Bab. 2

Pagi itu, Arga baru saja sampai di halaman sekolah. Langit masih berselimut mendung tipis, seolah meniru suasana hati yang dibawanya dari rumah. Ia turun dari motornya, lalu memarkirkannya di pojok parkiran yang biasa ia pilih—dekat pohon flamboyan yang sedang berbunga. Udara pagi menyelusup lewat jaket yang belum sempat ia rapatkan.

Dengan langkah cepat namun tak terlalu bersemangat, Arga berjalan menuju kelas. Namun sebelum sempat mencapai tangga gedung, langkahnya terhenti. Di sudut lorong, berdiri seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, bersandar santai sambil memainkan ponsel di tangan.

Celine.

Gadis itu menoleh begitu melihat Arga datang. Senyumnya mengembang—hangat, tulus, dan entah kenapa selalu berhasil mencairkan suasana. Wajahnya cantik, tak berlebihan jika orang-orang menyamakannya dengan model iklan majalah remaja. Hubungan mereka memang belum bisa dibilang pacaran, tapi kedekatan yang terjalin sudah cukup membuat teman-teman sekelas mulai bertanya-tanya.

“Hai, Arga,” sapa Celine ringan. "Kamu baru datang juga."

"iyaa Cel."

"Sarapan dulu yuk di kantin, kita udah lama nggak ngobrol. Kamu pasti belum sarapan kan?"

Arga menghela napas pelan, mencoba menyembunyikan sisa emosi yang masih menggelayut di dadanya sejak pagi. Tanpa menatap langsung ke arah Celine, ia menjawab dengan nada datar, hampir ketus, “Belum.”

Celine sempat terdiam, menyadari ada sesuatu yang berbeda dari nada suara Arga. Tapi alih-alih menyinggungnya, ia hanya tersenyum kecil.

“Masih pagi kok. Yuk, ke kantin dulu. Aku juga belum makan.”

Arga menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. Tak ada gunanya menolak, dan mungkin, sedikit percakapan dengan Celine bisa menenangkan pikirannya.

Mereka pun berjalan beriringan menuju kantin yang masih sepi. Percakapan ringan mulai mengalir di antara mereka, meski sesekali Arga masih terlihat memikirkan sesuatu.

Tak ada satu pun siswa di sekolah itu yang tahu rahasia besar yang di simpan oleh Arga tentang pernikahannya.

Ya, Arga dan Viola telah menikah. Diam-diam, tanpa pesta, tanpa undangan, tanpa sepengetahuan siapa pun. Hanya mereka dan Tuhan yang tahu ikatan suci yang telah terjalin di balik senyuman dan obrolan ringan setiap hari di sekolah.

**

**

Setibanya di kantin, aroma masakan pagi langsung menyambut mereka. Suara wajan beradu, tawa siswa-siswa, dan denting sendok memenuhi udara, menciptakan keramaian khas sekolah yang mulai hidup.

Arga melangkah ke antrean makanan, matanya tertuju pada papan menu. “Soto, satu,” katanya singkat pada ibu kantin.

Sementara itu, Celine memilih salad buah dan jus jeruk. Ia selalu menjaga apa yang masuk ke tubuhnya. Sebagai seorang model, berat badan ideal bukan sekadar angka—itu modal kerja, dan terkadang, tekanan yang tak pernah benar-benar lepas.

Mereka duduk di sudut kantin, agak jauh dari kerumunan. Arga makan dengan tenang, sesekali meniup kuah panas di sendoknya, sementara Celine menusuk potongan apel dengan garpu plastik.

“Ga,” panggil Celine pelan, menatapnya dari balik rambut yang sebagian jatuh menutupi wajah. “Kita… bisa jalan bareng lagi nggak? Kayak dulu.”

Arga tak langsung menjawab. Hanya diam, matanya menatap kosong ke dalam mangkuk. Lalu, perlahan ia menggeleng.

“Aku nggak tahu, Cel.”

Hanya itu yang keluar dari mulutnya, tapi cukup untuk membuat dada Celine sedikit sesak.

Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela, mencoba menyembunyikan ekspresi kecewanya. Tapi ia terlalu pintar untuk memaksa. Maka ia mengganti topik, suaranya kembali ceria, meski senyumnya terasa sedikit dipaksakan.

“Malam ini… aku mau nyari kado. Temenku di agensi ulang tahun. Temen sesama model. Kamu bisa anterin aku?”

