Ivy berlari secepat kilat menuju mobilnya, wajahnya memerah, setengah malu, setengah bingung.
Sesampainya di dalam mobil, Ivy menjedukkan kepalanya ke setir dengan frustrasi.
"Haduh... good job, Ivy," gumamnya, setengah mencemooh dirinya sendiri.
"Hal bodoh kali ini nyium dosen sendiri, dan yang mulainya juga aku!" Ia mengacak-acak rambutnya sendiri, merasa malu sekaligus lega.
Setidaknya, ia berhasil kabur dari Mr. Gabriel, dosennya killer yang menyebalkan itu.
"Pokoknya, aku harus pulang sekarang." Ivy menyalakan mobilnya dengan tteka untuk bicara pada orang tuanya.
Sesampainya di rumah, Ivy langsung menggebrak pintu.
BRAK!!
"Papa! Mama!" Teriaknya, nada suaranya penuh keluhan.
Papanya, yang sudah hafal anak gadis semata wayangnya sedang marah, buru-buru mendekatinya dengan senyum kecil.
"Nak, udah pulang ya.. mau ice cream?" Tawarnya lembut, mencoba meredakan badai yang terlihat jelas di wajah Ivy.
"NO, PAPA!" Ivy balas berteriak. Wajahnya merengut seperti anak kecil yang tidak mendapatkan mainan.
"Papa tega banget kasih aku ke Mr. Macan Gabriel! Papa kan tau kalau aku nggak suka dia!"
Papanya hanya bisa meringis, mengangkat kedua tangannya seolah menyerah. "Nak, tenang ya. Itu kan suruhan mama."
"Papa kan bisa bujuk Mama! Pokoknya aku nggak mau ketemu dia lagi! Nanti aku gak sayang lagi sama Papa." Kecam Ivy sambil menyilangkan tangannya di dada.
Papanya meringis mendengar itu seakan tidak ingin kehilangan kasih sayang putrinya. "I-iya nak, nanti papa bicara sama mama ya, demi kenyamanan Ivy."
Namun, percakapan mereka mendadak terhenti ketika sebuah suara dingin dan ketus menyela.
"Bicara apa?"
Ivy menoleh dengan kaget, lalu langsung merengut. Dia Mama Ivy berdiri di depan pintu, wajahnya penuh otoritas.
Mama Ivy adalah wanita galak nomor satu di hidupnya, bahkan melebihi Mr. Gabriel.
Hari ini, Mama Ivy rela pulang lebih awal dari pekerjaannya hanya untuk menghadapi drama Ivy.
"Mama! Mama nggak tau, kan, Ivy sengsara banget gara-gara dia! Dia nggak biarin aku pulang, HP-ku dia ambil seenaknya!"
Mama Ivy mengangkat alisnya dengan santai. "Bagus dong, biar kamu belajar disiplin."
Ivy menghempaskan nafasnya dengan kesal. "Ah, sebel! Mama gak pernah ngerti"
Ivy langsung berlari ke atas tanpa menunggu respons lebih lanjut, menutup pintu kamarnya dengan keras.
Beberapa saat Ivy turun lagi membawa koper dan boneka anjing laut kesayangannya.
"Aku mau minggat!" Ucapnya dengan lantang, mencoba menarik perhatian orang tuanya.
Papanya langsung bereaksi, "Anakku.. kenapa begini.."
Namun, tidak ada respons dari Ibu Ivy. Hal itu membuat Ivy makin kesal.
"Mama tega!" Ivy merengutkan bibirnya, merasa usahanya sia-sia. "Aku minggat beneran, loh ma!"
Ivy membalikkan badan namun sesaat ia kembali berbalik, "Aku minggat loh ini." Beberapa langkah Ivy membalikkan badannya lagi.
"Aku minggat beneran ya!"
Mama Ivy tetap diam, sementara Papanya mulai menangis pelan. "Nak, jangan pergi..." Bisiknya.
Ivy akhirnya menghela nafas panjang, merasa diabaikan . Dengan ekspresi kesal, ia keluar dari rumah sambil membawa barang bawaannya.
"Aku minggat! Pokoknya aku nggak akan pulang sampai papa dan mama nurutin permintaan aku!" Katanya keras-keras sebelum menutup pintu dengan dramatis.
"IVY!!" Teriak ayahnya, mencoba mengejar, tapi mama Ivy menahan tangannya.
"Sudahlah, nanti juga dia balik lagi," kata mama Ivy sambil tersenyum tipis.
