Si Renda merah benar-benar membawaku ke rumah Abah Kyai. Rumah yang pertama kali kudatangi saat dipasrahkan oleh kedua orang tuaku. Aku tak mengerti arti pemasrahan itu. Karena interpretasiku sangatlah banyak, dari mulai sebuah simbol pengasingan, penitipan, melenyapkan, dan pembuangan.
Memikirkan itu membuatku betul-betul sakit hati. Kini aku kembali menatap Si Renda Merah. Sepertinya dia akan mengadukanku. Sebuah upaya yang sangat menyebalkan. Mengapa dia harus mengadu? Bukankah kita bisa selesaikan masalah tadi sendiri? Kami bisa berkelahi, saling jambak rambut dan saling melontar sumpah serapah. namun lihatlah. Dia lebih memilih jalan cupu. dengan mengadukanku.
Aku memandangnya sinis.
“As-salamu ‘alaikum, Umi.” salam, Si Renda Merah. Nada suaranya beda betul dengan saat berbicara padaku. Kali ini di sopan-sopankan. Sungguh, aku jadi muak melihat dia yang sok disopan-sopankan atau diumut-imutkan atau apalah itu.
“Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh. ” jawab Umi. Aku tahu beliau Istri Kyai, karena tadi saat pertemuan keluarga beliau ada. Beliau mengamatiku lalu tersenyum lembut. Ntahlah, pokoknya berbeda sekali dengan semua orang yang kujumpai di pondok ini yang terus melihatku dengan tatapan seakan bilang ‘Dih, baju apaan tuh?’.
Melihat senyuman Umi yang begitu tulus, aku tersenyum tipis. Namun, aku buru-buru memalingkan wajahku karena takut terlihat. Tujuanku ke sini bukanlah untuk menjadi anak baik, namun tujuanku adalah mengakhiri hidup secepat mungkin. Diam-diam, jauh di dalam sana, aku teringat Mama. Ah, tidak, anggap saja aku tak pernah mengatakannya.
Si Renda Merah kini sedang mengadu menggunakan bahasa Jawa kepada Umi. Dari lama bicaranya, aku tebak dia mulai menceritakan semuanya. Dan dari caranya memeragakan beberapa gerakan aku jadi semakin yakin dia sedang membuatku bersalah di mata Umi. Aku mengusap telingaku panas. Tak lama kemudian Si Renda Merah berpamitan pada Umi dan keluar, aku buru-buru mengikutinya dari belakang.
“Nindy, tetap di sini, ya.” kata Umi. Langkahku otomatis terhenti. Beliau mengisyaratkan aku untuk duduk di sampingnya. Aku hanya menggauk tengkukku yang tidak gatal sama sekali, perasaanku tak enak.
“Apa Nindy tahu apa kesalahan yang baru aja Nindy buat?” tanya Umi lembut. Aku hanya mengangguk. Lalu beliau kembali berkata, “Jangan diulangi lagi, ya.”
“Maaf, tapi Nindy nggak mau janji, Umi.” kataku.
“Umi tahu Nindy anak baik.” kata Umi lagi, kali ini beliau memelukku.
“Enggak sebaik itu, Umi.” Ntah mengapa kalimat ini terucap begitu saja.
Umi tersenyum. “Nindy, belum salat Isya kan? Yuk, sholat bersama Umi.” kata Umi sambil bangkit berdiri. Mau tak mau aku mengikutinya. Beliau menyiapkan mukenah untuk kami. Lalu kami ke kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi yang cukup luas itu aku hanya menggaruk tengkukku yang tak gatal, sudah lama sekali aku tidak salat juga wudu. Jadi, aku lupa urutan gerakan wudu.
Aduh mati gue! Ini muka dulu baru kumur-kumur apa kuping dulu ya? -Batinku.
“Ikuti gerakan, Umi, ya.” kata Umi. Beliau mengambil wudu di keran air persis di sampingku. Kamar mandi ini kebetulan memiliki 3 keran air. Akupun mengikuti gerakan Umi.
Setelah selesai wudu. Umi mengajariku sholat. Setelahnya, kamipun sholat dengan Umi sebagai imam. Selesai sholat Umi memakaikanku jilbab. Aku diam saja, meski di dalam hati aku memikirkan nasib rambutku. Aku berani bertaruh jika setiap hari aku memakai kerudung atau mukena, rambutku yang rutin perawatan ini pasti akan rusak.
“Mulai besok kamu sholatnya di sini ya sama Umi.” kata Umi.
