Bab. 5

Arga baru saja mengayunkan kakinya ke atas jok motor ketika langkah ringan seseorang terdengar mendekat. Ia menoleh pelan, dan seperti yang sudah bisa ia tebak, Celine muncul dengan senyum yang tak benar-benar cerah di wajahnya.

"Langsung pulang?" tanya Celine, suaranya terdengar ringan, tapi ada harap yang mengendap di matanya.

Arga mengusap tengkuknya pelan, matanya sebentar melirik langit yang mulai memerah senja. "Enggak," jawabnya, singkat. "Aku mau ke bengkel dulu. Banyak kerjaan yang belum kelar... Aku pengin bantu sedikit."

Celine menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan kekecewaannya, tapi gagal. Sorot matanya meredup, dan bibirnya sempat mengerucut cemberut sebelum ia menunduk.

"Padahal... aku pikir kita bisa jalan-jalan sebentar," gumamnya nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas di telinga Arga.

Arga mendesah. Ia tahu benar nada itu—nada kecewa dari seorang kekasih yang menunggu waktu bersama, yang tak selalu bisa ia berikan.

"Aku ikut aja, ya?" kata Celine tiba-tiba, wajahnya kembali terangkat. Ada senyum kecil yang dipaksakan di sana. "Aku enggak ganggu, cuma nemenin aja."

Arga langsung menggeleng, cepat dan mantap. "Enggak bisa, Celine."

Celine menatapnya, bingung. "Kenapa? Kan aku cuma—"

"Aku enggak mau ada masalah," potong Arga, suaranya kini lebih serius. "Kalau Viola tahu aku bareng sama cewek, bisa ribet." gumam Arga.

Diam. Udara di antara mereka terasa lebih berat dari biasanya.

Celine menggigit bibir bawahnya, menahan kata-kata yang mendesak untuk keluar. Rasa kesal, dan kecewa bertabrakan dalam dadanya.

"Aku cuma... pengin waktu sama kamu, Ga. Itu aja."

Arga menatapnya, dan untuk beberapa detik, matanya melembut. Tapi keputusan tetap tak berubah.

"Aku ngerti. Tapi bukan sekarang, ya?"

Celine hanya mengangguk pelan. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik. Langkahnya pelan, dan entah kenapa, lebih berat dari sebelumnya.

Arga menghela napas panjang sebelum menyalakan motornya. Suara mesin menggema di antara senja yang mulai turun, menyisakan dua hati yang tak sepenuhnya sejalan.

**

**

Jarum jam menunjuk angka setengah empat sore ketika Arga memarkir motornya di depan bengkel miliknya. Masih mengenakan seragam sekolah yang sedikit kusut karena seharian beraktivitas, ia membuka helm dan menggantungnya di kaca spion sebelum melangkah masuk.

Hari ini full day school, jadi ia baru bisa keluar kelas tepat pukul tiga. Tanpa banyak singgah, ia langsung meluncur ke bengkel yang berlokasi tak jauh dari sekolahnya. Bengkel kecil itu mungkin tak terlihat mencolok, tapi bagi Arga, tempat ini adalah rumah kedua. Tempat di mana keringatnya berubah jadi sesuatu yang berharga.

Suasana bengkel sore itu tidak terlalu ramai. Hanya ada dua motor yang sedang ditangani, masing-masing oleh dua lelaki muda yang sibuk dengan tangan penuh oli. Mereka adalah Andi dan Bagas—dua karyawan yang setia dan sudah seperti kakak bagi Arga. Usia mereka sekitar setahun lebih tua, tapi sejak awal, mereka menghormati Arga sebagai pemilik sekaligus pemimpin di tempat itu.

"Yo, Ga!" sapa Andi sambil menyeka keringat dari pelipis dengan punggung tangan.

"Baru keluar sekolah ya?" timpal Bagas, tak lepas dari posisinya yang sedang jongkok di samping motor matik berwarna merah.

Arga tersenyum kecil, menghampiri mereka sambil meletakkan tasnya di meja kerja yang mulai dipenuhi baut-baut kecil. "Iya. Gimana? Masih banyak kerjaan?"

Andi mengangguk sambil berdiri dan menggoyangkan bahunya yang pegal. "Masih ada satu motor lagi yang belum disentuh. Tadi katanya sih, pemiliknya bakal ambil habis Maghrib."

"Motor matic biru, keluhannya susah nyala kalau pagi," tambah Bagas, cepat. "Kayaknya masalah di karburator atau busi, tapi belum sempat dicek."

