Bab. 4

Dhani masih mematung di tempatnya, seolah seluruh dunia mendadak berhenti berputar. Kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir Viola bergema di kepalanya, menyayat lebih tajam dari bilah sembilu.

"Aku sudah menikah, Dhani," ucap Viola sebelumnya, dengan nada datar yang menyimpan seribu rahasia. Meskipun pernikahannya tidak karena cinta, tapi dia tetap menghargai keberadaan Arga, sebagai suaminya.

Butuh beberapa detik bagi Dhani untuk benar-benar mencerna kenyataan itu. Matanya menatap kosong ke arah Viola, seolah berharap perempuan itu akan tertawa dan berkata kalau semua ini hanya lelucon yang kelewat batas. Namun, yang ia dapati hanyalah wajah Viola yang dingin, tanpa gurat penyesalan sedikit pun.

Akhirnya, Dhani menghela napas perlahan. Sebuah senyum tipis—pahit dan getir—terukir di sudut bibirnya. “Kau pasti hanya ingin aku menjauh, kan?” katanya dengan suara nyaris berbisik. “Ini cuma permainanmu, Viola. Pengakuan palsu supaya aku berhenti mencarimu.”

Viola tersenyum tipis, tetapi bukan senyum bahagia. Lebih seperti senyum getir yang disertai kelelahan. Ia melipat tangannya di depan dada, matanya menatap Dhani dengan sorot yang tak bisa dijabarkan antara marah, kecewa, dan letih.

“Terserah kau, Dhani,” ucapnya dingin. “Mau percaya atau tidak, itu urusanmu. Aku sudah cukup lelah menjelaskan. Yang jelas…” Ia menatap Dhani tajam. “Aku tidak mau melihat wajahmu lagi.”

Ucapan itu menghantam Dhani seperti badai yang menerjang tanpa ampun. Viola berbalik, langkahnya mantap meninggalkan pria itu yang masih terpaku di tempat, membawa serta kenangan yang dulu pernah mereka rajut bersama—kini telah terurai tanpa sisa.

Dhani berlutut di hadapan Viola, suaranya parau, matanya memohon pengampunan yang tak kunjung datang. “Viola… kumohon. Maafkan aku. Aku tahu aku salah, tapi aku sungguh mencintaimu. Tolong, beri aku satu kesempatan lagi…”

Namun Viola hanya berdiri kaku di balik mejanya, kedua tangannya bertumpu pada permukaan kayu yang dingin. Tatapan matanya tajam, menusuk, tapi di balik itu semua tampak jelas luka yang telah lama ia simpan rapi.

“Cinta?” Viola tertawa kecil, namun tak ada kebahagiaan dalam tawa itu. Justru terdengar seperti ejekan yang getir. “Kau mencintaiku, Dhani? Tidak… Kau hanya mencintai uangku.”

Dhani menggeleng cepat, hatinya terasa seperti diremuk pelan-pelan. “Tidak… itu tidak benar! Aku tidak pernah peduli dengan hartamu. Aku hanya mencintaimu, Viola. Kau… hanya kau.”

Viola berjalan perlahan mengitari meja, lalu berhenti tepat di depannya. Mata mereka kini saling bertaut, dan untuk sesaat waktu seakan berhenti berputar.

“Kalau begitu, jawab aku,” katanya pelan tapi tegas, “jika kau benar mencintaiku… mengapa kau berulang kali menduakan cintaku?”

Pertanyaan itu menghantam Dhani seperti palu godam. Lidahnya kelu. Kata-kata yang tadinya ingin ia ucapkan mendadak menguap begitu saja. Ia terdiam, tak mampu memberi sangkalan. Karena ia tahu… Viola tidak sedang mengada-ada.

Hening menguasai ruangan. Suara detik jam di dinding seolah memekakkan telinga Dhani. Ia masih berlutut, tapi kini bukan untuk meminta maaf—melainkan karena kekosongan yang menguasai hatinya. Sementara Viola menatapnya dengan luka yang tak lagi bisa disembunyikan, luka yang bukan lagi minta disembuhkan… tapi sudah ingin ditinggalkan.

Dengan napas memburu dan dada yang naik turun karena emosi yang tak tertahan, Viola akhirnya berteriak, suaranya menggema memenuhi ruangan mewah itu.

“Risa!” panggilnya lantang.

