Kendali

Mr. Gabriel segera menyadari situasi yang tidak baik. Dengan cepat, ia mengambil tasnya yang berada di sofa, bersiap untuk pergi sebelum keadaan semakin memburuk.

Tetapi, Ivy masih panik karna melihat papanya mengayunkan tongkat baseball. Gadis itu bergerak cepat untuk menenangkan papanya.

“Pa!!” Ivy memeluk papanya dari belakang, menghentikan ayunan tongkat tersebut tepat di udara.

“Ivy, minggir, Nak! Dia monster yang ingin macam-macam denganmu!” Seru papa Ivy, matanya membara dengan amarah.

Sementara itu, Mr. Gabriel dengan sigap menghindar ke sisi ruangan, lalu mengambil helmnya yang tergantung di dekat pintu.

Mr. Gabriel tau situasinya semakin berbahaya dan tidak ada gunanya bertahan disini lebih jauh.

Sebelum melangkah keluar, pria itu masih mendengar jeritan papa Ivy yang sedang tantrum.

“Seisi keluarga ini memang tidak beres,” gumam Mr. Gabriel pelan sebelum menyalakan motornya dan melaju pergi, meninggalkan rumah itu dalam suasana kacau.

Di dalam rumah, papa Ivy terduduk di sofa dengan wajah penuh emosi. Ivy, yang merasa bersalah, duduk di sampingnya dan menggenggam tangan papanya.

“Sudah, Pa, nggak apa-apa... tenang dulu, ya,” ucap Ivy dengan lembut.

Papanya menghela nafas berat, lalu menatap Ivy dengan raut khawatir.

“Dia siapa, Nak? Kenapa dia ada di sini? Apa dia mau macam-macam denganmu? Papa nggak bisa diam saja kalau itu benar terjadi.”

Ivy, yang merasa terpojok, mencoba mencari alasan cepat.

'Tunggu! Kalau Papa nanya kaya gitu, berarti Papa nggak tau siapa dia, kan?'  Ucap dalam hati.

'Kayanya cuman mama yang kenal Mr. Gabriel'

Dengan nekat, Ivy mengeluarkan jawaban yang bahkan membuat dirinya gugup.

“Dia... dia pacarku, Pa!” Ucap Ivy lantang, sambil menggenggam tangannya erat.

“P-PACAR?!” Seru papanya, terperanjat. Matanya membelalak, hampir tidak percaya.

“I-iya, Pa. Kami baru jadian...” Ucap Ivy berusaha terdengar meyakinkan, meskipun detak jantungnya berdebar kencang.

Papa Ivy menatap putrinya dengan pandangan yang sulit dijelaskan. Tubuhnya yang tegap mendadak lunglai, lalu ia terduduk kembali di sofa sambil memegangi dadanya.

“Anakku... sudah punya pacar...” Gumamnya lirih.

Ivy menahan nafas, mencoba menenangkan dirinya.

“Papa pasti bisa memahami ini, kan? Lagipula, Mama dan Papa sibuk sama bisnis masing-masing. Aku cuman mau ada yang nemenin...”

Papanya terdiam sejenak, kemudian menarik nafas dalam-dalam.

“Baiklah, Nak. Papa terima. Tapi kamu harus janji untuk menjaga diri baik-baik. Kalau itu yang kamu mau, Papa akan mendukung selama itu yang terbaik buat kamu.”

Mata Ivy berbinar mendengar jawaban itu. “Pasti, Pa! Papa nggak perlu khawatir!”

Namun, papanya masih tampak ragu. “Tapi dia... kelihatannya seperti monster. Kalau dia berani macam-macam sama kamu, Papa nggak akan tinggal diam.”

Ivy tersenyum kecil, mencoba menghibur papanya yang masih khawatir.

“Tenang, Pa. Aku juga bisa melawan monster, kok,” ucapnya sambil terkekeh.

"Terus.. tolong rahasiakan ini dari Mama ya, Pa. Ivy takut dilarang lagi, Ivy sedih banget kalau sampai disuruh putus sama Mama.." Ivy melanjutkan drama dan Papanya langsung mengerti

"Iya Nak, Papa pasti rahasiakan.. Ivy jangan sedih ya.."

