Menemani

Setelah Ivy selesai mandi dan mengenakan pakaian yang diberikan oleh Mr. Gabriel, suasana menjadi lebih santai.

Ivy berjalan ke dapur dengan langkah ringan, aroma popcorn yang mulai menguar dari wajan membangkitkan rasa penasarannya.

"Mister buat apa?" Tanyanya dengan nada ingin tahu, melongok ke arah wajan sambil sedikit berjinjit.

"Popcorn," jawab Mr. Gabriel singkat, melirik sekilas ke arah Ivy.

"WAHH KITA MAU NONTON FILM??" Ivy sangat excited, gadis itu kembali berseri-seri.

"Ya-"

Namun, pandangan Mr. Gabriel tertahan ketika melihat pakaian yang dikenakan gadis itu—kaus kebesaran miliknya yang terlihat seperti dress, menggantung longgar di tubuh Ivy.

Meski pakaian itu cukup panjang untuk menutupi sebagian besar tubuhnya, bagian bawahnya terlalu pendek, memperlihatkan pa ha jenjang Ivy dengan jelas.

Mr. Gabriel mengalihkan pandangannya dengan cepat, namun rasa heran membuatnya membuka mulut lagi.

"Hei, kamu pakai celana, tidak?"

Ivy mengerutkan kening.

"Hah? Untuk apa, Mister? Celanamu saja kebesaran. Lihat ini, bajunya saja sudah cukup panjang jadi dress," jawabnya sambil memutar tubuh seolah ingin membuktikan maksudnya.

Mr. Gabriel hanya bisa menatap, wajahnya berubah sedikit merah.

Benar, baju itu memang terlihat seperti dress, tapi terlalu pendek untuk disebut pantas.

PLAK! 

Tanpa sadar, tangannya menampar wajahnya sendiri, frustrasi dengan dirinya yang tidak bisa menjaga pikiran tetap jernih.

"Ih, Mister, kenapa?!" Ivy terkejut melihat aksi pria itu yang tiba-tiba menampar dirinya sendiri.

"Ah, tidak apa-apa," gumam Mr. Gabriel cepat, mencoba menyembunyikan rasa malunya.

Tapi, tamparan itu ternyata cukup keras hingga menyebabkan sedikit darah di hidungnya. Ia mendesis, menutupi wajahnya dengan tangan.

"Mister berdarah! Sini, aku lap!" Ivy segera mengambil beberapa tisu dari meja, mendekat dengan penuh perhatian.

Dengan lembut, ia membersihkan d*rah di hidung Mr. Gabriel, tanpa menyadari bahwa gerakan kecilnya membuat pria itu semakin gelisah.

Bau segar dari rambutnya yang baru saja dicuci, sentuhan tangannya, dan kedekatan mereka membuat Gabriel harus berjuang keras untuk tetap tenang.

"Ah, kamu bisa gantikan aku masak ini. Diamkan saja. Nanti kalau sudah penuh, popcorn-nya berarti matang, tapi jangan sampai gosong." Ucap Gabriel terbata-bata, melepaskan diri dari Ivy dengan canggung.

Pria bahkan tidak menunggu jawaban gadis itu dan langsung berbalik, melangkah cepat ke luar dapur.

"Iya, iya," jawab Ivy bingung sambil memandang punggung Mr. Gabriel yang seolah terburu-buru meninggalkan dapur.

"Aku mau mandi," teriaknya dari jauh sebelum tiba-tiba menghilang di balik pintu kamar mandi.

Ivy mengerutkan kening, menatap wajan yang kini mulai penuh dengan popcorn.

"Aneh sekali dia," gumamnya, tetapi senyum kecil menghiasi wajahnya.

Entah kenapa, tingkah aneh Mr. Gabriel justru menghibur dan membuatnya semakin penasaran.

Di dalam kamar mandi kecilnya yang rapi, Mr. Gabriel menatap bayangan dirinya di cermin dengan wajah penuh frustrasi.

Nafasnya berat, matanya memancarkan kegelisahan yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Sialan kau, Gabriel," gumamnya dengan nada rendah, sebelum menundukkan kepala dan membenturkannya pelan ke dinding di depannya.

Duk! Duk!

“Seperti remaja puber saja…” Desisnya, menyadari betapa konyolnya dia bertindak.

Namun, bayangan Ivy dengan rambut basah, aroma sampo yang segar, dan senyum nakal itu terus menguasai pikirannya.

