Zia disibukkan mengusap air matanya seraya memutar kain kasa di tangan Raka. Tanpa berkata-kata ia terus saja menangis air mata membanjiri pipi mulusnya.
“Aku mohon jangan lakukan seperti ini lagi, sayang. Kamu jangan selalu menggunakan emosi saat menyelesaikan masalah. Besok anak kita akan lahir dan kamu jangan pernah bersikap seperti ini lagi saat dia ada nanti. Aku mohon,” ucapnya menggunting kain kasa itu lalu selesai.
Ia meletakkan tangan Raka pelan-pelan. Lalu berpaling wajah untuk tidak menatap wajah suaminya itu. Ia tidak kuasa, melihat wajah seorang yang sangat-sangat ia cintai itu bersedih. Zia menaikkan bola matanya mengusap air mata dengan jari.
“Aku akan menyiapkan keperluan untuk besok.” Ia beranjak dari ranjang tanpa menoleh ke arah Raka.
“Zia.” Raka menarik tangannya menahan seolah jangan pergi.
Tanpa berbalik Zia memejamkan mata, sungguh ia tidak sanggup adakah hal yang menyakitkan dari pada ini? Zia berbalik menghambur memeluk suaminya itu dengan erat menenggelamkan wajahnya dalam dada Raka. Air matanya sudah tidak bisa terbendung lagi pakaian Raka basah karenanya.
“Aku mencintaimu Raka, aku sangat mencintaimu ....”
“Kau bohong, Zia. Kalau kau mencintaiku kau tidak akan merelakan nyawamu untuk meninggalkan aku,” ucap Raka memegang pundak Zia dengan kedua tangannya menghadapkan wajahnya untuk saling menatap.
“Nyawa anak kita lebih penting, sayang. Pegang dia.” Zia meraih tangan Raka dan menempelak ke perutnya.
“Kau merasakan bukan tendangannya? Betapa tidak sabarnya dia sudah ingin terlahir ke dunia ini. Apa kita sebagai orang tua tega menyakitinya? Dia adalah buah cinta kita, sayang. Dia akan menjadi putri kecil yang mengingatkanmu padaku, dia akan selalu menemanimu saat merindukanku, dan a—aku berdoa, semoga dia berwajah sama denganku. Dengan begitu kamu tidak akan berpaling, mencari wanita lain karena kau akan selalu mengingatku,” canda Zia mencoba tersenyum walau bibirnya bergetar menahan tangis.
“Kumohon, Zia. Jangan katakan sesuatu yang membuat aku tidak suka. Aku sangat mencintaimu dan tidak akan ada wanita lain yang bisa menggantikanmu. Demi apa pun jangan katakan itu lagi, atau aku akan marah.”
Bibir Zia bergetar menahan tangis, meskipun begitu ia mencoba untuk tersenyum seraya berkata, “Aku senang kalau kau marah, sayang. Setidaknya untuk terakhir kalinya aku bisa melihatmu marah seperti dulu, seorang Raka yang berhati dingin dan keras kepala.”
“Aku mohon, Zia, jangan tinggalkan aku, jangan pernah tinggalkan kami, aku tidak sanggup jika harus hidup tanpamu, Zia. Bagaimana dengan anak kita nanti, kalau dia bertanya di mana bunda yang telah melahirkannya?”
“Mungkin ini sudah ditakdirkan dalam hidup kita, sayang. Tanpa harus kita bisa melawannya. Ini adalah takdir, mau tidak mau kita harus menjalani,” ucap Zia dalam pelukan Raka.
“Apakah takdir akan sepahit ini? Apa takdir kebahagiaan tidak pernah ada dalam hidupku?” Raka memeluk tubuh Zia. Ia tidak mau kehilangan istrinya itu, tapi ia juga tidak bisa menentang permintaan dari Zia.
Ia harus merelakan perempuan yang sangat ia cintai itu demi kehidupan putrinya.
Zia mengangkat pandangannya menatap dalam-dalam wajah sang suami. Mengamatinya seolah tidak ingin berpaling, wajah tampan alis tebal hidung mancung dan bibir yang menurutnya sangat memikat itu selama ini yang berhasil menghipnotisnya.
Akankah besok ia masih bisa melihat senyuman terukir dari bibir itu? Akankah besok ia masih bisa merasakan pelukan hangat seperti saat ini?
Zia mengusap air matanya lalu melepaskan pelukan Raka. Ia menggeser tubuhnya menyingkir dari sana.
“Aku akan melihat kamar anak kita. Apa ada yang kurang atau tidak. Apa kau mau ikut, sayang?”
“Tentu aku akan ikut, Zia.” Raka mengusap air matanya lalu beranjak mendekat ke samping istrinya itu. “Ayo aku kita ke sana,” ajak Raka.
Pintu kamar terbuka terpampang nuansa warna merah muda dan putih. Kamar yang tampak bersih karena belum pernah dihuni itu sudah siap ditempati. Semua perlengkapan sudah ada di dalam sana. Mulai dari lemari beserta pakaiannya, ranjang berkarakter, semua sudah tertata rapi.
Zia segera masuk dan membuka lemari warna merah muda itu. Mengetuk-ngetuk dagunya tampak memikirkan sesuatu.
“Sepertinya ada yang kurang,” ucapnya sembari menatap ke arah dalam lemari itu. “Sayang, bukankah pakaian warna ini tidak cocok dengan buat anak kita?” Ia mengangkat pakaian kecil itu memperlihatkan pada Raka.
“Lalu, kenapa ini di sini, seharusnya ada di sana.” Ia memindahkan mainan bayi itu ke tempat lain. “Selimut, baju-”
“Cukup, Zia.” Raka memeluknya dari arah belakang.
“Eh, apa ini?” Zia terkejut saat Raka tiba-tiba memeluk, menempelkan kepalanya di pundak seperti anak kecil ingin bermanja-manjaan.
“Semua sudah beres, Zia. Tidak usah khawatir lagi, bahkan kamu sudah menyiapkan semua keperluan dari jauh-jauh hari. Aku tau maksud dari ini.”
“Iya, aku hanya tidak ingin anak kita kekurangan sesuatu jika aku nanti tidak ada. Setidaknya aku sudah menyiapkan semua keperluan untuknya,” timpal Zia.
“Aku yakin kau pasti baik-baik saja. Tidak akan ada sesuatu yang terjadi pada kalian. Semua yang dikatakan dokter hannyalah bohong, dokter hanya menakut-nakuti pasien saja. Setelah takut mereka akan memanfaatkan kita.”
“Dokter tidak bohong, Raka. Dia memang benar, nyawaku memang akan bertahan kalau aku merelakan bayi ini. Tapi aku tidak mau, aku rela kehilangan nyawaku asalkan, bayi kita selamat.”
Asik ... asik mudahan gak ada yang bingung sama alur ceritanya ya 😍
kalau masih bingung bisa baca Novel Dijodohkan 4 bab terakhir seseon 2.
Ditunggu kisah selanjutnya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Nur Afifah
lagi siap kemas kemas untuk proses kelahiran, dan menyiapkan kamar sangat anak
2022-04-30
0
Wartin Kusmawati
semoga dua" nya selamat
2022-01-14
0
Riini
mewekk😭😭😭😭😭😭😭
2021-09-29
0