sepertinya hanya Farha yang akan tidak takut padaku.
“Itu memang baju Mbak kok, aku sendiri yang keluarkan dan lipat baju Mbak dari koper yang Mamanya Mbak bawa.” kata Farha. Dia mendekatiku. Aku juga tidak bisa menyalahkannya. Karena ini semua pasti rencana Mama.
“Lo ke Masjid aja deh sana!” kataku.
“Tapi..” Farha terlihat keberatan.
“Lo mau ke Masjid atau mau gue siram kayak si Arum-Arum itu?” tanyaku, ketus. Aku tidak mau dia ikut-ikutan menjadi nakal gara-gara aku. Dosaku sudah terlalu banyak dan aku tidak mau menambahnya dengan membawa pengaruh buruk untuk Farha. Cukup aku.
“Eh, iy-iya mbak, aku ke Masjid dulu. As-salamu ‘alaikum.” kata Farha. Bergegas pergi. Ternyata dia juga memiliki rasa takut kepadaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Rozekhien☘️
cerita nya bagus banget to tlong diperhatiin typo nya y Thor 🙏biar enak lgi bacanya banyak yg salah contohnya sambil tp nulis nya sambal🙏
2022-12-01
0
Akhmad Khumaedy
wah nakal bgt, tp realitanya nya emang kadang ada yg seperti itu d ponpes
2021-08-27
0
Nafiza
masuk banget kedalam ceritamu Thor...
keren...👍
2021-06-23
0