Mendengar kalimat itu aku segera ingin pergi dari sana. Jadi, aku bangkit berdiri lalu berpamitan, “Umi, Nindy pulang dulu. Bye Umi!” kataku. Langsung keluar.
“Tunggu!” sergah Umi. Saat aku menoleh, Umi memberiku isyarat untuk mendekat, akupun mendekati beliau lagi. Beliaupun berkata, “Bukan begitu cara berpamitan, cium tangan Umi terlebih dahulu lalu ucapkan As-salamu ‘alaikum bukan bye, ya.” kata Umi lagi. Lagi-lagi aku mengangguk.
Aku mencium tangan Umi, lalu berkata, “Salam, eh assalamu’alaikum.”
“Wa ‘alaikumus-salam wa rahmatullahi wa barakatuh.” jawab Umi, sambil tersenyum. Aku membalas senyum Umi sekilas, lalu pergi.
Setelah keluar dari Rumah Umi, aku mengerutkan kening mendapati sepasang high heels-ku sudah terparkir rapi di depan Rumah Umi. Sepertinya Si Renda Merah yang meletakkannya. Aku mengangat bahu, memakainya, lalu berjalan menjauhi Rumah Umi. Namun di pertigaan aku bingung. Kini, di hadapanku terpampang 3 pondok yang bentuk dan warnanya sama persis.
“Aduh, kenapa harus sesial ini si hidup gue?” kataku sambil memijit pelipisku.
“Arah jam 1.” suara itu lagi. Aku langsung berbalik, mencari keberadaan pemuda itu, namun tak ada siapapun. Aku pasti sudah gila. Tapi biarlah, akan aku ikuti suara aneh itu.
Aku mengarahkan kakiku, ternyata suara terkutuk itu menujukkan tempat yang benar. Ternyata, meski terkutuk, ia tetap berguna. Kukatakan betul karena dari dalam pondok Farha berlari ke arahku dengan raut khawatir.
“Ya Allah, Mbak, Mbak itu dari mana saja?” tanya Farha.
“Gue nyasar tadi, udah ah, anterin gue ke kamar, gue ngantuk!” kataku.
“Eh, anu Mbak, tapi masih ada satu kali ngaji lagi, Mbak” kata Farha takut-takut.
“Gue gak peduli.” Kataku langsung menerobos masuk. Mau tak mau Farha mengantarkanku ke kamar.
Sesampainya di kamar, sejenak aku mengamati tikar yang di atasnya diberikan bantal. Aku tebak ini adalah tempat tidurku. Untuk memastikan aku menoleh ke arah Farha, dia mengangguk mengerti. Seketika dadaku sesak, aku mulai membayangkan Kak Ulfa yang sedang tidur nyenyak di atas tempat tidur mewahnya. Membandingkan keadaan kami membuat kepalaku semakin pusing.
Di kamar, beberapa anak yang juga bersiap pergi mengaji mengajakku berbicara. Namun aku hanya bisa berkata, “Pergi! Gue mau tidur!”
Bukannya pergi, santri bernama Farha ini malah menghampiriku. Aku jadi kesal setengah mati, "Gue bilang pergi ya pergi! Lo punya kuping gak sih?"
"Tap-tapi..." Dia mencoba mengatakan sesuatu.
"Gue bilang pergi." kataku penuh penekanan.
Akhirnya diapun menurut dan pergi. Mengapa sulit betul menyuruhnya pergi? Padahal bila saja dia mau pergi saat kulontarkan seruan kalimat pergi pertama kali, dia tak perlu mendengar bentakan ku dan aku tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengusirnya. Dasar aneh.
Aku tau aku tak tahu diri karena aku yang mengajak Farha masuk ke kamar namun aku pula yang menyuruhnya lekas pergi. Namun, biarlah demikian. Aku benar-benar tidak memperdulikan perasaannya. Meski ada terbesit sedikit rasa bersalah di dalam sana tapi aku mencoba membuatku biasa saja. Mungkin sikap yang seperti inilah yang membuatku bertahan hingga saat ini. Bisa ku katakan kearogananku merupakan sebuah betuk pertahanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 145 Episodes
Comments
Adel Lia
u the best thor'gk cerita disebalh gk dsini bner"bagus...😍😚
2021-08-04
0
Nafiza
seorang anak yg sedang mencari jati dirinya untuk mendapatkan pengakuan dari orang sekitar...
2021-06-23
0
💜☕ѕυℓιѕ☕💙
sipp kakak... keren banget🤗
2021-02-23
0