'Yes ini berhasil'  Batin Ivy merasa lega.

...****************...

Keesokannya, Ivy kembali bimbingan bersama Mr. Gabriel. Suasana terasa sedikit canggung, terutama sejak kejadian terakhir di rumahnya.

Ivy berusaha fokus pada soal-soal yang diberikan, tetapi tatapan dingin Mr. Gabriel tidak bisa ia abaikan.

Saat sesi belajar hampir selesai, Mr. Gabriel akhirnya berbicara, suaranya tenang namun terasa menusuk.

“Bagaimana dengan papamu? Apa dia masih marah?” Tanyanya, menatap Ivy dengan pandangan penuh arti.

Ivy menggigit bibir bawahnya, merasa sedikit bersalah. “Ah... itu. Maaf, Mr. Gabriel,” katanya pelan.

“Maaf untuk apa?” Mr. Gabriel mengerutkan kening, curiga.

Ivy menarik nafas dalam-dalam sebelum mengakui, “Aku berbohong... aku bilang ke Papa kalau... kalau Anda itu pacarku.”

Hening sesaat. Wajah Mr. Gabriel berubah, tidak lagi dingin, melainkan tajam. Tanpa diduga, ia menarik kerah pakaian Ivy, mendekatkan wajahnya ke wajah gadis itu.

“Kenapa kamu bilang begitu?” Tanyanya dingin, suaranya rendah namun tegas.

Ivy menelan ludah, “Aku... aku terpaksa. Kalau aku nggak bilang begitu, Papa pasti makin marah dan... mungkin dia akan melarang kita belajar lagi,” jelas Ivy tergagap.

Mr. Gabriel memandang Ivy dengan intens, kemudian perlahan melepaskan cengkeramannya.

“Apa mama kamu tau soal ini?” Tanyanya, nadanya tetap dingin.

Ivy menggeleng cepat. “Tidak. Aku bilang ke Papa supaya tidak memberitahu Mama.”

"Terus, mama sama Papa jarang ketemu kok! Aku akan menjaga kebohongan ini."  Lanjut Ivy.

Mr. Gabriel menghela nafas panjang, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Baguslah,” gumamnya dengan nada setengah lega. “Baik, kalau begitu. Aku akan berpura-pura jadi pacar di depan papamu. Tapi di depan mama kamu, ini tidak akan pernah terjadi.”

"Dan lagi aku tidak ingin hal-hal lain mengusik kita lagi." Lanjut Mr. Gabriel dengan tegas.

Ivy menatapnya bingung, lalu mengangguk pelan. “O-oke. Tapi... maksud ucapan Anda yang terakhir apa, Mr. Gabriel?”

Pria itu menatapnya tajam, lalu berkata dengan nada yang membuat Ivy bergidik, “Aku tidak bisa menc1um kamu lagi, Ivy.”

Kata-kata itu seperti tamparan yang tiba-tiba. Ivy merasakan dadanya terasa kosong, seperti ada sesuatu yang direnggut darinya.

Harusnya aku lega... Pikir Ivy. Tapi kenapa perasaannya malah sebaliknya? Ada rasa aneh yang membuatnya ingin membantah.

Dengan suara pelan, Ivy menjawab, “Baik, Mister. Aku juga tidak mengharapkan itu...”

Namun, ucapannya terasa bertolak belakang dengan apa yang sebenarnya Ivy rasakan.

Setiap momen yang pernah ia lalui bersama Mr. Gabriel, termasuk ciuman itu, entah mengapa meninggalkan jejak yang tidak bisa ia lupakan.

Sesi bimbingan berakhir lebih cepat dari biasanya. Ivy pulang dengan perasaan galau, memikirkan kata-kata dingin Mr. Gabriel tadi.

Di perjalanan, ia terus bertanya pada dirinya sendiri.

'Kenapa aku ngerasa kaya gini? Bukankah harusnya aku senang?' 

Bayangan wajah Mr. Gabriel dan sentuhannya terus mengganggu pikiran Ivy, memperparah rasa galaunya.

