3. "Kamu Tega Sekali, Mas."

Keesokan paginya, mentari baru saja menyingkap tabir gelap malam, menyusup perlahan melalui celah tirai jendela yang setengah terbuka. Cahaya keemasannya jatuh lembut di lantai dapur, membentuk pola-pola cahaya yang bergerak pelan, seolah enggan mengganggu keheningan pagi yang masih suci. Udara masih menyimpan sisa dingin malam, menghembuskan aroma embun dan dedaunan basah yang menyelinap masuk dari celah-celah ventilasi, menambah kesyahduan suasana.

Dengan langkah ringan, namun mata yang sedikit sayu, Eva turun ke dapur. Suaranya tak bersuara, tapi hatinya gaduh. Di sana, seperti biasa, Bibi sudah lebih dulu berdiri di depan meja, sibuk menyiapkan bahan-bahan masakan. Suara pisau menyentuh talenan terdengar ritmis, menenangkan.

Eva mengerahkan seulas senyum. Tipis, nyaris tak terlihat. Tapi cukup untuk menutupi gejolak yang tengah mengaduk-aduk dadanya.

“Apa hari ini kita masak yang istimewa, nyonya?” tanya Bibi sambil memotong bawang, nada suaranya ramah dan hangat.

Eva menarik napas pelan, seolah menenangkan dirinya. “Telur dadar keju, roti panggang, dan sedikit buah. Biar agak spesial,” jawabnya sambil menuangkan adonan ke wajan. Suaranya ringan, tapi hatinya berat.

Wajah Eva tampak sumringah, gerak-geriknya luwes, seperti perempuan yang tengah bahagia menjalani perannya. Tapi jika seseorang cukup peka, cukup peduli untuk menatap lebih dalam, akan terlihat keretakan halus di balik senyum manis itu—seperti kaca bening yang retak di satu sudut, nyaris tak terlihat, tapi siap pecah kapan saja.

Semalam, ada sesuatu yang mengusik. Sebuah pesan. Pendek. Misterius. Tapi cukup untuk membuat dunia Eva berguncang. Ia belum sempat memahaminya sepenuhnya, tapi bayang-bayangnya masih tertinggal di pelupuk mata, menghantui pikiran.

Namun pagi ini, ia memilih untuk bangkit. Ia memilih untuk tetap menjalankan perannya—bukan karena ia tidak terluka, tapi karena ia tahu: jika ia berhenti, segalanya bisa runtuh. Rumah ini. Kepercayaan. Mungkin juga pernikahan mereka. Jadi ia menutupi luka dengan rutinitas, menambal duka dengan senyum, dan menyelipkan permintaan maaf dalam tiap iris keju yang ia masukkan ke dalam telur.

Bukan karena ia bersalah. Tapi karena semalam, ketika suaminya mendekat dengan lembut, menginginkan keintiman, ia menolak. Bukan karena tidak cinta, tapi karena pikirannya terlalu penuh. Tubuhnya terlalu letih. Hatinya terlalu bising. Dan ia tahu, ia bisa merasakan—suaminya kecewa. Diamnya seperti tirai tebal yang menutupi ruang di antara mereka. Tak ada kata, hanya tatapan yang menjauh.

Eva tidak ingin luka itu melebar. Jadi ia mencoba merawatnya dengan hal kecil. Sarapan hangat. Kopi hitam kesukaan suaminya. Dan senyuman—yang ia paksa hadir meski hatinya belum pulih.

Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Berat, tapi teratur. Eva menoleh, dan di sana, suaminya muncul dengan pakaian kerja yang rapi, dasi yang sudah sempurna diikat. Wajahnya tenang, namun tidak sepenuhnya lepas dari ketegangan yang tertinggal dari malam tadi.

“Sarapan dulu, aku buatkan khusus hari ini,” ucap Eva dengan suara lembut, mencoba menyapa seperti biasa, seolah tak ada yang berbeda.

Suaminya tersenyum kecil. Duduk. Menatapnya sesaat, ada jeda yang terasa begitu panjang dalam keheningan singkat itu. “Wangi banget… kayaknya enak nih.”

Eva hanya membalas dengan senyum. Kali ini lebih meyakinkan, meski masih menyisakan sisa getir di sudut bibir. Ia menuangkan kopi dengan tangan yang tenang, padahal hatinya masih diguncang gelombang.

“Cobain aja. Semoga suka,” ucapnya pelan.

Mereka duduk berhadapan. Meja makan itu menjadi saksi dua hati yang sedang mencari jalan kembali. Dari luar, semuanya tampak normal. Seperti pasangan lain yang memulai pagi mereka dengan sarapan dan obrolan ringan. Tapi di dalam Eva, badai masih belum reda. Ada sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang belum sempat ditanyakan. Dan mungkin, belum siap untuk dijawab.

Tapi untuk saat ini, ia memilih diam. Menunggu. Menyembunyikan luka dalam lapisan-lapisan cinta dan tanggung jawab. Karena terkadang, cinta yang paling dalam tak terlihat dalam pelukan, tapi dalam upaya bertahan—meski hati masih bergetar.