Setiap kali ia mencoba mengusir bayangan itu, bagian dari dirinya yang lain justru bangkit kembali, menuntut perhatian yang lebih besar.

Pria menggertakkan giginya, frustrasi pada diri sendiri, dan sesuatu yang bangkit tadi..

“Aku harus menyelesaikan ini,” katanya dengan lesu.

Pria itu segera menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap dinginnya cukup untuk meredam panas yang membara di dalam dirinya.

Setelah beberapa saat, Mr. Gabriel melangkah keluar dari kamar mandi, bertekad untuk mengalihkan pikirannya.

'Aku bisa kontrol ini'   Yakinnya dalam hati.

Namun, ketika ia melewati dapur dan melihat Ivy dengan pakaian kebesaran miliknya, berdiri di depan kompor sambil mengintip popcorn yang meluap, ia tau perjuangannya baru saja dimulai.

"Sudah matang.." Ivy terlihat gembira, kesedihannya hilang ketika menginjakkan kaki kerumah ini.

Popcorn ditaruh di mangkuk besar yang meluap hingga hampir tumpah ke meja.

"Mister! Popcorn-nya terlalu banyak!" serunya, menoleh ke arah dosennya yang mendekat.

Mr. Gabriel, yang sudah berganti pakaian santai berupa kaus dan celana training, berjalan mendekat dengan langkah tenang.

Ivy yang tidak menyangka pria itu akan mendekat sedekat itu hampir saja melompat karna terkejut.

"Apa yang kamu tambahkan di sini? Warnanya tidak seperti biasanya.." Tanya Gabriel sambil memeriksa popcorn, mengambil satu dan memasukkannya ke mulutnya.

"Enak juga," komentarnya sambil mengunyah. "Kamu tambahkan apa?"

Ivy tersenyum bangga. "Aku buat caramel tadi, kutambahkan itu."

"Tak kusangka kamu bisa masak juga." Ejek pria itu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Ah! Mister terlalu meremehkanku, tentu saja aku bisa. Dulu aku sering lihat pelayan masak. Aku belajar sedikit-sedikit," jawab Ivy, mengangkat bahu seolah itu hal biasa.

Mr. Gabriel tersenyum dan menepuk kepala Ivy, "Terima kasih sudah membuat popcorn yang enak."

Ivy tersenyum senang mendengar pujian itu. Mereka kemudian membawa popcorn ke salah satu ruangan di rumah itu, yang ternyata memiliki proyektor sederhana.

Ruangan itu nyaman dengan sofa empuk dan pencahayaan temaram, menciptakan suasana yang sempurna untuk menonton film.

Mr. Gabriel menyiapkan proyektor, sementara Ivy duduk di sofa dengan mangkuk popcorn di pangkuannya.

Tak lama kemudian, film dimulai, dan Gabriel kembali membawa dua kaleng bir. Ia menyerahkan satu kepada Ivy dan duduk di sebelahnya.

"Cheers," katanya singkat, menepukkan kalengnya ke kaleng Ivy sebelum meminumnya.

Mereka menonton dengan santai, tertawa di beberapa adegan, dan saling melempar komentar tentang film yang mereka pilih.

Ivy, yang awalnya sibuk dengan popcorn dan birnya, perlahan-lahan mulai memperhatikan pria di sebelahnya.

Mr. Gabriel, dengan posturnya yang santai dan ekspresi yang sesekali berubah tergantung adegan film, tampak sangat berbeda dari sosok tegas dan dingin yang biasanya ia kenal.

Diam-diam, Ivy menatapnya, merasa ada sesuatu yang aneh. Ada kenyamanan dan kehangatan yang membuat hatinya berdebar.

Mr. Gabriel, yang tidak menyadari tatapan Ivy, tetap fokus pada layar. Namun, saat film hampir berakhir, ia melirik sekilas ke arah Ivy dan menangkapnya sedang menatap.

Ivy dengan cepat mengalihkan pandangannya, pura-pura tertarik pada popcorn di tangannya, tetapi rona merah di pipinya tidak dapat ia sembunyikan.

Mr. Gabriel hanya tersenyum tipis, kembali memusatkan perhatian ke layar. "Filmnya hampir habis. Kamu masih kuat nonton lagi?" Tanyanya santai, mencoba memecah suasana.

Ivy hanya mengangguk, merasa senyumnya yang kecil itu malah membuatnya semakin gugup.