"Keluarga ini emang hobinya ngedrama." Celetuk mamanya lagi.
***
Ivy mengemudikan mobilnya dengan ekspresi penuh tekad. Di kursi sebelah, hanya ada tas kecil dan ponselnya.
"Nggak apa-apa bawa baju sedikit, aku tinggal beli baju lagi," gumamnya. Ivy sudah memutuskan.
Jika keluarganya ingin membawa dosen iblis ke kehidupannya, ia akan membuktikan bahwa ia bisa hidup mandiri.
Setelah beberapa kali melintasi jalan-jalan utama kota, Ivy berhenti di depan sebuah apartemen mewah yang menjulang tinggi.
Lobby-nya megah dengan lampu gantung berkilauan, persis seperti tempat yang ia idamkan. Ia melangkah masuk dengan penuh percaya diri.
"Saya mau booking unit di sini setahun," katanya anggun kepada resepsionis.
"Baik, Nona. Silakan pilih jenis unitnya," jawab resepsionis dengan ramah.
Dengan santai, Ivy mengeluarkan kartu hitamnya, kartu kredit eksklusif yang biasa ia gunakan tanpa batas.
Ivy menyerahkan kartu itu dengan senyuman penuh kemenangan.
'Lihat aja, Ma. Ivy bisa hidup sendiri!' Batinnya percaya diri.
Namun, senyum Ivy memudar ketika resepsionis berkata ragu, "Maaf, Nona Ivy. Kartu ini tidak bisa digunakan."
"APA?!" Ivy langsung merebut kartunya kembali, menekannya lagi ke mesin pembayaran. "Coba lagi!"
Setelah beberapa kali percobaan, resepsionis menunjukkan layar mesin pembayaran.
[ Kartu Debit Anda terblokir ]
"NOOOO!!" Ivy menjerit, terduduk lemas di lantai lobby. Wajahnya memucat, kepalanya mulai pusing.
"Sekarang aku jadi... gelandangan," gumamnya dengan suara parau. "Apa aku harus tidur di kardus?"
Setelah beberapa saat terisak dan menarik perhatian orang-orang di lobby, Ivy akhirnya menyerah. Dengan langkah berat, ia kembali ke rumahnya.
---
Di rumah, Papa Ivy sudah menunggunya dengan cemas di ruang tamu bersama Mamanya.
Begitu melihat Ivy datang, ia langsung berlari menghampiri, memeluknya erat.
"Nak! Kamu nggak apa-apa, kan?"
Namun, suasana berubah ketika Ivy melihat Mamanya. Di sana, Mama Ivy duduk dengan santai, menyesap teh dengan tenang.
Ivy menatap Mamanya penuh emosi.
"Mama!" Teriak Ivy.
Ibu Ivy hanya mendongak pelan, "Papa terlalu lama memanjakanmu, Ivy. Mulai sekarang, ikuti aturan yang mama buat."
Ia menggebrak meja, meletakkan selembar kertas penuh dengan daftar aturan yang membuat Ivy melongo.
Peraturan IVY
Nilai Ivy harus bagus, A semua
Ivy tidak boleh minum-minum sembarangan
Berhenti mengandalkan uang untuk menyelesaikan masalah
Tidak boleh boros
Uang saku dan akomodasi diatur mama
Menurut pada Mr.Gabriel
Mendapat gelar cumclaude
Ivy membacanya dengan tertegun, merasa seperti dihukum di sekolah.
"Ok kalau itu mau mama tapi.. dari sekian banyaknya orang kenapa harus Mr.Gabriel, Ma..?" Tanya Ivy resah.
"Udah berkali-kali mama kasih kamu guru private dan pengasuh semuanya gak ada yang betah. Cuman Mr.Gabriel aja yang cocok buat kamu." Jawab mamanya tegas.
"Mama serius? Aku nggak bisa hidup kayak gini! Papa tolong aku!" Ia menatap papanya dengan mata memelas.
Papanya mendekat, mencoba menghibur. "Nak, tenang ya. Ini buat kebaikanmu." Papanya tidak bisa apa-apa di depan Mama Ivy.
Ivy ambruk ke sofa dengan ekspresi putus asa. "Aku nggak sanggup! Ini penyiksaan, kehidupan bebasku yang malang.."
Papanya mendekat dan berbisik, "Nanti papa diem-diem kasih uang, ya."