Di rumah, Ivy menatap cermin, menghela nafas panjang. “Kenapa jadi gini, sih...” Gumamnya pelan, merasa ada sesuatu yang mulai tumbuh di hatinya.

...****************...

Beberapa hari berlalu, Ivy masih merasa galau tapi ia memendamnya. Ivy sering sekali memerhatikan Mr. Gabriel secara diam-diam.

Ivy mengikuti bimbingan dengan baik dan pakaiannya menjadi sopan. Walau begitu,  terkadang Ivy masih melancarkan prank kecil tapi lama kelamaan respon Mr. Gabriel jadi lebih cuek.

Mr. Gabriel jadi lebih sulit didekati.

Di sisi lain pesan-pesan dari Albert, mantannya, terus membanjiri ponsel Ivy. Spam bertubi-tubi memenuhi notifikasinya, membuat Ivy semakin terganggu.

Tidak satu pun pesan itu ia balas, tetapi Albert tampaknya tidak menyerah. Ia bahkan sering mencoba menelepon, meskipun Ivy selalu mengabaikannya.

Yang lebih mengesalkan, Albert selalu menemukan cara baru untuk menghubunginya dengan nomor berbeda.

"Dia nggak pernah nyerah dari dulu.." Gerutu Ivy kesal.

Hari itu, Ivy sedang berlatih cheerleader bersama teman-temannya di lapangan sekolah. Ia mencoba fokus, tetapi pikirannya terus-menerus teralihkan oleh rasa cemas.

Saat istirahat, suara nyaring dan familiar menggema di lapangan.

“Ivy! Di mana kamu?” Teriak Albert lantang, wajahnya penuh semangat.

Ivy langsung merasa darahnya berdesir. Nafasnya memburu saat ia buru-buru bersembunyi di belakang tribun.

'Sumpah nyebelin banget pake dateng segala lagi'  Batinnya panik.

“Ivy?!” Albert terus mencari, suaranya semakin dekat.

Clara, salah satu teman Ivy, yang melihatnya sembunyi, menoleh dengan heran. “Ivy, ada apa sih? Kamu kenapa sembunyi?” Bisiknya.

Ivy hanya menggeleng cepat, mencoba memberi isyarat agar Clara diam.

Setelah beberapa saat, Albert akhirnya menyerah dan pergi dengan langkah berat.

Clara menatap Ivy dengan alis terangkat, lalu berseru dengan nada bercanda, “Ivy kalau Albert mau nempel terus gitu, mending cari pacar baru aja, deh! Biar kamu nggak diganggu.”

Ivy hanya menghela napas, tidak menjawab. Kalau saja semudah itu... Pikirnya lelah.

Latihan selesai, dan Ivy bersiap pulang. Namun, saat melangkah keluar dari gedung olahraga, ia tiba-tiba melihat sosok Albert yang berkeliaran di area parkir.

Mata Ivy membelalak panik. Ia berbalik tanpa pikir panjang dan berlari secepat mungkin.

Gadis itu tidak tau ke mana harus pergi, tetapi ada satu tempat yang terlintas di benaknya, ruang bimbingan Mr. Gabriel.

Tanpa ragu, Ivy melesat ke arah rumah Mr. Gabriel. Begitu sampai, ia membuka pintu tanpa mengetuk, wajahnya pucat dan nafasnya tersengal-sengal.

Di dalam, Mr. Gabriel yang sedang berbicara di telepon menoleh dengan alis terangkat, jelas bingung dengan kehadiran Ivy yang tiba-tiba.

“Ivy? Ada apa—”

Ivy mengangkat tangan, meletakkan jari telunjuknya di bibir, memberi isyarat agar Mr. Gabriel diam.

“Tolong... ada yang mengejarku lagi...” Bisiknya, hampir tidak terdengar.

Mr. Gabriel meletakkan teleponnya perlahan, menatap Ivy dengan serius.

“Siapa yang mengejarmu?” Tanyanya pelan.

“Albert... dia terus mengikutiku...” Ivy menjawab dengan suara gemetar, tubuhnya masih gemetaran karena berlari.

