Harry Rafardhan, seumuran Aira.
Harry memiliki wajah yang tampan belia. Cenderung masih terlihat muda, belum menampilkan sisi maskulin yang tegas seperti laki-laki dewasa pada umumnya. Gayanya kasual tapi selalu rapi dan memperhatikan penampilan.
Ia dikenal sebagai lelaki rajin, dan sholih. Dengan sikap yang penuh perhatian. Namun, di balik senyum ramahnya, ada ketidaktegasan yang perlahan terungkap seiring waktu, membuat pesonanya memudar di hadapan laki-laki yang tahu pasti apa yang ia perjuangkan.
"Harry, aku senang kamu menjemputku. Ini hal yang nggak biasa. Tapi, aku benar-benar bahagia bisa ketemu sama kamu hari ini," ucap Aira, suaranya hangat seperti cahaya pagi yang baru saja menyentuh wajah bumi.
Harry hanya tersenyum tipis. Ia tidak menjawab. Udara pagi terasa segar, tapi dadanya sesak. Terlalu sesak.
Aira duduk menyamping di boncengan, membiarkan angin membelai wajahnya. Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan hatinya menikmati ketenangan. Sampai akhirnya motor berhenti di tikungan dekat TK tempat Aira mengajar. Ia selalu berhenti sebelum gerbang.
"Makasih ya, Harry. Udah nganterin aku," kata Aira sambil turun dari motor.
Tapi belum sempat ia melangkah pergi, Harry meraih tangannya dengan lembut namun gugup. "Aira, bolehkah aku memelukmu?"
Aira terkejut. "Eh? Kenapa tiba-tiba?"
Tak menunggu jawaban, Harry menarik Aira langsung ke dalam dekapannya. Aira kaget, merasa tak sepantasnya dipeluk oleh lelaki yang belum menjadi suaminya itu. Seolah menahan gejolak rasa yang telah lama terpendam, cowok tampan itu berani mendekatkan ciumannya. Sontak Aira langsung menggeliat menolak.
"Harry, apa yang kamu lakuin?!"
Harry masih memfokuskan ciuman itu tapi Aira tetap menolak. Gadis itu mencengkeram erat jaket kekasihnya dan terpejam hebat ke dalam pelukannya. "Harry, jangan lakukan itu..."
"Ma-- maaf, Aira." Harry luruh.
Aira membeku. Jantungnya berdetak tak karuan. Tangannya sempat mendorong dada Harry, tapi akhirnya ia diam. Luluh setelah mendengar Harry berbisik.
"Ayo kita menikah, Aira" suara itu lirih tapi dalam, seakan keluar dari bagian terdalam jiwanya.
Dada Aira terasa hangat, senyum pun muncul tanpa sadar. Ia mengangguk. Namun sebelum ia bisa menyelami lebih dalam rasa bahagia itu, Harry berkata lagi.
"Aku benar-benar ingin menikahimu, Aira. Tapi..."
Aira mendongak, "Tapi?"
"Kalau suatu hari ada pria lain yang datang melamarmu, terimalah dia." Harry mempertegasnya dengan Hadits Nabi, "Kamu ingat hadits itu kan? Kalo ada pria sholeh yang melamarmu, maka terimalah lamaran itu."
Kata-kata itu menghantam jantung Aira. Seakan seseorang tiba-tiba memadamkan lilin harapannya. "Apa maksudmu bicara seperti itu? Kenapa kamu ngomong begitu?" Aira melepaskan pelukannya, wajahnya berubah gelisah.
"Aku belum selesai dengan diriku sendiri, Ai. Ada banyak hal yang harus aku bereskan. Hutang, pekerjaan yang belum stabil, masa lalu yang belum sepenuhnya aku tuntaskan. Semuanya belum cukup pantas untuk menyeretmu ke dalamnya."
Aira menatapnya, matanya bergetar. "Aku nggak peduli, Harry. Aku ingin bersamamu, walau harus menunggu."
Harry menggeleng perlahan. "Nggak, Ai. Kamu perempuan yang terlalu baik untuk disimpan dalam ketidakpastian. Aku mencintaimu, tapi aku juga harus jujur. Cinta... kadang nggak cukup untuk membangun rumah tangga."
Aira menggigit bibirnya, "Kalo begitu, lamarlah aku." Air matanya hampir saja tumpah. Ia ingin melanjutkan tentang perjodohan yang dirancang Papanya, tapi suaranya sudah tercekat di tenggorokan. Tak mampu melanjutkan karena khawatir air matanya semakin tumpah tak terkendali.
Harry mengusap kepala Aira pelan. "Kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa hadir penuh, bukan separuh seperti aku sekarang."
Cukup lama Aira memberikan jawaban, akhirnya dia berkata. "Harry, hari ahad kita jadi ketemu kan?" tanyanya.
"Um, iya..." Harry menggaruk pipinya.
“Kalau begitu, datanglah ke rumahku,” ucap Aira, sebelum ia berbalik dan Mulai melangkah pergi tanpa pamit.
"Tapi, Aira?"