Arga menelan potongan ayam di mulutnya sebelum menjawab. “Aku nggak bisa janji,” katanya pelan. “Harus ke bengkel dulu.”

Celine mengangguk pelan, tidak terkejut. Ia tahu betul bagaimana dunia Arga yang satu itu. Bukan sekadar hobi, tapi dunia yang sudah jadi bagian hidupnya. Hanya saja, ada satu hal yang tak diketahui semua orang, bahkan orang-orang terdekat mereka sekalipun.

Bengkel itu milik Arga. Usahanya sendiri. Cukup besar dan punya nama di kalangan pecinta motor. Tapi pada Viola—teman sekelas sekaligus siswi populer yang diam-diam menyukai Arga—dia selalu bilang bahwa dirinya hanya montir biasa. Entah mengapa, Arga merasa lebih nyaman begitu.

“Gapapa, kalau nggak bisa,” ucap Celine akhirnya, meski hatinya mengharapkan lebih."Tapi aku mohon usahakan ya Ga."

Arga hanya menatap Celine datar, tanpa ekspresi.

Mereka kembali diam. Hanya suara kantin yang terus riuh di sekitar mereka, seolah tak tahu bahwa dua hati sedang menahan banyak hal yang tak bisa terucap.

**

**

Di tempat lain, matahari mulai menebar sinarnya lebih terang saat Viola baru tiba di butiknya. Pintu kaca berbingkai emas muda itu berderit lembut saat ia membukanya. Aroma parfum ruangan dan kain baru menyambut langkahnya, menciptakan nuansa nyaman yang khas.

“Selamat pagi, Kak Viola!” seru Risa, gadis muda dengan senyum cerah yang langsung menyambut dari balik meja kasir.

Viola tersenyum lembut, langkahnya anggun seperti biasa. Ia mengenakan blazer krem dan celana kain berpotongan ramping—gaya yang membuatnya terlihat seperti pemilik butik dari majalah lifestyle.

“Pagi, Risa. Kamu datang pagi lagi, ya? kamu benar-benar rajin." puji Viola tulus.

Risa mengangguk kecil. “Iya, Kak. Biar bisa siap-siap sebelum pelanggan datang.”

Viola tahu Risa bukan sekadar rajin—ia berdedikasi. Dalam beberapa bulan terakhir, penjualan butik mereka meningkat pesat, sebagian besar karena kerja keras gadis itu. Viola pun tak segan memberinya bonus saat omset melewati target bulanan. Ia percaya, menghargai orang yang tulus bekerja adalah investasi jangka panjang.

Viola membuka clutch-nya, memeriksa ponsel sekilas, lalu menatap Risa lagi.

“Eh, kamu udah sarapan belum?”

“Belum, Kak,” jawab Risa sambil tersenyum malu-malu.

Viola meraih dompet dari tasnya dan menyodorkan beberapa lembar uang. “Kalau gitu sekalian, tolong beliin nasi uduk ya. Buat kita berdua.”

Mata Risa langsung berbinar. “Siap, Kak! Mau yang komplit atau biasa?”

“Komplit, pastinya. Jangan lupa sambalnya dua,” jawab Viola dengan senyum kecil.

Risa tertawa pelan sebelum bergegas keluar, meninggalkan Viola yang berjalan ke rak baju terbaru. Jemarinya menyusuri kain satin dan renda-renda yang baru datang pagi itu. Tapi di balik ekspresi tenangnya, hatinya sedang memikirkan seseorang.

Arga.

Pria yang selalu bersikap biasa saja, seolah tak pernah peduli dengan status sosial atau kecantikan luar. Justru itu yang membuat Viola tak bisa berhenti memikirkan dia.

Viola berpikir apa dia bisa menjalani hidup berumah tangga dengan bocah ingusan itu. Apalagi sepertinya dia itu pembangkang, dan sudah di atur.

Viola mendesah kesal, kenapa dia harus terjebak dalam pernikahan yang aneh ini. Dia yang dewasa harus punya suami pria yang lima tahun lebih muda darinya.

Baru satu hari saja kepalanya hampir pecah, lalu bagaimana jika harus bersama seumur hidup. Sepertinya dia akan menyerah di tengah jalan.

Terpopuler

Comments

putri aulia

putri aulia

lanjut kk

2025-04-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!