Bab. 3

Cahaya matahari menyelinap masuk melalui celah tirai jendela, menari-nari di atas meja kerja Viola yang penuh dengan kertas sketsa, pensil, dan secangkir kopi yang tinggal setengah. Ia baru saja selesai sarapan, dan kini tenggelam dalam dunia desainnya—menyusun potongan demi potongan imajinasi menjadi rancangan busana yang anggun dan penuh karakter. Matanya tajam menatap kertas, tangannya lincah menggoreskan pensil, seakan dunia luar tak lagi penting.

Di luar ruang kerjanya, Risa—karyawannya yang setia—sibuk melayani pembeli di butik kecil mereka. Viola memang jarang turun tangan langsung, tapi ia selalu memantau. Jika Risa terlihat kewalahan, Viola tak segan meninggalkan mejanya untuk membantu. Namun kali ini, ia benar-benar tenggelam dalam proses kreatifnya.

Tiba-tiba, pintu ruangannya terbuka pelan. Risa melangkah masuk dengan ragu, wajahnya menunjukkan sedikit kecanggungan.

"Maaf, Kak," ucapnya lirih. "Ada Mas Dhani... dia nyari Kak Viola."

Viola langsung menghentikan gerak tangannya. Rahangnya mengeras, dan napasnya tertahan sesaat sebelum ia mengembuskannya dalam-dalam. Sebuah desahan penuh kekesalan meluncur dari bibirnya.

"Astaga... lagi-lagi dia?" gumamnya sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi.

Dhani—nama yang masih memantik bara di dalam hatinya. Mantan kekasih yang tak kunjung bisa menerima kenyataan bahwa kisah mereka telah usai. Dua tahun bersama, lalu semua hancur karena satu kata: pengkhianatan. Dan kini, pria itu masih saja berani datang, seolah luka yang ia tinggalkan belum cukup dalam.

"Sampaikan saja aku sedang sibuk. Aku nggak mau diganggu," ucap Viola dingin tanpa menoleh.

Risa mengangguk cepat, memahami maksud sang bos. Ia segera berbalik dan keluar, menutup pintu pelan.

Viola memejamkan mata sejenak. Jantungnya berdetak sedikit lebih cepat, bukan karena rindu, tapi karena amarah yang masih belum sembuh benar. Ia tak ingin melihat wajah itu lagi. Tak ingin mendengar suara yang dulu pernah ia percaya sepenuh hati. Pertemuan itu hanya akan membuka luka yang baru saja mulai mengering.

Risa melangkah cepat kembali ke bagian depan butik, di mana seorang pria berdiri dengan gelisah. Dhani—dengan jas kasual dan ekspresi tak sabar di wajahnya—menoleh segera begitu melihat Risa datang.

"Dia mau ketemu aku?" tanyanya cepat, nada suaranya penuh harap, tapi juga terkesan menuntut.

Risa menelan ludah, berusaha bersikap sopan. "Maaf, Kak Viola sedang sibuk. Sepertinya belum bisa diganggu sekarang."

Dhani mendengus pelan, wajahnya berubah masam. "Sibuk? Dia selalu sibuk. Aku ini bukan orang asing, Risa."

"Mas, aku—"

Belum sempat Risa menyelesaikan kalimatnya, Dhani sudah melangkah cepat melewatinya. Risa terkejut, buru-buru mencoba menghalangi, tapi tubuh kecilnya tak mampu menandingi langkah Dhani yang penuh emosi.

"Tunggu! mas Dhani, jangan—!" serunya, mencoba mengejar, tapi Dhani tak menggubris.

Pintu ruang kerja Viola terbuka keras. Viola, yang masih fokus di balik meja kerjanya, langsung terlonjak kaget.

"Dhani?!" serunya, berdiri refleks. "Apa-apaan ini? Kamu nggak tahu sopan santun, ya?"

Dhani menatapnya dengan sorot mata yang campur aduk—marah, kecewa, dan entah mungkin masih menyimpan rindu yang mengendap di dasar hati. Tapi bagi Viola, semuanya hanya terlihat sebagai bentuk keegoisan belaka.

"Aku cuma mau bicara, Viola. Tapi kamu berlindung di balik alasan 'sibuk'," ucap Dhani, nadanya meninggi.

Viola mengepalkan jemarinya, berusaha menahan emosi. "Dan itu bukan urusan kamu Dhani! Kamu nggak bisa asal masuk ke ruang kerjaku seperti ini. Aku punya batas, dan kamu harus menghormatinya!"