Mr. Gabriel menghela nafas panjang. Lagi-lagi, Ivy benar-benar tidak membiarkannya hidup tenang.

Mr. Gabriel dengan cepat menutup teleponnya, matanya segera tertuju pada Ivy yang berdiri di depannya, masih terengah-engah.

Namun, bukannya merasa lega dengan kehadiran Ivy, wajahnya malah berubah dingin. Dengan langkah pelan, ia mendekati Ivy, memojokkan gadis itu ke dinding.

“Kamu selalu saja menyeretku ke dalam masalahmu,” ucap Mr. Gabriel, suaranya terdengar rendah dan tajam.

Alis Ivy terangkat dan menatap Mr. Gabriel dengan berani.

"Memangnya kenapa? Bukankah aku peliharaanmu?” Ucapnya dengan nada sarkastik, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang menguji kesabaran.

Mendengar itu, Mr. Gabriel tertawa kecil. Sebuah tawa singkat yang terdengar dingin dan penuh ironi.

“Iya juga, ya. Aku sampai lupa karna sudah lama tidak membuat masala untukku,” balasnya, suaranya penuh sindiran.

Pandangan Mr. Gabriel kemudian melirik pakaian Ivy—seragam cheerleader yang terdiri dari rok pendek dan atasan yang membentuk tubuhnya dengan jelas.

Matanya memicing, mengamati setiap detail tanpa mengatakan apa-apa.

Gadis itu memang memiliki tubuh yang sempurna, proporsi yang menarik perhatian, dan wajah cantik yang selalu berhasil membuat orang terpesona.

Ivy, yang mulai merasa gugup dengan tatapan itu, menggigit bibir bawahnya, mencoba tetap tenang.

Tetapi, ada sesuatu dalam cara Mr. Gabriel menatapnya—intens, penuh penguasaan—yang membuat dadanya berdegup kencang.

Langkah Mr. Gabriel mendekat perlahan, membuat Ivy semakin terkunci di tempatnya.

Ivy tidak bisa mengalihkan pandangan dari pria itu, meskipun seluruh tubuhnya memberi isyarat untuk menjauh.

“Nona Ivy,” suara Mr. Gabriel kembali memecah keheningan, nadanya tenang namun mengandung sesuatu yang membuat udara di antara mereka terasa semakin berat.

“Memangnya pakaian cheerleader harus sependek ini, ya?”

Ivy menelan ludah, mencoba mencari suara yang seolah menghilang dari dirinya.

Namun, ia hanya mampu mengalihkan pandangan, matanya bergerak gelisah, sementara tubuhnya tetap terpaku di tempat.

Tangan Mr. Gabriel terulur, perlahan, seperti seorang seniman yang hendak menyentuh kanvas paling halus.

Jemarinya merayap ke lutut Ivy, dingin namun membakar, membuat gadis itu merasakan kejanggalan yang ia sendiri sulit jelaskan.

Ivy tersentak kecil, tetapi tidak bergerak menjauh.

“Lihat ini,” gumam Mr. Gabriel, seolah berbicara pada dirinya sendiri, sementara jemarinya perlahan naik menyusuri kulit halus paha Ivy.

Sentuhannya lembut, nyaris seperti angin yang menyentuh dedaunan—tidak tergesa, penuh kendali, namun tetap memancarkan sesuatu yang membuat Ivy merasa bergetar di tempatnya.

Tubuh Ivy seolah memberontak, tapi bukan untuk menjauh. Keheningan di ruangan itu hanya terisi oleh nafas mereka yang mulai saling bersahutan.

Dalam hatinya, Ivy bertanya-tanya mengapa ia tidak segera menepis tangan itu. Mungkin karena sentuhannya terasa... memabukkan.

“Nona Ivy,” suara Mr. Gabriel terdengar seperti bisikan, penuh kedalaman yang menusuk.

Jemarinya sedikit menekan, sekadar untuk memberi tanda bahwa ia masih di sana, bahwa ia memegang kendali.

“Sudah berapa lama ya kita tidak ciuman?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!