The Dawn

The Dawn

Arc 1 Musnah Dalam Satu Murka The Dawn 1 : Salju Yang Terhempas

Langkah yang tertatih. Kaki yang terasa teramat berat untuk berjalan. Kegelapan malam yang dipenuhi salju membuat tubuh menggigil kedinginan.

“Hound-San...” Mulutnya menggumam. Kagutsuchi Nagato yang telah berumur empat belas tahun berjalan sendirian di tengah daratan yang bersalju.

Air matanya masih membasahi wajahnya. Dua hari dua malam dia mengingat bagaimana sosok pria berambut merah yang telah menyelamatkan hidupnya. Dalam relung hatinya. Nagato ingin pria bernama Hound tetap hidup. Menemaninya tumbuh besar, seperti yang dikatakan olehnya tentang indahnya dunia luar. Saat kau mengetahui luasnya dunia, dan kau tidak sendirian. Kata-kata itulah yang selalu diucapkan Hound pada Nagato.

Namun takdir berkata lain. Dunia yang Nagato kenal adalah tempat yang kejam. Semua orang yang dia sayangi telah direnggut. Perlahan hanya menyisakan luka yang tak berujung dalam dasar hatinya.

“Aku tidak ingin mati...” Lehernya perlahan mengering. Nagato telah berjalan tanpa henti menuju Pulau Ryushima, tempat yang dijanjikan oleh Hound untuk kembali bertemu.

“Aku tidak bisa mati, demi Hound-San, aku tidak boleh mati disini...”

Hanya itu yang bisa Nagato pikirkan saat terus menyeret kakinya ke depan. Suara langkah kakinya yang menyatu dengan tebalnya salju, terdengar jelas di telinganya.

Mata Nagato mulai sayu. Berpikir seberapa jauh pelabuhan yang ada di ujung Kerajaan Sihir Azbec membuat Nagato menggigit bibir bawahnya dan menangis.

Kesendirian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kesendirian dan kesepian. Bahkan malam ini tidak ada bintang yang nampak sedikitpun di langit malam. Nagato berharap dia bisa memutar kembali waktu dan membawa Hisui, Litha beserta Iris untuk pergi meninggalkan Benua Ezzo. Dia ingin menyelamatkan orang yang berharga dalam hidupnya.

Namun jika dia berhenti melangkah dan menjadi orang yang tidak bisa menatap masa depan. Itu akan menjadi penghinaan untuk Hound, orang yang telah mengorbankan nyawanya demi dirinya.

Bebas. Saat ini Nagato tidak akan bebas selama wajah lusinan bahkan ratusan orang tidak menerima keberadaannya. Ingatan kelam itu membuat Nagato memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.

“Aku tidak boleh mati, aku tidak bisa mati...” Nagato terus mengulang perkataannya dengan suara yang menggigil. Tubuhnya gemetaran. Jaket hitam besar milik Hound yang dikenakannya menghangatkan tubuhnya di tengah badai salju yang membuatnya terhempas.

Saat ini Nagato melepas kancing jaket hitam tersebut. Dingin yang menyeruak mengenai pakaiannya membuat Nagato memilki bukti kuat. Bukti kuat jika dirinya masih hidup dengan merasakan sakit. Rasa sakit dari fisik dan mentalnya membuat Nagato merasa hidup.

Salju yang tebal menutupi tanah. Langit malam begitu gelap. Salju-salju turun membuat rambut dan tubuh Nagato menggigil hebat.

Secara perlahan tapi pasti. Tubuh Nagato mulai melemah. Wajar saja. Dia sudah dua hari dua malam tidak makan, tidak minum. Penyakit jantung bisa membuatnya mati kapan saja. Namun tekadnya begitu besar. Berkat perkataan dan harapan Hound yang dia pikul dipundaknya. Nagato berusaha menggapai kesadarannya. Menyeret kakinya ke depan, melewati batasnya demi untuk bertahan hidup.

Namun apa daya. Tubuhnya mati rasa. Dari kaki merambat hingga ke kepalanya. Perlahan Nagato melepaskan aura tubuhnya dan memanipulasinya menjadi api.

