Dengan seluruh persetujuan Zia bersiap-siap untuk menjalankan operasi secara caesar di rumah sakit ternama di kota itu. Raka mendorong kursi roda dari pelataran rumah sakit menuju ke dalam.
Sepanjang perjalanan mama Clarys terus berdoa memohon untuk memberikan keselamatan pada Zia dan bayinya. Meski dokter mengatakan kalau salah satu dari mereka tidak akan ada yang bisa bertahan Clarys yakin, keajaiban itu pasti ada. Zia pasti akan tetap hidup dan berkumpul dengan anaknya.
Sedangkan Raka bergeming tidak bisa berkata-kata lagi. Rasa dalam hatinya berkecamuk perih seperti disayat-sayat saat membayangkan kejadian yang tidak ingin ia lakukan.
Para dokter pun sudah turut berjejer di halaman rumah sakit untuk menyambut kedatangan Raka. Salah satu perawat perempuan maju dan menghampirinya Raka berkata,
“Biar saya bantu, Tuan.”
“Tidak usah, biarkan saya membawa istri saya sendiri ke dalam.” Raka berjalan melewati perawat tersebut melanjutkan mendorong kursi menuju ke dalam.
“Aku bisa jalan sendiri, sayang.” Zia mendongak untuk menatap Raka di belakangnya. “Tidak perlu pakai kursi roda sepertinya, akan lebih baik.”
Raka menghentikan langkahnya. “Baiklah, aku tidak akan memakai kursi roda,” ucapnya. Berjalan ke depan Zia membungkukkan tubuh lalu mengangkat istrinya itu dari kursi.
“Apa yang kau lakukan?” Zia ter sesigap. Malu karena banyak orang yang berada di belakang mereka.
“Aku hanya ingin menggendong anak dan istriku secara bersamaan,” kekehnya terus berjalan membawa Zia menuju ruangan yang sudah disiapkan.
Para dokter dengan tunduk mengikutinya dari arah belakang. Menuju ruangan VIP yang sudah ia siapkan dari jauh-jauh hari.
Pintu besar itu pun terbuka lebar Zia melingkarkan tangan di leher Raka. Dengan tatapan dalam Raka memandangnya seolah tidak ingin berpaling darinya.
“Sudah ahh lihatnya, aku jadi malu.” Menepuk pipi Raka pelan disela-sela gendongannya saat pipinya memerah seperti tomat.
“Pasti kamu senang kan? Punya suami setampan aku.” Raka terkekeh meletakan tubuh Zia pelan-pelan selayaknya porselen mahal akan rapuh jika tergeser sedikit saja ke atas tempat tidur.
Sebelum pergi ke rumah sakit Zia meminta satu permintaan pada Mama Claris, Vita dan Raka. Ia tidak mau melihat seseorang di antara mereka ada yang menitikkan air mata. Zia ingin mereka memasrahkan semua pada Yang Maha Kuasa. Jika ia digariskan hari ini akan meninggal dia terima. Dan jika diberikan kesempatan untuk hidup ia akan bersyukur karena masih bisa merawat sang buah hati bersama sang suami.
Walau ingin menangis mama Clarys yang berdiri diambang pintu itu menahannya. Walau sebutir air mata lolos dari kelopaknya. Cepat-cepat ia segera mengusap air itu dan melangkah mendekati mereka berdua.
“Raka, temui dokter di ruangannya. Dia menunggumu di sana,” titahnya.
Raka memandang Zia. Seperti berat tidak mau meninggalkannya. Karena ia tahu, setelah tiba di ruangan dokter, pasti dokter itu akan memerintahkannya supaya segera menanda tangani surat persetujuan operasi.
Permintaan Zia meminta supaya bayinyalah yang harus dipertahankan. Dengan berat hati dan seluruh kesepakatan keluarga akhirnya ia menyetujui permintaan istrinya.
Dengan langkah berat Raka membuka pintu ruangan dokter Sesil. Bak menarik jangkar saat melangkah ke ruangan itu.
Dokter yang berperawakan cantik dengan senyum memikat siapa saja yang melihatnya itu melempar senyum pada Raka. Tampak bersahaja karena mereka sudah mengenal dalam beberapa pertemuan selama seminggu ini.
“Silakan duduk, Tuan Raka.” Ia menadahkan tangannya ke arah kursi depanya. Setelah Raka duduk ia pun turut duduk di kursi kebanggaannya.
“Sebelumnya yang harus Anda ketahui, Tuan. Ada beberapa hal yang harus saya jelaskan, mengenai risiko operasi caesar yang akan dilakukan. Sebelumnya Anda pasti sudah tahu, apa yang terjadi setelah operasi itu.”