"Ya mumpung besok libur, mari kita habiskan waktu dengan menonton." Gabriel segera menyetel film lainnya.

Beberapa jam berlalu.. waktu sudah semakin larut.

Popcorn hampir habis, dan beberapa kaleng bir kosong sudah berjajar di meja kecil di depan mereka.

Ivy, dengan wajah yang sudah mulai memerah karena alkohol, tertawa kecil sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa.

"Hehe, ini aneh, ya. Berduaan sama Mr. Gabriel, minum bir bareng, nonton film... dan nggak belajar sama sekali," gumamnya sambil terkekeh, suaranya sedikit berantakan.

Mr. Gabriel mengangkat alis, menyilangkan tangannya di dada sambil menatap Ivy yang terlihat semakin santai—atau lebih tepatnya, mulai kehilangan kendali.

"Kamu sudah mabuk, tuan putri," katanya tegas, menekankan nada di setiap kata.

"Aku mau bir lagi aaaa.." Rengek Ivy seperti anak kecil.

"Tidak ada bir lagi untukmu. Sudah waktunya tidur."

Namun, Ivy menggeleng dengan keras, wajahnya merona tetapi senyum nakalnya tidak hilang.

"Mau bir lagi, Mr. Gabriel! Satu lagi aja, plis," rengeknya, tangan mungilnya mencoba meraih kaleng bir di meja.

Mr. Gabriel dengan sigap menarik kaleng itu dari jangkauannya, lalu bangkit berdiri.

"Cukup. Kamu sudah cukup minum terlalu banyak. Sekarang ayo tidur," ujarnya sambil menarik tangan Ivy, mencoba membantunya berdiri.

Namun, Ivy menolak. Ia menarik tangannya kembali, tubuhnya condong ke sofa sambil memandang Mr. Gabriel dengan mata yang mulai sedikit berair.

"Nggak mau tidur. Mau bir lagi," ucapnya dengan nada yang hampir manja.

Mr. Gabriel menghela nafas panjang, merasa kehabisan cara. Ia berjongkok di depan Ivy, mencoba meyakinkan gadis itu dengan nada lembut.

"Ivy, sudah malam. Kamu butuh istirahat. Memang besok hari Minggu, kamu juga tidak kuliah. Tapi sekarang, kamu harus tidur."

"Ih, Mister Gabriel nggak asik!" Balas Ivy, wajahnya cemberut tetapi dengan mata yang berbinar penuh kenakalan.

Tiba-tiba, Ivy menggunakan kedua tangannya untuk mendorong Gabriel.

Meski dorongan itu tidak cukup kuat untuk membuatnya kehilangan keseimbangan, Gabriel tetap terkejut.

"Ivy, apa yang kamu—" Kalimatnya terhenti saat Ivy tiba-tiba menariknya lebih dekat dan mendaratkan ci' um annya lagi.

Sentuhan itu spontan dan penuh keberanian, membuat Mr. Gabriel membeku di tempat.

Mr. Gabriel segera sadar dan menarik diri, meskipun detak jantungnya berdegup kencang. "Ivy! Kamu sudah terlalu mauk," ucapnya dengan suara rendah, matanya menatap Ivy yang tersenyum kecil dengan wajah setengah mabuk.

"Tapi, Mr. Gabriel..." Bisik Ivy, matanya yang setengah tertutup penuh dengan tekad yang sulit dijelaskan.

"Wajahmu merah lagi Mister.. dan.." Tangan Ivy turun merasakan detak jantung Mr. Gabriel yang berdetak kencang.

Perlahan tapi pasti, Ivy mulai menguasai situasi. "Jantungmu berdetak sangat cepat hehe, Mister gugup berada didekatku? Apakah Mr. Gabriel suka aku?"

"Kamu.." Apakah gadis ini tau apa yang sedang dia bicarakan? Pikir Mr. Gabriel.

Ivy lalu menangkup kedua wajah pria itu, "Aku tau hari ini Mister sedang sedih.. nada suara Mister dan gerak-gerik Mister berbeda.. aku ini sangat peka tau.."

Racauan gadis itu mulai mengusik, sampai mana lagi ia bisa menebak suasana hati pria itu?

"Aku tidak akan membiarkanmu sedih sendirian.. aku akan menemanimu malam ini, Mr. Gabriel." Ucap Ivy lagi seraya mendekat, mengambil kewarasan pria itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!