“Aku lemah...” Aura tubuhnya tidak begitu besar. Kini dia begitu lemah. Tubuhnya sangat lemah. Tubuhnya terasa begitu berat. Pikiran Nagato melayang-layang tidak bisa diam.

“Tidak!” Nagato menjerit dan mencubit tangannya hingga berdarah. Lagi-lagi kesadarannya hampir pulih sepenuhnya, namun pikirannya menari-nari tidak bisa diam di dalam kepalanya.

Ingatan masa lalu yang kelam terngiang kembali di dalam memori ingatan yang ingin dia lupakan, “Sial! Pergi!” Nagato menjerit dan memukul udara. Tubuhnya ambruk ke tanah karena kehilangan keseimbangannya.

Setelah berjalan dua hari dua malam tanpa henti. Nagato berdiri di jalan buntu. Jalan tersebut terlihat seperti terobosan menuju sebuah kota. Namun terobosan itu memiliki kayu panjang yang menjadi halangan dengan turunan yang cukup curam.

‘Aku tidak boleh mati disini! Sama seperti Hound-San yang membawaku kemana-mana, dengan sekecil apapun harapannya. Aku harus tetap hidup dan menyembuhkan penyakit jantungku!’ Nagato memegang bajunya. Tangannya menyentuh gundukan yang tak lain adalah Kucing Manis, Chibi, hewan peliharaan milik Litha.

“Chibi, jangan mati. Kau harus tetap hidup.” Nagato mengingat Chibi meminum Air Suci Kehidupan. Setelahnya Chibi pingsan selama dua hari dua malam dan belum terbangun.

Nagato berjalan menuruni turunan yang curam itu. Dengan perlahan langkah kakinya yang lemah menapaki tanah yang bersalju penuh kehati-hatian. Walau sudah berjalan secara perlahan dan hati-hati. Nagato terjatuh dan tubuhnya menggelinding ke bawah.

Tangannya memeluk Chibi. Matanya memejam mencoba merasakan rasa sakit dari sekujur tubuhnya. Setelah sampai di bawah. Nagato menabrak pohon yang besar dengan daun yang runcing.

“Aku tidak boleh mati disini...” Mata Nagato berusaha mendapatkan kesadarannya namun perlahan sayu dan memejam.

Rasa sakit dan lapar membuat tubuh Nagato pingsan. Wajahnya pucat. Tubuhnya menggigil. Badan dan pikirannya berjalan tidak searah.

Nagato terus berpikir untuk melanjutkan perjalanannya menuju Pulau Ryushima. Namun pikirannya tidak dapat menguasai badannya yang lemah.

Walau enggan. Nagato tidak bisa memaksakan ketika merasa detak jantungnya begitu menyakitkan.

Di bawah malam yang gelap. Nagato terbaring di atas tanah yang dipenuhi salju. Pohon besar dengan dedaunan yang runcing menjadi tempat dia berteduh. Di atas perutnya terdapat Chibi yang telah pingsan selama dua hari dua malam.

___

Pagi hari. Tepat tiga hari semenjak kematian Hound. Saat ini Nagato dengan tubuh yang lemas berusaha berdiri.

“Aku dimana?” Matanya menatap awan yang tak lagi berwarna untuknya. Salju-salju menutupi wajahnya dan tidak ada lagi kehangatan yang mendekap tubuhnya.

Nagato berdiri dengan susah payah. Dia terkejut melihat tubuh Chibi dibalut salju yang tebal hingga terlihat seperti membeku.

“Chibi, bertahanlah...” Jika Chibi mati. Maka Nagato akan sendirian. Itulah hal yang paling dia takutkan. Yaitu kehilangan.

“Rumah?” Tidak salah lagi kedua bola mata Nagato yang lemah dan perlahan mulai sayu itu melihat bayangan rumah.

“Aku bisa kesana...” Nagato tersenyum sesaat. Namun setelah mengingat tatapan sinis ratusan orang. Nagato menghentikan langkahnya.

“Hound-San, apa mereka akan menganggapku sebagai monster seperti waktu itu?” Nagato menggumam sendiri dan meneteskan air mata.

“Aku tidak boleh pesimis. Semoga penduduk kota ini dapat menerimaku...” Kata-kata itu dia ucapkan untuk menyemangati dirinya sendiri.