Tak butuh waktu lama, suara langkah terburu-buru terdengar mendekat. Risa, sang asisten pribadi, muncul dengan wajah cemas dan gugup.

“I-iya, Mbak?” gumamnya pelan, matanya berpindah dari Viola ke Dhani yang masih berdiri di tengah ruangan seperti bayangan kelam dari masa lalu.

Namun sebelum Risa sempat bertanya lebih jauh, Viola sudah mengangkat tangannya, memberi isyarat tegas.

“Tolong usir pria ini dari ruanganku. Sekarang juga,” ucapnya tanpa menoleh, matanya masih terkunci pada Dhani, dingin seperti es kutub.

Risa menelan ludah, tak berani membantah.

“Dan satu lagi,” sambung Viola tanpa jeda, suaranya kini terdengar lebih tajam. “Jika dia datang lagi… apapun alasannya, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan. Jangan biarkan dia melangkah sejengkal pun ke dalam ruangan ini.”

Dhani mengepalkan kedua tangannya, kuku-kukunya menekan telapak tangan hingga nyaris berdarah. Matanya menyala penuh dendam, tak lagi menunjukkan kelembutan yang tadi sempat ia perlihatkan. Harga dirinya tercabik, cintanya diinjak, dan kemarahannya membuncah tak terbendung.

Saat Risa mendekat untuk membimbingnya keluar, Dhani menepis tangan gadis itu kasar.

“Aku bisa keluar sendiri!” serunya, lalu melangkah menuju pintu. Namun tepat di ambang pintu, ia berhenti sejenak, menoleh dengan mata menyipit.

“Jangan pikir kau menang, Viola,” ucapnya serak, penuh kebencian yang belum selesai. “Kau cuma wanita sombong yang sok cantik… dan percaya dirimu terlalu tinggi. Tapi ingat ini baik-baik.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, seperti menyimpan bara dalam kata-katanya.

“Aku akan kembali. Dan aku akan buat kau menyesal karena pernah menghina aku seperti ini.”

Tanpa menunggu respons, Dhani berbalik dan pergi, meninggalkan jejak langkah kemarahan dan dendam yang belum tuntas. Sementara itu, Viola hanya menatap punggungnya yang menjauh dengan tatapan datar—seolah mengunci luka lama dan melemparkan kuncinya ke dasar jurang yang tak ingin ia gali kembali.

**

**

**

Viola menghembuskan napas panjang sambil memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Rasa lelah bukan hanya datang dari tubuhnya, tetapi juga dari pikirannya yang tak henti dipenuhi oleh bayang-bayang Dhani.

Kenapa dia terus saja datang? batinnya berteriak. Kenapa dia masih saja mengusik hidupku, bahkan setelah aku berkata aku sudah menikah? Apa semudah itu baginya menganggap aku berbohong?

Matanya menatap kosong ke arah jendela besar di sudut ruangan, langit tampak mendung, seolah ikut menyerap semua kekacauan hatinya.

Suara ketukan lembut di pintu membuatnya sedikit tersentak. Risa muncul dari balik daun pintu, menatap Viola dengan hati-hati.

“Maaf, Mbak. Dhani sudah pergi,” ucapnya pelan, seolah takut mengganggu sisa emosi yang belum sepenuhnya mereda.

Viola mengangguk singkat, lalu membenarkan duduknya. Suaranya terdengar datar, tapi tegas.

“Terima kasih, Risa. Dan ingat… aku tidak ingin melihat dia di sini lagi. Bahkan siapa pun yang mencoba membawanya masuk, tolong hentikan sebelum mereka sampai ke ruanganku. Aku tidak ingin diganggu lagi.”

Risa menunduk sopan. “Baik, Mbak. Saya mengerti.”

Tanpa menunggu perintah lebih lanjut, Risa segera kembali ke luar, membiarkan Viola kembali tenggelam dalam kesunyian yang menggantung di ruangan itu.

Sekali lagi, Viola menutup mata, mencoba meredam denyut sakit di kepalanya. Namun yang lebih sulit dari itu adalah meredam denyut sakit di hatinya. Luka yang ditinggalkan Dhani tak bisa sembuh hanya dengan kata maaf, terlebih jika luka itu terus digaruk oleh kehadiran pria yang seharusnya sudah menjadi masa lalu.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!