Aira tak berhenti. Ia terus melangkah menjauh. Namun, satu meter sebelum sampai di gerbang TK tempatnya mengajar, ia menoleh dan memberikan senyum manisnya. “Aku yakin, kamu bakalan datang, kan?!” katanya sambil melambaikan tangan. Lalu ia berlari ringan, meninggalkan Harry yang berdiri mematung di tempat.
Hari-hari pun berlalu.
Aira mematikan ponselnya. Kalau Harry memang sungguh-sungguh, pikirnya, dia pasti akan datang langsung ke rumah. Ia ingin tahu seberapa besar tekad dan keberanian laki-laki itu untuk memperjuangkan hubungan mereka.
Namun, di hari yang dijanjikan...
...Harry tak juga datang.
Dari pagi hingga sore, Aira berusaha meyakinkan dirinya bahwa mungkin Harry terlambat, mungkin ada urusan mendesak. Tapi senja datang, dan malam mulai menggulung langit. Tetap tak ada tanda-tanda kehadiran Harry. Tidak juga sepucuk pesan atau telepon.
Dan akhirnya, saat malam menjelang dan rumah mulai tenang, suara deru mobil hitam Civic Type R berhenti di depan gerbang rumahnya. Aira mengintip dari celah tirai jendela kamarnya di lantai 2.
"Astaga, dia orang berduit rupanya. Masa Papa mandang cuma dari harta sih? Aku sampe nggak percaya," gumam Aira.
Ketukan terdengar dari pintu depan rumah. Seorang pria muda berdiri di teras bersama seorang lelaki paruh baya yang berwibawa. Wajah mereka asing. Namun senyum sopan dan pakaian rapi mereka menandakan bahwa mereka datang bukan tanpa maksud.
Mama Shania menyambut mereka dengan senyum hangat. Papa pun ikut menyilakan masuk dengan ramah. Aira hanya bisa menatap dari balik tembok ruang tengah, jantungnya berdegup lebih keras dari sebelumnya.
Tidak. Itu bukan Harry.
Aira memutar tubuhnya, masuk ke kamarnya. Menutup pintu perlahan. Mengunci. Di balik pintu, ia bergumam lirih, penuh luka. "Kamu jahat, Harry. Setelah semua yang kita lalui selama lima tahun... kamu malah menghilang begitu saja. Bahkan untuk datang dan mengucap sepatah kata pun kamu tak sanggup? Apa kamu benar-benar sepengecut itu?"
Air matanya akhirnya jatuh juga malam itu. Dan kali ini, tak ada pelukan yang menenangkan. Hanya sunyi. Dan kenyataan, bahwa Harry mungkin bukan laki-laki yang ditakdirkan menepati janjinya.
Mama datang ke kamar. Mengetuk pintu. Suaranya terdengar lembut, tapi ada nada harap di sana. "Ai sayang, ayo turun, Nak. Ada yang ingin bertemu denganmu. Dia pria tampan... dan Mama rasa dia hebat."
Aira mendengus, "Nggak mau!" serunya. "Mau setampan apa pun, sekaya apa pun, kalau bukan Harry, aku nggak mau, Mama!"
Mama menarik napas panjang, berusaha tetap sabar. "Oke, oke. Mama nggak mau berdebat sekarang. Tapi Mama cuma mau bilang, cinta itu bisa tumbuh, Ai. Kalau dia jodohmu, Mama yakin... kalian akan cocok pada waktunya."
Mata Aira memerah. “Kalau ternyata nggak cocok gimana? Ujung-ujungnya cerai juga, kan? Lebih baik tolak dari awal!”
"Dia pria baik, Ai. Sholih, sopan, dan penuh hormat. Mama dan Papa nggak asal pilih. Mama yakin... kamu akan berubah pikiran kalau sudah mengenalnya."
Aira menggeleng keras, matanya mulai basah lagi. “Mama dan Papa jahat...” suaranya lirih, penuh amarah yang bercampur luka. “Maaf, Mama. Aku nggak mau durhaka sama Mama dan Papa, tapi aku nggak bisa patuh gitu aja. Tolong, tinggalin Ai sendiri.”
Mama tak berkata apa-apa lagi. Ia melangkah turun. Aira menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, membenamkan wajah di bantal, dan menangis tersedu-sedu.
“Kamu juga jahat, Harry...” gumamnya di sela isak.
Menyadari gadis itu menangisi kekasihnya yang baik berakhir jahat, Aira bangkit untuk menghapus air mata yang tak ada penyelesaiannya itu. Lalu, bergegas mengambil air wudhu. Dia akan melakukan shalat istikharah.
"Allaah... Pertegas pilihan aku ini. Siapa yang harus aku pilih? Harry atau pria yang bahkan aku tidak tahu namanya," doanya sebelum mengangkat takbir.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments
Aksara_Dee
iih ihh perumpamaannya keren banget, seperti pagi menyentuh wajah bumi, syukaa 🩷
2025-04-19
3
Yuliana Purnomo
Hary tidak ingin membuat Aira kekurangan jika hidup berumah tangga dgn nya,, tapi dgn tidak hadir nya dia ke rumah Aira justru membuat tanda tanya
2025-04-19
2
Alen's Vy
Ga gentle bgt si Harry. Jiwa juangnya kurang/Right Bah!/
2025-04-24
3