“Mbak, tunggu, anu, iku, Mbak kan belum tau daerah sini, nanti bisa nyasar,” kata Farha, dia mengikutiku. Aku hanya diam. Dalam hati aku membenarkan ucapannya, namun aku tak mau punya teman. Karena akan menghambat aksiku.
“Gue gak pikun dan gue masih punya mulut buat tanya.” kataku, ketus.
Farha berlari ke kamarnya, mungkin dia menangis tapi ntahlah aku tidak begitu peduli. Toh itu bukan urusanku. Saat aku hendak menuruni anak tangga terakhir, sebuah tangan mencekalku. Saat menoleh kudapati Farha lagi, dia menyodorkanku atasan mukena yang aku yakin miliknya. Aku mengamati Farha sekilas, kini ia menggunakan mukena berenda cokelat.
“Maksudnya apa nih? Lo nyuruh gue salat, Hah?!” teriakku, di depannya. Dia beringsut sedikit, lalu menyodorkan mukena itu lagi.
“Iku, Mbak, kalo di sini, keluar pondok harus pakai mukena.” cicitnya.
“Kalo gue gak mau?” tanyaku dengan ketusnya.
“Mbak, ndak boleh keluar pondok.” kata Farha lagi. Rupanya berargumen denganku menambah lancar bahasa Indonesianya.
“Gue gak peduli! Gue mau keluar awas! Minggir!” kataku, melewati Farha.
“Pakai kerudung ini, Mbak.” kata Farha, menyerah memberikan mukena itu.
“Oke, gue akan pake kerudung ini tapi elo gak boleh ikutin gue, kalo lo tetap ikutin gue, gue bakal pergi tanpa kerudung.” kataku. Aku menerimanya, karena merasa sedikit kasihan padanya. Aku memakainya asal-asalan karena aku tidak tau cara memakainya. Melihat kerudung itu, aku teringat sekolah dan teman-temanku di sekolah. Dulu saat di sekolah, aku tidak pernah memakai kerudung di hari Jumat sebagaimana mestinya, aku hanya memakainya saat ada Guru BK yang lewat, karena beliau begitu killer dan suka menjambak siswi muslim yang tak memakai kerudung di hari Jumat. Itupun aku hanya memakainya asal.
Aku langsung melengos pergi. Meninggalkan Farha yang masih terdiam di sana. Malam sudah datang. Aku tak tahu harus kemana. Meski begitu aku tetap ingin pergi kemanapun asalkan bisa lenyap dari dunia ini, dunia yang egois, dunia yang hanya mementingkan satu hati tanpa memperdulikan hati yang lain.
“Apa lo liat-liat?” bentakku pada beberapa santri yang mengamatiku dari atas sampai bawah. Menilai penampilanku. Tapi aku tak peduli. Aku langsung pergi.
***
Baru beberapa langkah menjauhi pondok, aku mendengar pengumuman menggunakan bahasa Arab yang tidak aku mengerti dan diakhiri dengan bahasa Jawa yang tak bisa juga aku mengerti. Sekarang aku bingung. Beginilah bila kita tidak memiliki tujuan yang jelas. Saat sedang bingung tiba-tiba aku melihat santri putri berlarian memakai atasan mukena berenda. Mereka membawa peralatan sholat, Al-Qur'an, dan buku bersampul tulisan Arab.
Aku bersembunyi di balik pohon, aku tau bersembunyi di balik pohon mangga itu tidak baik karena pasti ada penghuni di atas sana yang sedang mengamati. Ketika kewarasanku mulai kembali terjaga, aku justru berfikir bila Si Penghuni benar-benar melakukan hal yang tidak-tidak, aku akan bersyukur, dan meminta ia untuk sekalian membunuhku. Namun, sayangnya aku tak mendengar apapun dari atas pepohonan. Mungkin karena arena ini tempat suci, jadi mereka tak berniat berada di sini.
Setelah tak ada santri lagi yang lewat aku keluar dari tempat persembunyianku. Batinku mengatakan bahwa ini merupakan saat yang tepat untuk memulai aksi bunuh diri. Lalu, sebuah ide terlintas di benakku. Aku memandangi pondok pesantren itu lalu menimbang apakah 4 lantai dapat menghantarkanku ke akhirat. Ketika kurasa cukup berpotensi, akupun langsung mengendap-endap masuk ke dalam pondok karena kuyakin tidak semua santri berada di Masjid. Akhirnya, aku berhasil sampai di lantai paling atas.
“Sial! Kenapa lantai paling atas harus dijeruji sih? Trus gue lompat dari mana coba?” kataku geram.
Akupun turun lagi, kembali ke bawah pohon mangga dengan perasaan kesal setengah mati. Lalu kembali berpikir sambal mengacak kepalaku frustasi, “Apa gue lompat dari lantai 4 aja?” tanyaku pada diri sendiri.