Hening sesaat. Hanya terdengar helaan napas berat mereka berdua.

Risa berdiri canggung di ambang pintu, bingung harus berbuat apa. Suasana di ruangan itu kini terasa panas, seperti dua kutub yang pernah saling tarik menarik, kini bertabrakan dalam perang dingin yang meletup tiba-tiba.

Viola melangkah mundur, berdiri tegak di balik meja kerjanya, menatap Dhani dengan dingin. Aura ketegasan memancar jelas dari sorot matanya.

"Sudah cukup, Dhani. Aku sibuk. Dan satu hal lagi, antara kita… sudah selesai. Tidak ada alasan bagimu untuk terus muncul di hadapanku seperti ini," ucapnya tegas, setiap katanya terucap dengan jelas dan tanpa ragu.

Namun Dhani tidak bergeming. Justru ia melangkah mendekat, pelan namun mantap. Sorot matanya menyiratkan tekad, seolah ingin menembus benteng yang Viola bangun sejak lama. Saat ia mencoba meraih tangan Viola, dengan refleks Viola menepisnya—kasar.

"Jangan sentuh aku!" bentaknya, tajam. "Kau kehilangan hak untuk menyentuhku sejak kau mengkhianatiku, Dhani."

Dhani terdiam sejenak, seolah terpukul oleh ucapannya. Tapi kemudian ia menunduk, menarik napas dalam-dalam sebelum berkata, suaranya terdengar berat dan penuh penyesalan.

"Aku tahu aku salah, Vi. Tapi aku minta maaf... Aku janji, aku akan berubah. Aku nggak akan pernah lagi nyakitin kamu. Beri aku satu kesempatan. Aku masih cinta kamu… aku ingin kita mulai lagi dari awal."

Beberapa detik sunyi menyergap ruangan. Viola menatapnya—lama. Lalu tiba-tiba, bibirnya tertarik, dan tawa kecil meletup dari tenggorokannya. Bukan tawa bahagia, tapi tawa sinis yang dingin dan penuh luka.

"Kamu pikir ini sinetron, Dhani?" katanya dengan senyum getir. "Setelah kamu hancurkan kepercayaanku, kamu datang bawa kata maaf dan janji kosong? Lucu sekali."

Dhani terdiam, wajahnya mengeras, namun tak ada kata yang bisa ia balas. Yang ada hanya kenyataan—bahwa penyesalannya datang terlalu terlambat.

Dhani menatap Viola dengan pandangan penuh tanda tanya. Kedua alisnya berkerut, bibirnya sedikit terbuka, seolah tak percaya dengan tawa yang baru saja keluar dari mulut perempuan itu.

"Kenapa kamu tertawa?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. Ada luka dalam suaranya, tapi Viola tak tergerak sedikit pun.

Viola perlahan berdiri, tubuhnya tegak dan anggun. Mata indahnya yang dulu pernah memandang Dhani dengan cinta, kini menatapnya tajam seperti pisau. Dingin. Tegas.

"Aku tertawa," katanya sambil melangkah pelan mendekat, "karena kamu masih saja hidup dalam delusi. Seolah-olah aku ini masih perempuan yang sama... yang bisa kamu bodohi, yang bisa kamu tarik kembali hanya dengan kata maaf."

Dhani menahan napas. Wajahnya memucat.

"Viola, aku sungguh menyesal. Aku tahu aku salah... tapi—"

"Tidak ada tapi, Dhani," potong Viola tajam. "Dengar baik-baik... Aku tidak akan pernah mau kembali padamu. Tidak sekarang, tidak besok, tidak selamanya."

Ia berhenti tepat di hadapan Dhani. Suaranya kini lebih tenang, tapi menyayat.

"Aku sudah menikah."

Dhani terdiam. Matanya membesar, napasnya tercekat. "Apa…?"

"Ya," lanjut Viola. "Aku sudah menikah. Aku bahagia, dan aku hidup tenang. Jadi tolong, berhenti muncul di hadapanku. Berhenti mengganggu hidupku. Kau sudah cukup menyakitiku di masa lalu. Jangan tambah lagi luka yang sudah susah payah aku sembuhkan."

Dhani tampak kehilangan kata. Tubuhnya yang tadi tegap kini sedikit goyah. Matanya berkaca-kaca, tapi Viola sudah berbalik, kembali ke meja kerjanya, seakan keberadaan pria itu tak lebih dari bayangan masa lalu yang sudah ia bakar habis.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!