3. Cobaan Pertama

Matanya terbelalak saat melihat sosok pria menenteng tas ransel, satu-satunya benda yang menyimpan semua hasil perjuangan selama bertahun-tahun ini.

Tanpa berpikir panjang, Naila menerjang ke depan mendorong pria itu. “Hei, itu tasku!” teriaknya, suaranya menggema di antara deru kendaraan dan jemaah yang sedang melaksanakan kewajiban di dalam mesjid.

Pria itu berhenti sesaat, menoleh kaget, karena ketahuan oleh sang pemilik. Tatapannya tiba-tiba berubah menakutkan, lalu mendorong Naila dengan sekuat tenaga yang membuat Naila terhuyung jatuh tersungkur di atas ubin di teras mesjid.

Dalam kesakitan itu, ia sadar berkas-berkas penting, surat keterangan lulus di kampus negeri jalur SMNPTN, formulir pendaftaran, dan fotokopi ijazah melayang di udara, kemudian tergeletak berserakan.

Lututnya terasa berdenyut, tapi Naila tahu tak ada waktu untuk menjerit. Ia merunduk, merogoh remuk-rebutan kertas putih itu. Setiap lembar yang ia genggam adalah jembatan menuju impian yang tak boleh hilang.

Di saat mencoba menyelamatkan semua berkas penting tersebut dalam beberapa detik, pria perampok itu telah menghilang dalam semerbak hiruk pikuk terminal yang tiada henti diisi oleh masyarakat yang berlalu lalang.

Langkah seakan Naila terhenti, tapi sebelum ia sempat mendongak, sebuah tangan mungil menarik ujung pakaiannya yang telah lusuh hingga hampir menyeret gadis kecil itu ke lantai.

“Adek nggak apa-apa?” Naila secepat kilat menangkap tubuh kecil itu. Gadis berkuncir dua itu duduk terguncang, matanya membulat penuh kaget dan air mata.

“Ma-ma, Ma-ma,” suara lirihnya memecah kepanikan Naila.

Sekian detik kemudian, terdengar hardikan dingin seorang pria yang mungkin ayahnya. “Rindu! Kamu di mana saja? Kamu membuat Papa khawatir!”

Dari sisi lain dinding masjid, seorang pria menggendong bayi mungil, wajahnya datar sedikit semburat kehilangan.

Naila menenangkan diri meski di dalam hatinya kalut, cemas, dan greget ingin mengejar, tapi langkahnya sedang dihalangi gadis kecil. Kini, ia beralih menggandeng tangan si bocah cantik itu dengan cepat.

“Jadi, nama kamu Rindu ya?” tanya Naila sambil tersenyum tipis.

Gadis yang ditanya, terlihat ceria kala digandeng oleh Naila. "Papaaa," soraknya dengan senyuman dalam mata berbinar.

Ia menyerahkan Rindu langsung ke salah satu tangan pria yang menatap tanpa ekspresi.

“Nah, sekarang kamu sudah bersama papa kan? Jangan jauh-jauh main dari papa ya.” Naila melambaikan tangan memberikan senyuman manis kepada gadis kecil itu.

Pria itu menatap Naila beberapa waktu tanpa berkedip. “Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan suara datar.

Naila seakan tak mendengar ucapan tersebut telah berbalik langkah, mencoba menebak arah langkah orang yang mengambil tas nya dengan wajah putus asa.

Di saat langkahnya belum terlalu jauh, dengan jelas Naila mendengar Rindu memanggilnya. “Pa-pa ... Ma-ma, Pa?” Suara polos itu hilang di antara hiruk pikuk suasana ramai sekitar.

Naila terus memutar akal, apa yang harus ia lakukan. "Ke mana aku harus mencari tas itu?” gumamnya dalam rasa lelah yang sungguh hebat.

