4. Disini Ku Menunggu, Disana Kamu Berkhianat

Ardian masuk ke dalam mobil dengan langkah terburu-buru. Wajahnya tampak lelah, namun belum sempat ia menghela napas panjang, ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk. Tanpa melihat siapa peneleponnya, ia langsung mengangkat. Suara seorang perempuan yang sangat ia kenal terdengar dari seberang.

"Kok lama banget sih, Mas? Kamu ngapain aja sama perempuan mandul itu? Aku di sini nungguin kamu lho!" Suaranya tajam, bernada kesal dan penuh kecemburuan.

Ardian mengatupkan rahangnya. Urat di pelipisnya menegang. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, tapi tetap saja amarahnya tak bisa dibendung.

"Berhenti menyebutnya perempuan mandul! Namanya Eva. Dia adalah istriku! Camkan itu, Lisna," bentaknya dengan nada keras.

Hening sejenak di ujung telepon. Ardian memejamkan mata, mencoba menenangkan degup jantungnya yang berpacu cepat. Ia tidak suka, bahkan sangat benci ketika Lisna menyebut Eva dengan sebutan itu. Bagi Ardian, Eva adalah perempuan yang lembut, penuh kasih, dan selalu berada di sisinya dalam suka dan duka, meski mereka belum juga dikaruniai anak selama lima tahun pernikahan mereka.

Memang benar, hingga saat ini Eva belum bisa memberinya keturunan. Tapi bukan berarti dia pantas diperlakukan seolah tak berharga. Ardian tahu, Eva sudah berusaha. Berkali-kali mereka ke dokter, mencoba berbagai metode, dan selalu pulang dengan harapan yang mulai menipis. Namun cinta Ardian padanya tak pernah berkurang. Justru rasa bersalahnya yang bertambah, terutama sejak dirinya membuat pilihan yang salah—menikah siri dengan Lisna.

Lisna, wanita ambisius dan penuh percaya diri, hadir di hidup Ardian di saat yang salah. Perhatian dan pujian yang terus-menerus dari Lisna membuat Ardian perlahan lengah. Hingga akhirnya ia menyerah pada rayuan dan emosi sesaat. Mereka menikah diam-diam, hanya diketahui oleh keluarga dekat Ardian. Dan dari pernikahan itu, lahirlah seorang bayi laki-laki, yang kini berusia satu tahun.

Keluarganya sempat menentang, tapi akhirnya diam. Ardian memohon agar semua ini tidak sampai ke telinga Eva. Ia takut menghancurkan perempuan yang selama ini begitu ia cintai. Eva tidak tahu apa-apa. Setiap harinya, Eva tetap setia menyiapkan sarapan untuk Ardian, mengantarnya ke pintu rumah dengan senyum yang penuh kasih. Dan itu membuat dada Ardian makin sesak. Ia merasa seperti pengkhianat, meski pada saat bersamaan, ia juga merasa memiliki tanggung jawab terhadap Lisna dan anaknya.

“Mas, aku juga istri kamu. Dan aku udah kasih kamu anak. Masa kamu masih lebih milih dia?” Suara Lisna terdengar lagi, kali ini lebih lirih namun tetap menuntut.

Ardian terdiam. Pandangannya kosong menatap ke luar kaca mobil, menyaksikan lalu lalang kendaraan tanpa benar-benar melihat. Pilihan yang ia buat kini menjadi belenggu yang menghimpit dari dua arah. Di satu sisi, cinta dan kesetiaannya pada Eva. Di sisi lain, tanggung jawab dan keterikatan terhadap Lisna dan anak mereka.

"Aku... Aku nggak bisa ninggalin Eva, Lisna. Aku masih mencintainya," gumam Ardian akhirnya, nyaris tak terdengar.

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar takut—takut kehilangan Eva, takut kehilangan segalanya.

Lisna tidak menjawab dan dia kesal sekali dengan perkataan Ardian. Walaupun dia sudah memberikan anak, Ardian tetap saja kekeuh mempertahankan cinta pada Eva.

"Apa sih bagusnya perempuan itu? Jelas-jelas aku lebih cantik, aku juga telah memberikan keturunan untuk Mas Ardian. Tapi, tetap saja Mas Ardian selalu memikirkan nya. Perempuan itu benar-benar menjadi duri penghalang kebahagiaan ku." batin Lisna geram

Ardian tahu, diamnya Lisna bukan berarti menyerah. Justru itu tanda bahwa Lisna sedang menyusun strategi baru. Dan benar saja. Beberapa saat kemudian, suara perempuan itu kembali terdengar, kali ini lebih lembut, namun mengandung tekanan yang membuat Ardian bergidik.