Arga mengangguk, mulai menggulung lengan seragamnya ke siku. "Oke, aku yang urus. Biar kalian fokus beresin yang itu."

Mereka hanya saling bertukar pandang dan tersenyum singkat. Meski usianya lebih muda, Arga memang punya rasa tanggung jawab yang dewasa. Ia tidak sekadar jadi pemilik yang memerintah, tapi turun tangan langsung. Dan itulah yang membuat Andi dan Bagas menghargainya.

"Oke bos!" seru Andi bercanda, membuat Bagas tertawa kecil.

Arga hanya menggeleng, lalu mengambil kunci pas dan mulai mendekati motor yang menunggunya di pojok bengkel. Sore itu, seperti biasa, ia memilih tenggelam dalam kesibukan yang menenangkan, meski di balik pikirannya, bayangan wajah kecewa Celine tadi masih sempat melintas sekali-dua.

**

**

**

Bau oli dan besi panas memenuhi udara sore itu. Suara alat-alat bengkel berdenting samar, bersahut-sahutan dengan suara knalpot motor yang baru dinyalakan. Arga duduk bersila di lantai, tangannya cekatan membongkar bagian depan motor matic yang katanya sering susah menyala saat pagi.

Peluh mulai menetes di pelipisnya, tapi Arga justru terlihat tenang dan fokus. Cahaya sore masuk dari sela pintu bengkel yang terbuka setengah, mengenai wajahnya yang sesekali menunduk serius, matanya tajam meneliti bagian karburator yang bermasalah.

Bagas sempat melirik dari kejauhan lalu menyenggol Andi. "Itu anak sekolah, tapi kerjaannya lebih rapi dari kita."

Andi terkekeh pelan. "Makanya cewek-cewek pada suka. Coba kita setampan itu dan punya bengkel..."

Arga yang mendengar hanya menggeleng pelan, malas menanggapi candaan mereka.

Hampir sejam ia bergulat dengan mesin, hingga suara azan Maghrib terdengar samar dari masjid terdekat. Arga baru saja membersihkan tangannya dengan lap kotor ketika suara langkah pelan terdengar dari luar pintu.

Seorang gadis muda berdiri di ambang bengkel, mengenakan blouse putih sederhana dan celana jeans. Rambutnya diikat ekor kuda, dan wajahnya terlihat lelah, tapi tetap manis. Tatapannya langsung tertuju pada Arga.

"Permisi..." sapanya ragu.

Arga menoleh, lalu berdiri sambil menyeka tangannya. "Iya, selamat sore. Ini... motor Mbak ya? Yang susah nyala pagi-pagi?"

Gadis itu mengangguk, matanya menatap Arga lebih lama dari seharusnya. Senyum tipisnya perlahan tumbuh. "Iya, bener. Tadi katanya bisa diambil habis Maghrib."

Arga mengangguk ramah. "Udah saya cek. Kayaknya masalahnya di busi sama filter udaranya kotor. Tapi sekarang udah beres, udah saya tes juga. Harusnya besok pagi langsung nyala."

Gadis itu melangkah mendekat. "Wah, cepet banget, ya. Padahal saya pikir bakal ditinggal nginep."

"Kalau cuma masalah ringan gitu, bisa langsung. Kami biasa ngerjain cepat," jawab Arga sambil tersenyum. "Mbak tinggal coba aja nanti besok pagi."

Gadis itu tertawa kecil, kemudian baru menyadari tangan Arga yang masih ada sisa oli dan wajahnya yang sedikit kotor karena percikan debu. Tapi entah kenapa, di matanya, itu semua justru terlihat menarik. Lelaki dengan seragam sekolah, tangan kotor oli, dan tatapan hangat seperti itu... rasanya berbeda dari pria-pria yang biasa ia temui.

Arga hanya tertawa pelan. "Ya, lumayan buat belajar tanggung jawab."

Keyla menatapnya sebentar lagi sebelum akhirnya tersenyum—senyum yang tak bisa ia tahan. Ada sesuatu dalam diri Arga yang membuatnya ingin lebih lama di sana. Tapi waktu terus berjalan, dan ia pun pamit setelah membayar biaya servis.

Ketika Keyla pergi dengan motornya, Arga sempat melihatnya menoleh sekilas dan melambaikan tangan. Arga membalas lambaian itu, meski tak sadar bahwa di balik tatapan singkat itu, ada benih rasa yang mulai tumbuh di hati sang gadis.

Dan sore itu, tanpa ia sadari, bukan hanya motor yang berhasil ia perbaiki—tapi juga hati seseorang yang perlahan mulai terpaut.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!