—“krucuuuuk”—

Tiba-tiba perutnya menggerutu lantang seperti alarm kelaparan yang tak bisa ditawar. Dua lembar uang ratusan ribu ini masih utuh di kantong celananya. Teriknya matahari terus mendorong pikirannya yang telah panas karena kejadian tak terduga ini.

"Apakah uang ini cukup untuk perjalanan ke kampus?" Sejenak, Ia tertunduk, memejamkan mata. Dalam diam, ia berdialog kepada Yang Maha Kuasa.

“Ya Allah...

Ampuni hamba yang lemah ini.

Jika ini ujian-Mu mengharap aku tak mudah goyah,

beri lah hamba kekuatan untuk terus berjalan.

Meski tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki,

ridhoi setiap niat dan usahaku, ya Rabb.”

Setelah menarik napas panjang, Naila bangkit. Tasnya mungkin telah hilang, tapi tekadnya tak boleh pudar.

“Bismillah...” gumamnya, lalu berjalan menuju jalan utama yang telah hilir mudik diisi oleh kendaraan kota yang padat merayap.

Busway pertama sudah menunggu beberapa puluh meter di depan. Ia berjalan cepat, boots kanvasnya terantuk batu kecil, tapi ia tak mengeluh. Setiap langkah adalah janji: “Aku harus sampai di kampus malam ini.”

Namun, eberapa detik kemudian, perutnya benar-benar meronta tak mampu lagi bila terus diberi jeda untuk diisi. Ia teringat akan rekomendasi Bu Aisyah yang mengatakan: “Ada makanan warteg dengan harga yang sangat terjangkau di dekat halte. Pemiliknya juga sangat ramah. Setiap kali sampai di ibu kota, Ibu pasti singgah ke sana."

Naila memutar kepala mencoba menerka tempat yang dimaksud sang guru. Dan benar, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia menemukan sebuah warteg yang terlihat begitu ramai.

Meski sedikit ragu, ia masuk dan segera memesan sepiring nasi putih, ikan goreng, dan sayur bayam. Aroma sederhana itu mampu menyenangkan perutnya yang sudah tidak bisa diajak kompromi.

Saat suapan pertama masuk ke mulut, air mata tiba-tiba menetes. Ia segera menyeka pipinya dengan punggung tangan, mencoba tegar. Ia tak ingin terlihat lemah di depan orang lain dan berpikir untuk mengurangi porsi makan dari biasanya.

“Bu, apa boleh sisa nasiku dibungkus saja?”

Ibu penjual berpikir sejenak, dan melihat raut Naila yang terlihat lelah. Ia mencoba menerka sendiri apa yang baru saja dialami oleh gadis belia yang tentu sangat asing ini.

“Lebih baik nasinya dihabiskan saja. Bude lihat, kamu masih laper. Lagian, kalau dibungkus dalam keadaan seperti ini, nasinya akan basi. Jadi percuma dong?"

Naila sedikit gelagapan karena penjual nasi ini bisa menebak apa yang sedang terjadi padanya. "Jadi, ga bisa dibungkus ya, Bu?" tanyanya canggung menahan malu.

"Habisin aja gih. Nanti Bude bungkus yang baru untukmu.”

Naila telah pasrah dengan pengeluarannya yang tak bisa ditekan. Ia kembali melanjutkan menghabisi isi piring tersebut. Sementara itu si pemilik warung tengah sibuk menyiapkan lauk dan sayur diatur rapi dalam kresek, terpisah kuahnya agar tidak bikin lembek.

Ketika Naila menyerahkan uang seratus ribu, ibu itu menolak. “Simpan saja, Dek. Lain kali saja kamu bayar.”

Hati Naila sesak. Ia teringat keuangan yang memang sangat tipis yang akan digunakan untuk membeli tiket busway, tiket kereta, hingga biaya makan di kemudian hari.

Ibu itu kemudian mengambil sehelai kaos lengan panjang,bekas seragam olah raga mungkin milik anaknya lalu diserahkan pada. Naila.