Tiba-tiba, dering telepon memecah suasana. Tajam, mendesak, seolah membawa kabar dari dunia lain yang tak terjangkau oleh kehangatan dapur pagi itu. Ardian meraba saku celananya dengan gerakan refleks, lalu menatap layar ponsel. Sekejap saja, rona wajahnya berubah. Ada sesuatu dalam sorot matanya—sebuah kekhawatiran yang tak sempat disembunyikan, atau mungkin, tak ingin dijelaskan.

Eva sempat membuka mulut, hendak bertanya. Namun Ardian lebih dulu berdiri. “Sebentar ya, aku harus angkat ini,” katanya cepat, suaranya seperti pecahan kaca—rapuh, dan terasa jauh.

"Selesaikan dulu sarapannya, Mas."

Sejenak Ardian meragu, dia menatap istrinya, kemudian menatap ponselnya yang terus saja berbunyi.

"Ini sangat penting, Eva."

"Apakah sarapan yang istrimu masak tidak penting?" tanya Eva dengan wajah datar, namun tatapannya fokus pada makanan.

Sementara itu, Ardian menatap lekat wajah istrinya. Dia merasa, istrinya tengah menyindirnya.

"Bukan begitu, tapi ...." belum sempat Ardian melanjutkan, Eva memotongnya.

"Silahkan saja kamu pilih. Meneruskan sarapan bersamaku atau menerima telepon itu?" potong Eva dengan tatapan datar pada suaminya. Nada suaranya terdengar serak, namun Ardian tidak menyadarinya.

"Kenapa kamu jadi egois begini sih?" ucap Ardian dengan nada kesal

"Aku tidak egois. Aku hanya mengatakan apa yang ingin aku sampaikan. Kamu bekerja siang dan malam, dan mengumpulkan uang yang begitu banyak. Lalu, saat kamu ingin sarapan. Tiba-tiba ada telepon penting, dan kamu ingin mengangkat nya. Lalu, kamu mengabaikan sarapan buatan istrimu. Mau kamu apa, Mas?"

"Aku makin enggak ngerti arah pembicaraan kamu. Aku cuma ingin angkat telepon doang, Eva!"

"Kamu tahu, Mas. Tadi malam adalah anniversary pernikahan kita yang ke -- lima. Aku... aku menunggumu berjam-jam di meja makan. Dan kamu bilang, kamu akan datang tepat waktu. Tapi nyatanya, kamu telat datang dan pulang dengan menyampaikan alasan seperti biasa. Kamu membiarkan aku makan malam sendiri merayakan anniversary kita. Apalah pernikahan kita tidak ada artinya lagi di matamu, Mas? Apakah kamu sudah bosan dengan ku?" tutur Eva dengan suara serak dan lirih.

Ardian mendengar tutur kata istrinya. Dia benar-benar lupa akan anniversary pernikahan mereka. Karena dia begitu sibuk tadi malam. Dia ingin menyahuti perkataan istrinya, namun ponselnya terus saja berbunyi.

Akhirnya, dia memutuskan untuk pergi. Langkahnya tergesa, nyaris seperti melarikan diri. Punggungnya menjauh tanpa menoleh. Hanya bayangan yang tertinggal, menghilang di balik dinding ruang tamu, meninggalkan Eva duduk sendiri di meja makan—meja yang baru saja dipenuhi kehangatan, kini terasa dingin dan asing.

Hening.

Eva mematung. Tangannya masih menggenggam cangkir kopi yang kini tak lagi beruap. Matanya menatap kosong pada piring yang sudah nyaris bersih. Semua yang tadi terasa berarti kini runtuh begitu saja, hanya dalam detik-detik hening yang memanjang terlalu lama.

Ia menarik napas dalam-dalam, tapi udara yang masuk tak cukup untuk mengisi dadanya. Jantungnya berdegup tak karuan, seolah ikut membaca gelagat yang tak terucap. Ada sesuatu yang janggal. Bukan sekadar telepon biasa. Bukan sekadar urusan kantor.

Itu terlihat jelas—dari cara Ardian menghindari matanya, dari bagaimana suaranya berubah, dari keheningan yang tiba-tiba menggantung seperti awan gelap di langit yang baru saja cerah.

Eva menggigit bibirnya pelan, mencoba menahan sesuatu yang tak ingin jatuh—air mata atau kecurigaan, entahlah. Kepalanya penuh tanya, tapi bibirnya tetap diam. Ia hanya duduk di sana, membeku di tengah pagi yang terus berjalan tanpa belas kasihan. Di antara aroma kopi yang dingin, dan suara jam dinding yang tak pernah berhenti berdetak, Eva merasa semakin sendiri.

Dan untuk pertama kalinya pagi itu, ia benar-benar merasa ditinggalkan. Bukan karena langkah Ardian yang menjauh—tapi karena hatinya mulai merasa bahwa yang pergi… mungkin takkan benar-benar kembali.

"Kamu tega sekali, Mas." gumamnya sembari mendongak kan kepala, menahan air matanya yang ingin jatuh.

***

Terpopuler

Comments

Elisabeth Ratna Susanti

Elisabeth Ratna Susanti

iya tega banget ish!

2025-04-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!