Raka mengangguk mencerna setiap perkataan dari dokter cantik itu.
“Konsekuensi ini sangat besar, Tuan. Aku harap Anda bisa mempertimbangkan ini dengan baik-baik.” Dokter itu menatap Raka yang menunduk. Melihat lelaki ia sangat prihatin karena walau bagaimanapun kehilangan orang yang sangat dicintai itu sangat menyakitkan. Seperti yang ia alami beberapa bulan yang lalu.
“Apa nyawa mereka tidak bisa dipertahankan dua-duanya, dok?”
Dokter itu tersigap mendengar kalimat Raka. Sontak mengedipkan matanya mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya ingatnya kembali berkelebat kejadian betapa tragisnya sang calon suami pergi.
Perempuan itu menghela napas menegakkan posisi duduknya penuh keyakinan. “Walau ini sangat tidak mungkin aku akan berusaha menyelamatkan nyawa mereka berdua, Tuan. Aku akan berusaha operasi ini akan berhasil,” ucap dokter Sesil penuh yakin. Ia tidak ingin Raka mengalami kejadian seperti ia dulu di mana di saat hari pernikahan kekasih yang ia cintai pergi dengan begitu tragis.
“Aku berharap banyak padamu, dok. Istriku adalah segalanya bagiku, tapi aku tidak bisa mengelak permintaan darinya supaya mempertahankan bayi kami.” Wajah Raka terlihat terang karena ia mendengarkan ucapan dari dokter ada secercah harapan di sana.
“Aku tahu yang Anda rasakan, Tuan. Karena aku pernah mengalaminya,” gumam dokter itu samar. Tapi ia segera membuyarkan lamunan dari racauannya.
“Kita kembali ke topik, Tuan. Jadi ada beberapa dokumen yang harus segera Anda tanda tangani.” Ia beranjak dan membawa dokumen-dokumen itu ke hadapan Raka. “Di sini, Tuan.” Menunjuk di mana Raka harus bertanda tangan.
Tangan lelaki itu bergetar saat membaca pernyataan di dalam kertas itu, yang bertuliskan ia harus memilih bayinya supaya tetap hidup. Sedangkan Zia, ada tulisan yang sangat membuatnya sesak dalam dada. Yaitu, saya juga bertanggung jawab jika nyawa pasien bernama Zia tidak terselamatkan. Saya yang bertanda tangan di bawah ini memberi pernyataan dengan sesadar-sadarnya bahwa memilih bayi saya yang akan diselamatkan.
Raka membaca surat itu dengan dipenuhi rasa sesak di dada. Seperti tidak ingin mendaratkan pulpen di sana. Tangannya seolah menjerit, tidak ingin bertanda tangan di sana.
“Tuan. Apa Anda siap?”
Suara dokter membuyarkan lamunan Raka. Ia segera ter sesigap melihat ke arah dokter Sesil dan berkata, “Dok, walau aku menandatangani surat ini, aku mohon selamatkan dua-duanya.”
“Kemungkinan sangat kecil, Tuan.” Dokter itu menatap wajah Raka yang memohon itu. “Tapi aku akan berusaha sebisa mungkin. Aku janji,” ucap dokter Sesil yakin.
“Sekarang yang perlu Anda lakukan tanda tanganlah supaya bisa segera dilakukan tindakan.”
Raka segera menandatangani dokumen-dokumen itu, penuh keyakinan. Ia yakin, Zia pasti akan tetap hidup.
Dua orang dokter berada di dalam ruangan Zia. Ditemani mama Clarys perempuan itu sangat begitu tegar, seolah siap kehilangan nyawanya saat ini juga.
Dokter itu memeriksa kondisi Zia, dari tekanan darah, detak jantung. Salah satu dokter membawa jarum suntik, ingin melakukan pemasangan selang infus ke tangan Zia.
Raka masuk membulatkan mata. “HEI! Apa yang kau lakukan pada istriku?”
Sontak seluruh orang di dalam ruangan menoleh padanya.
“Pasti Raka tidak ingin aku di suntik lagi seperti kejadian waktu dulu,” gumam Zia membuang napas malas.
Likenya dikit😞 kurang greget lanjutnya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Reni Izhar
kok aku yg nangis ya bacanya😭😭😭😭😭😭😭😎
2021-12-04
1
Addie Saputra
ikutan sedih
2021-11-05
0
Nayla Sasa
slamatkan 2*nya thor jngn smpe zia meninggal masa peran utamanya mati sichh gk seru donk thorr😭😭😭😭
2021-09-09
0