“Pakai ini jika kamu butuh. Siapa tau bisa sedikit membuatmu lebih hangat.”

Mata Naila berbinar karena haru. “Terima kasih banyak, Bu.” Ucapan itu terengah, ia tak sanggup berkata lebih panjang.

Lampu jalan kota kini mulai menyala satu per satu dan berkelip seakan menyambutnya. Ini menandakan, bahwa ia akan berperang melawan dinginnya malam. Ia pun memakai pakaian olah raga yang diberikan bude tadi, dan memang memberinya sedikit kehangatan.

Dari halte, ia naik busway menuju stasiun, lalu berganti kereta. Malam makin larut saat akhirnya ia memijak gerbang kampus. Gedung-gedung tua bergaris bayangan, sementara masjid kampus berdiri terang di tengah pekarangan.

Dengan napas masih tersengal, Naila menarik pintu mesjid, “Assalamualaikum.”

Suara lembut menjawab dari arah dalam mesjid, “Walaikumsalam.” Beberapa mahasiswa menoleh, lalu kembali khusyuk dengan aktivitasnya.

Di sudut masjid, Naila menyelipkan map berkas ke meja sudut di balik rak mukena, memandang deretan kopiah dan Al-Qur’an yang rapi.

Tanpa baju ganti, ia kembali mengenakan kaos olahraga pemberian ibu warteg. Lalu ia ke toilet, mencuci wajah, dan merapikan rambut. Setelah itu, ia wudhu, salat Isya dengan khusuk berharap setiap ayat dan doa menenangkan hatinya.

Selesai salat, ia membuka nasi bungkus. Betapa laparnya ia, hingga setiap suap terasa seperti oasis di padang gersang. Ia berdoa kecil di dalam hati, lalu memenuhi perutnya. Setelah kenyang, ia menata sarung masjid sebagai selimut. Lampu masjid meredup saat petugas azan telah tertidur sebagai mana mestinya.

Naila menutup mata, merasakan kelelahan teraliri damai. Map berkas di bawah kepala menjadi bantal, dan desah napasnya menyatu dengan dengungan kipas angin. Namun, baru beberapa menit, suara tegas membangunkan.

“Siapa itu? Dilarang tidur di masjid ini!”