“Lantai 4 cuman buat kamu masuk rumah sakit.” kata suara bariton, mengejutkan.
Aku langsung membalikkan tubuhku. Mencari sosok laki-laki bersuara bariton. Ntah mengapa disaat seperti ini aku berharap pemilik suara bariton itu merupakan pemuda tampan yang siap membantuku. Mataku menangkap sesosok bersarung hijau, baju koko putih, dan berpeci hitam yang semakin menjauh. Jika dilihat dari perawakannya yang tinggi dan kulitnya yang putih, sepertinya dia memang tampan.
“Hei! Lo bisa ngomong pakai bahasa Indonesia?” teriakku. Aku begitu senang, terlebih ketika ia berbicara tak ada kesan medhok dalam bahasannya, itu artinya kemungkinan besar dia dari Jakarta.
Sejak aku sampai di sini, semua orang tidak menggunakan bahasa Indonesia, hanya Sang Kyai, Farha, dan Pemuda itu. Selainnya menggunakan bahasa Jawa dan bahasa Arab yang tak kumengerti artinya. Dari segi bahasa saja aku merasa seperti dibuang ke sebuah planet macam planet mars yang mau tak mau membuatku semakin sendirian dan kesepian. Sungguh penjara yang lebih penjara dari penjara.
Meski kupanggil berkali-kali, ia tetap tidak menoleh. Aku menghentak-hentakkan kaki kesal. Ternyata aku memang ditakdirkan untuk sendirian. Lihatlah, dia begitu sombong dan tak tahu tata karma. Melihatnya menjauh, aku semakin kesal. Aku mengambil sepatu hak tinggi/high heels sebelah kanan milikku, lalu melemparkan ke arah pemuda itu yang sebentar lagi berbelok ke sebuah gang.
PLETAKKK!
Sial! Lemparanku meleset begitu saja. –Umpatku dalam hati.
“Aduh!” ringis seseorang. Ternyata sepatuku mengenai orang lain. Dia seorang santri perempuan yang juga memakai mukena berenda ungu, ia berjongkok sambil memegangi kepalanya. Aku yakin, high heels-ku pasti mengenai kepalanya. Dia tidak sendiri, ia ditemani santri putri yang juga menggunakan mukena namun berenda merah.
Kabur-enggak, kabur-enggak, kabur-enggak.. Duh, gimana ya? Kabur gak ya? -batinku.
Namun, hatiku membisikkan kalimat jahat untuk menghampiri kedua santri tersebut, ntah untuk menertawakannya atau untuk mengomelinya atas kegagalanku memberikan pelajaran kepada Pemuda Sombong itu. Aku menghampirinya, lalu menyilangkan tangan di dada. Si Renda Merah menatapku tajam, aku balas menatapnya tak kalah tajam. Lalu ia mulai mengamati pakaianku dari atas sampai bawah lalu tersenyum sinis.
“Ngapain lo senyum-senyum? Mau gue antar ke rumah sakit jiwa?” kataku.
Si Renda Merah mendekatiku. Sambil berbicara menggunakan bahasa Jawa yang tak sedikitpun aku mengerti.
“Ngomong gih sana sama tembok!” seruku. Sambal hendak berlalu meninggalkannya. Namun, tiba-tiba dia mencekal lenganku. Ia menarikku ke arah temannya yang sedang terisak.
“Minta maaf, Mbak!” perintahnya, dengan aksen medhok-nya.
“Punya hak apa lo suruh gue minta maaf? Lagi pula, di sini, pihak yang dirugikan itu gue. Coba, kalo gak ada kalian pasti gue bisa kasih pelajaran ke cowok tengik itu!” kataku, tersulut emosi.
“Aku pengurus, Mbak.” kata Si Renda Merah, dari tatapannya kutau ia marah.
“Trus kalo lo pengurus gue harus tunduk sama lo? Helo! Lo bukan Tuhan.” kataku.
“Apa susahnya minta maaf sih, Mbak?” tanya Si Renda Merah.
“Gue gak salah!” kataku, membentaknya. Tak kusangka Si Renda Merah kembali mencekal tanganku. Mungkin ia kira aku lemah. Untuk membuktikan bahwa aku tidak selemah yang difikirkannya akupun menghempaskannya dengan kasar. Namun, ia tidak menyerah. Kali ini dengan kekuatannya yang lebih besar, ia membawaku ke sebuah rumah yang merupakan tempat pertama kali aku kunjungi di sini, Rumah Kyai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Reiva Momi
menarik Thor
2021-09-13
0
Nafiza
terkadang kenakalan anak itu disebabkan juga karena kesalahan orangtua dalam mendidik anak-anaknya...kurangnya perhatian dan kasih sayang orangtua membuat anak jadi pembangkang...contoh kecilnya ya seperti tokoh utama dalam cerita ini...
2021-06-23
1
Sufisa ~ IG : Sufisa88
seru Thor...🤭🤭
2021-02-13
0