“Kalau kamu nggak bisa ninggalin dia, setidaknya kamu harus adil sama aku dan anak kita. Aku nggak mau kamu terus-terusan pulang malam dan seolah-olah aku ini cuma simpanan. Mas, kamu ayah dari anakku. Aku butuh kamu. Anakmu juga butuh kamu,” ujarnya dengan nada setengah memohon.

Ardian mengusap wajahnya, lalu menunduk di atas setir. Beban itu kembali menghantam dadanya. Dalam diam, ia tahu Lisna benar. Ia tidak bisa terus bersikap seolah anak laki-laki itu tak ada. Anak yang mewarisi matanya, dan senyumnya. Anak yang tertawa saat digendongnya, lalu memanggilnya "Ayah" dengan suara yang masih cadel.

“Baiklah,” ucapnya lirih, seperti orang kalah. “Aku akan ke sana malam ini. Tapi tolong… jangan ganggu Eva lagi.”

Lisna hanya menjawab dengan helaan napas panjang. “Aku tunggu.”

Sambungan pun terputus. Ardian menatap layar ponselnya sesaat, lalu meletakkannya di kursi penumpang. Ia menyalakan mobil dan mulai mengemudi, bukan ke arah rumah, melainkan ke apartemen tempat Lisna dan anak mereka tinggal.

***

Pukul delapan malam, di rumah Eva duduk sendiri di meja makan yang sudah tertata rapi. Sepiring makanan kesukaan Ardian mulai dingin. Tangannya memainkan sendok yang belum tersentuh, sementara pikirannya melayang-layang. Biasanya, kalau Ardian pulang telat, ia akan memberi kabar. Tapi malam ini, ponselnya tak aktif.

Perasaan tak enak mulai merayap di dada Eva. Ia mencoba mengusirnya dengan berpikir positif. Mungkin ada rapat dadakan. Mungkin macet. Mungkin lelah dan langsung tertidur di kantor.

Tapi Eva tahu, akhir-akhir ini sikap Ardian berubah. Tatapannya tak lagi hangat, pelukannya terasa hampa, dan setiap kali menyebut soal program kehamilan lagi, wajah suaminya selalu terlihat berat.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Eva tak sanggup menunggu lebih lama. Ia menatap pintu rumah yang tetap tertutup rapat. Air mata menetes perlahan, tanpa suara.

"Seperti biasa, kamu akan pulang telat lagi kan, Mas?" ucap Eva pelan. Dan pun segera mengusap air matanya. Lalu, menatap makanan yang dingin itu. "Makanan ini, spesial aku buat untukmu. Tapi, kamu tidak pernah menikmatinya lagi. Jangan salahkan aku, jika selanjutnya kamu tidak merasakan masakan ku lagi. Karena aku sudah lelah menyiapkan semuanya, tapi tidak pernah kamu hargai." Dia pun segera memakan nya, dia tidak akan lagi menunggu suaminya. Karena dia yakin, suaminya akan pulang seperti biasa.

Bibi, sang asisten rumah tangga menatap majikan nya dengan ekspresi sedih. Dia berharap, semoga majikannya diberikan kebahagiaan setelah ini. Karena, majikannya sudah terlalu sering bersedih.

Sementara itu, di apartemen Lisna, Ardian sedang menimang anaknya, mencoba tersenyum meski hatinya kacau. Lisna menyandarkan kepala di pundaknya sambil berkata pelan, “Lihat, Mas. Kita ini keluarga juga. Kamu harus mulai membagi waktumu. Eva harus tahu diri.”

Ardian terdiam. Ia tahu, cepat atau lambat, semuanya akan terbongkar.

Dan saat hari itu tiba, ia tak yakin apakah Eva akan memaafkannya… atau memilih pergi selamanya.

Tidak.

Dia tidak akan pernah membiarkan Eva pergi meninggalkannya. Karena dia tidak sanggup kehilangan Eva. Perempuan itu adalah sosok lembut yang sangat dia cintai.

***

Terpopuler

Comments

Adinda

Adinda

pasti anak pelakor bukan darah dagingmu ardian biar menyesal kamu

2025-05-01

1

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

like plus iklan 👍

2025-04-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!