^^^Revisi tanggal 15 Mei 2025^^^

Terpopuler

Comments

Safira Aurora

Safira Aurora

walau udah dibaca, tp semangat nyawer. moga memang ya thor

2025-04-19

0

Aku Rajin Membaca

Aku Rajin Membaca

aku kirim sawer yang banyak, sp tau mncul ke permukaan

2025-04-19

0

Syahril Maiza

Syahril Maiza

semangat thor

2025-04-19

0

lihat semua
Episodes
1 1. Jalan yang Dipilih
2 2. Pelarian
3 3. Cobaan Pertama
4 4. Berteduh di Bawah Kasih Sayang
5 5. Bukan Tempat untuk Pulang (revisi)
6 6. Ibu Tanpa Status
7 7. Pengasuh Dadakan
8 8. Tugas Pengasuh yang Sebenarnya
9 9. Pengasuh Apa Pembantu?
10 10. Terselip di Antara Rindu
11 11. Pulang ke Rumah Baru
12 12. Di Ranjang Masa Lalu
13 13. Ketukan di Tengah Malam
14 14. Kehangatan yang Mengancam
15 15. Gadis Kampung itu Lagi
16 16. Dua Hadiah
17 17. Terbukanya Tabir
18 18. Dua Pernyataan
19 19. Langkah yang Tak Bisa Kembali
20 20. Restu yang Tertinggal di Ujung Tangis
21 21. Rahasia Martin
22 22. Bukan Cinderela
23 23. Sapaan Cinta
24 24. Bukan Sugar Daddy
25 25. Pertama Bersama
26 26. Menyulam Rasa
27 27. Bayangan yang Mengintai
28 28. Rahasia Rumah Kost
29 29. Kekecewaan Martin
30 30. Pernyataan Cinta
31 31. Pelan-pelan Menyatu
32 32. Tahta di Rumah Sunyi
33 33. Drama Kelas Atas
34 34. Pelaksanaan Rencana
35 35. Kewajiban Istri
36 36. Milikmu Sepenuhnya
37 37. Mendadak Manja
38 38. Terima Kasih
39 39. Serangan Dua Arah
40 40. Dua Dunia Naila
41 41. Marvel Punya Partner
42 42. Langkah Tegas Suami
43 43. Cemburu Tak Tersamar
44 44. Pelukan yang Dirindukan
45 45. Charging Energi
46 46. Malam Kedua yang Berbeda
47 47. Gangguan Rindu part xxx
48 48. Tamu Tak Diundang
49 49. Terbukanya Luka Lama
50 50. Pemilik Cinta Rindu
51 51. Surat dari Rianti
52 52. Terungkapnya Rahasia
53 53. Tak Dirindukan
54 54. Cerita Tentang Restu Orang Tua Naila
55 55. Kepada Pintu yang Diam
56 56. Kembalinya Kehangatan
57 57. Pemenuhan Harapan Istri
58 58. Allah Masih Mendengar
59 59. Pulang Kampung
60 60. Telah Kututup Pintu Itu
61 promo karya baru
Episodes

Updated 61 Episodes

1
1. Jalan yang Dipilih
2
2. Pelarian
3
3. Cobaan Pertama
4
4. Berteduh di Bawah Kasih Sayang
5
5. Bukan Tempat untuk Pulang (revisi)
6
6. Ibu Tanpa Status
7
7. Pengasuh Dadakan
8
8. Tugas Pengasuh yang Sebenarnya
9
9. Pengasuh Apa Pembantu?
10
10. Terselip di Antara Rindu
11
11. Pulang ke Rumah Baru
12
12. Di Ranjang Masa Lalu
13
13. Ketukan di Tengah Malam
14
14. Kehangatan yang Mengancam
15
15. Gadis Kampung itu Lagi
16
16. Dua Hadiah
17
17. Terbukanya Tabir
18
18. Dua Pernyataan
19
19. Langkah yang Tak Bisa Kembali
20
20. Restu yang Tertinggal di Ujung Tangis
21
21. Rahasia Martin
22
22. Bukan Cinderela
23
23. Sapaan Cinta
24
24. Bukan Sugar Daddy
25
25. Pertama Bersama
26
26. Menyulam Rasa
27
27. Bayangan yang Mengintai
28
28. Rahasia Rumah Kost
29
29. Kekecewaan Martin
30
30. Pernyataan Cinta
31
31. Pelan-pelan Menyatu
32
32. Tahta di Rumah Sunyi
33
33. Drama Kelas Atas
34
34. Pelaksanaan Rencana
35
35. Kewajiban Istri
36
36. Milikmu Sepenuhnya
37
37. Mendadak Manja
38
38. Terima Kasih
39
39. Serangan Dua Arah
40
40. Dua Dunia Naila
41
41. Marvel Punya Partner
42
42. Langkah Tegas Suami
43
43. Cemburu Tak Tersamar
44
44. Pelukan yang Dirindukan
45
45. Charging Energi
46
46. Malam Kedua yang Berbeda
47
47. Gangguan Rindu part xxx
48
48. Tamu Tak Diundang
49
49. Terbukanya Luka Lama
50
50. Pemilik Cinta Rindu
51
51. Surat dari Rianti
52
52. Terungkapnya Rahasia
53
53. Tak Dirindukan
54
54. Cerita Tentang Restu Orang Tua Naila
55
55. Kepada Pintu yang Diam
56
56. Kembalinya Kehangatan
57
57. Pemenuhan Harapan Istri
58
58. Allah Masih Mendengar
59
59. Pulang Kampung
60
60. Telah Kututup Pintu Itu
61
promo karya baru

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!