"Beneran, Pa?!" Ivy langsung semangat lagi. Tapi kebahagiaannya lenyap seketika ketika Mama Ivy menyela dengan suara tajam.
"Papa juga ATM-nya udah mama blokir. Jangan coba-coba kasihan sama anak itu!"
"NOOOO!!" Kali ini, giliran Ayah Ivy yang ambruk di lantai dengan wajah putus asa.
Mama Ivy hanya tertawa kecil sambil kembali menikmati tehnya.
"Ivy, mulai sekarang kamu harus berubah jadi orang yang benar. Kalau semua aturan ini berhasil kamu lalui, kamu akan bebas kembali."
Ivy mendengus, wajahnya penuh kesal.
"Kalau begitu jadinya, hidupku nggak akan pernah sama lagi..." Gumamnya sebelum melangkah ke kamar dengan langkah berat.
***
Hidup Ivy berubah drastis sejak mamanya mengambil alih kendali penuh atas keuangannya.
Dengan uang saku terbatas setiap minggu, Ivy terpaksa menahan keinginannya untuk berbelanja barang-barang mewah.
Namun, yang paling menyiksa adalah keberadaan Mr. Gabriel, dosen killer yang disuruh langsung oleh ibunya untuk mendidik Ivy.
Ivy sering bolos dari kelas Mr. Gabriel, berharap bisa bebas darinya. Tapi ibunya selalu tau, entah bagaimana.
"Kalau kamu bolos kelas Mr.Gabriel lagi, mama sita HP kamu!" Tegas ibunya suatu malam.
"Jangan, Ma.. ampun.. jangan HP, ya!" Rengek Ivy, memeluk ponselnya erat-erat seperti barang paling berharga di dunia.
Akhirnya, Ivy menyerah dan kembali masuk kelas Mr. Gabriel. Namun, kali ini, ia punya rencana baru.
Jika ia tidak bisa lari dari Mr. Gabriel, maka ia harus membuat dosen itu menyerah sendiri.
"Udah banyak guru private dan pengasuh yang nyerah sama aku.. Mr. Gabriel juga bisa kusingkirkan!" Gumam Ivy penuh tekad.
Keesokan harinya, Ivy masuk kelas Mr. Gabriel dengan penampilan yang mengejutkan semua orang.
Ivy sengaja datang terlambat, mengenakan rok jeans mini dan tank top pink yang mencolok, memperlihatkan belahánnya dengan sangat jelas.
Di tangan kirinya, ia membawa permen karet yang ia tiup sembarangan, membuat bunyi pop.
Seluruh ruangan langsung terdiam. Mahasiswa lain menatap Ivy dengan mulut menganga, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat.
"Pagi, Mr. Gabriel," sapa Ivy santai, dengan senyum penuh provokasi. "Aku bawa apel, Mister."
Mr. Gabriel, yang sedang menulis di papan tulis, berhenti sejenak. Ia menatap Ivy dengan ekspresi tajam, rahangnya mengepal menahan amarah.
Dengan langkah lambat namun penuh tekanan, Ivy mendekat ke meja dosennya. Ia meletakkan apel di atas meja, seakan menantang pria itu untuk bereaksi.
"Dinikmati ya, Mister. Apelnya lembut banget~" Ucap Ivy dengan nada menggoda.
Ivy kemudian menambahkan dengan suara lebih pelan, cukup untuk didengar Mr. Gabriel, "Lembutnya... sama kayak bibir aku."
Mr. Gabriel, yang wajahnya mulai memerah karena campuran emosi, langsung menarik tangan Ivy.
"Nona Ivy, ikut aku sekarang," katanya dingin, suaranya rendah tapi penuh wibawa.
Ivy tersenyum kecil, puas karena berhasil membuat dosen itu kehilangan kesabarannya.
Namun, ia tidak menyangka bahwa Mr. Gabriel akan menggiringnya langsung ke ruang kantor pribadinya.
Sesampainya di ruangan itu, Mr. Gabriel menutup pintu dengan suara keras, membuat Ivy sedikit terkejut.
Mr. Gabriel menatap Ivy tajam, matanya penuh dengan amarah yang terkendali.
Mereka saling berhadapan saat ini, "Ganti pakaian kamu sekarang!" Pertegas Mr.Gabriel memasang wajah tidak senangnya.
"Ok Pak, aku ganti ya.." Ivy mendadak menaîkkán tanktop pinknya itu secara mendadak.
'Anak ini..' Mr.Gabriel membatin resah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments