"Bukankah itu Zidan? Dia... bersama wanita lain?" batin Naila, matanya tak lepas dari pemandangan yang membuat dadanya terasa sesak.
Pikiran Naila langsung kembali ke ucapan Bu Aisyah tempo hari. Tanpa pikir panjang, ia berbalik arah dan masuk lagi ke gedung sekolah, langsung menuju ruang guru tempat Bu Aisyah berada.
Tiga bulan kemudian.
Hari pembagian kelulusan.
Langkah Naila berat menyusuri jalan pulang. Kertas kelulusan di tangannya seakan tak ada artinya. Rumahnya sudah tampak dari jauh, tapi suasananya… membuat perutnya bergejolak. Ramai. Tenda berdiri. Suara ibu-ibu cekikikan di dapur. Anak-anak kecil berlarian, dan aroma masakan tercium sampai ujung jalan.
Esok adalah hari pernikahannya—yang tidak pernah ia inginkan.
Selama beberapa bulan terakhir, ia telah diam-diam mempersiapkan segalanya. Ia tahu, langkahnya akan membuatnya dicap sebagai anak durhaka. Tapi baginya, impian tak bisa digadaikan demi restu yang membunuh masa depannya.
Naila berdiri sejenak. Menelan ludah. Menguatkan hati. Ia sudah tahu ini akan terjadi. Ia hanya perlu memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.
“Naila, cepetan ganti bajumu, ya! Kakak mau memasangkan henna di tangan dan kaki kamu!” seru Tami, tetangga yang juga jago menggambar henna.
"Hmmmfff..."
Naila menarik napas panjang. Ia masih tak habis pikir, demi pernikahan ini, orang tuanya rela mengeluarkan banyak uang entah dari mana. Namun, untuk biaya kuliah yang ia dambakan, mereka selalu mengatakan, "Mana ada uang?"
Naila menatap rumah itu. Menyusuri detil-detil kecil dengan matanya—pintu tua, kursi reyot di teras, bunga kertas di pagar. Sudut-sudut penuh kenangan. Tapi juga tempat ia merasa tak pernah benar-benar bebas.
Ia masuk ke kamar dan mengganti seragamnya dengan cepat. Tak lupa mengenakan topi dan masker—bukan masker bedah biasa, tapi penutup wajah yang ia siapkan khusus sejak sebulan lalu.
“Nai?” suara ibunya membuat jantungnya nyaris meloncat.
"Naila? Kamu dengar ibu panggil?" suara sang ibu terdengar jelas.
Dengan refleks, ia lepas kembali topi dan masker itu, buru-buru menyembul dari balik pintu.
“Iya, Bu?”
“Kamu mau ke mana lagi?” tanya ibunya curiga.
“Besok kamu nikah, lho. Gak boleh kemana-mana lagi!”
“Enggak, Bu… Naila di kamar aja kok.”
“Lho, kenapa kerudungan? Ini kan di rumah?”
“Kan banyak yang bukan mahrom, Bu. Jadi, ya… Harus begini.”
Ibunya mengangguk, meski masih tampak heran.
“Ya udah, cepat keluar. Tami nungguin dari tadi.”
"Baik, Bu." Naila kembali masuk, dan menutup pintu. Ia segera mengganti kerudung yang lain, topi, dan masker. Ransel yang sudah ia siapkan berisi pakaian dan dokumen penting segera ia gendong.
“Bismillah…” bisiknya pelan. “Maaf, Bu, Yah… Ini mungkin jalan yang durhaka. Tapi hamba ingin hidup yang hamba pilih sendiri.”
Ia mengenakan kembali topi dan masker. Setelah itu, mengeluarkan ransel yang sudah ia isi: beberapa baju, dokumen penting, dan amplop pemberian Bu Aisyah.
"Bismillah... Ya Allah, maafkan aku. Semoga Engkau ridho."
Ia membuka jendela, memandang sekitar. Beberapa ibu-ibu lewat sambil membawa panci besar. Naila menunggu, menahan napas. Saat jalan mulai sepi, ia lompat dan lari sekencangnya—meninggalkan semuanya.
Beberapa orang menoleh.
“Itu siapa? Aneh amat, siang bolong pakai masker begitu?”
“Mungkin tukang dagang es krim baru!”
Mereka tertawa kecil, tak tahu bahwa ‘penyusup’ itu adalah mempelai yang hilang.
Sementara itu, ibunya kembali mengetuk kamar Naila.
"Naila? Kamu belum juga keluar?"
Perlahan ia membuka pintu. Kosong. Tak ada siapa pun.
"Oh... mungkin sudah bersama Tami," gumamnya, tak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Sementara itu, Naila berhenti di depan rumah kecil dengan cat tembok biru pudar.
"Assalamualaikum, Bu... Bu...?"
Suara langkah tergopoh. Pintu dibuka, dan wajah Hangat Bu Aisyah muncul di baliknya.
"Walaikumsalam... Naila? Sudah siap?" tanya Bu Aisyah.
Naila mengangguk cepat. Wajahnya cemas.
"Apa kamu yakin? Orang tuamu pasti kebingungan."
Gadis itu mengangguk cepat. Wajahnya tertutup topi dan masker, tapi matanya… bicara banyak.
“Kamu Yakin? Namun semua ini akan mengubah hidupmu.”
“Ayo, Bu. Nanti mereka keburu mencari.”
Tanpa tanya lebih lanjut, Bu Aisyah mengangguk, mengambil kunci mobil, dan mereka pun meluncur ke terminal. Setelah membelikan tiket, ia menyerahkan amplop putih kepada Naila.
"Semoga ini bisa membantumu untuk sementara. Kalau beasiswamu sudah cair, kamu tak perlu khawatir lagi. Ingat, tugasmu cuma satu: belajar! Kamu harus bisa membuktikan bahwa kamu bisa. Buat lah mereka bangga memilikimu."
Naila menganggukan kepala memberi pelukan hangat menyertai ucapan terima kasih paling dalamnya. Naila menahan tangis.
"Terima kasih, Bu. Aku tak tahu bagaimana membalas semua kebaikan Ibu. Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan yang lebih besar."
"Amin." Bu Aisyah mengangguk mengusap kepala yang tertutup kerudung itu beberapa kali.
Tak lama kemudian, bis yang akan membawanya menjemput mimpi pun melaju, membelah jalan lintas Sumatra menuju ibukota.
Selama perjalanan, Naila menyerap tiap detik pemandangan yang asing baginya: laut luas, Gunung Anak Krakatau di kejauhan, dan langit yang tampak berbeda. Ada cemas, takut, kalut, tapi juga bahagia—karena untuk pertama kalinya, ia berjalan mengikuti keinginan hatinya sendiri.
...****************...
Setelah perjalanan panjang, ia turun di sebuah terminal yang ramai tapi asing.
Perlahan ia menyusuri jalan. Di ujung sana, kubah masjid menyapa matanya. Ia mendekat. Mencuci muka, melaksanakan sholat. Minum air galon gratis. Duduk di teras, menghela napas.
Tas dibuka. Dokumen diperiksa. Amplop uang diselipkan kembali ke dalam tas.
“Bu Aisyah… aku izin ya, pakai sedikit buat makan.”
Ia mengambil dua lembar uang, lalu menyimpan amplop itu kembali. Setelah makan, ia membuka berkas-berkas penting dan mengeceknya satu per satu.
Tiba-tiba, sebuah tangan kecil mengambil kertas-kertas itu.
"Hah?" Naila menoleh.
Seorang balita perempuan berdiri di dekatnya, memegang salah satu berkas yang tergeletak di atas lantai.
"Halo, Sayang... Kamu sama siapa ke sini?" tanya Naila lembut.
Anak itu menunjuk ke dalam masjid.
“Oh, ibunya di dalam ya? Ayo, kakak anterin," ucap Naila, menggenggam tangan mungil itu dan mengajaknya masuk ke bagian wanita.
Namun, begitu sampai di pojokan tempat anak itu duduk, Naila sadar—ia lupa sesuatu.
Dengan jantung berdebar, ia berlari kembali ke tempat semula.
"Tas-kuuu!" pekiknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 34 Episodes
Comments
FieAme
setelah diperhatikan, sepertinya jadi lebih ringan
2025-04-19
0
Safira Aurora
semangat ya, kami tim pe dukung setia
2025-04-19
0
Syahril Maiza
sabar..sabar mengikuti
2025-04-19
0