Nagato kembali berjalan secara perlahan mendekati ratusan rumah yang mulai dekat ketika matanya memandang.

Dalam benaknya. Nagato berharap dia bisa meminum teh hangat dan memakan sup hangat. Tapi apakah ada orang sebaik itu yang akan memberikan makanan dan minuman kepada dirinya. Lagi-lagi Nagato ingin menghentikan langkah kakinya.

“Aku tidak boleh pesimis...” Kedua kaki Nagato terus melangkah dan sampai di kota yang bersalju. Namun kota itu tidak nampak seperti kota pelabuhan, tempat yang dijanjikan oleh Hound ketika hendak membawa Nagato ke Pulau Ryushima dan meninggalkan Benua Ezzo untuk menyembuhkan penyakitnya.

Ratusan rumah bata terlihat jelas. Tidak ada penjaga gerbang kota. Banyak orang yang masuk ke dalam kota, dan tidak ada satupun orang yang keluar kota. Sebuah tanda dari kayu tertulis, “Kota Sugar” dalam huruf besar. Kota yang berada di ujung Kerajaan Sihir Azbec yaitu Kota Sugar.

Nagato memasuki kota itu dengan langkah kaki yang gemetaran. Banyak penduduk yang berjalan. Rumah dan penginapan terbuka lebar pintunya. Nagato berharap ada orang yang cukup baik hati memberinya makan.

Harapannya tidak dikabulkan. Salah satu pria paruh baya melihat Nagato dan ketakutan. Ternyata selebaran poster buronan tentang dirinya telah sampai di Kerajaan Sihir Azbec, tepatnya Kota Sugar.

Nagato menggigit bibir bawahnya dan berlari sekuat tenaga menjauh dari kota. Kesedihannya tidak dapat terbendung lagi. Inilah yang terjadi saat dirinya memasuki kota dan permukiman penduduk selain Kekaisaran Kai.

“Bunuh anak itu!”

“Pergi dari sini, Monster Kematian!”

“Kejar Pembawa Kematian itu dan bunuh dia!”

Nagato ingin menutup telinganya. Namun kedua tangannya memegang Chibi. Kedua kakinya terus berlari. Kali ini Nagato tidak ingin menanjak melawati tempat yang sudah dia lalui.

Ratusan penduduk masih mengejarnya. Beberapa ada yang membawa obor, beberapa ada yang membawa senjata tajam dan beberapa lainnya membawa tombak yang digunakan untuk berburu.

Nasib yang kurang beruntung menghampiri Nagato. Di depannya hanya ada tebing. Perlahan Nagato melihat di bawah ada sungai yang besar, “Sepertinya sungai itu dalam. Aku harus tetap hidup dan tidak boleh mati di tangan mereka!” Itu yang dipikirkan Nagato.

Ketika ratusan penduduk Kota Sugar datang. Nagato menghempaskan tubuhnya ke depan dan melompat ke sungai. Sebisa mungkin Nagato mencoba membungkus tubuhnya dengan aura untuk mengurangi luka.

“Terlalu lemah!” Nagato tidak dapat membungkus tubuhnya dengan aura yang besar. Bagian depan tubuhnya, terutama bagian perutnya tertancap batu yang cukup runcing. Sedangkan kedua tangan Nagato sempat melempar Tablet milik Hound dan Chibi ke pinggiran sungai.

“Chibi!” Nagato berusaha melawan arus. Tetapi tubuhnya terlalu lemah. Tiga hari dia tidak makan, ditambah penyakit jantung yang membuatnya berkali-kali merasakan putus asa. Tubuhnya tenggelam ke dalam sungai. Mata Nagato terbelalak melihat air sungai bercampur dengan darah. Itu adalah darahnya. Nagato bisa merasakan batu runcing masih menancap di perutnya.

“Apa aku akan mati disini?” Arus sungai menyeret tubuh Nagato. Matanya memejam dan membiarkan nasibnya mengalir seperti derasnya air yang menelan dan menyeret tubuhnya.

Terpopuler

Comments

ɪ'm🐼🐼

ɪ'm🐼🐼

seru lanjut semangat selalu thor

2020-09-12

3

Cerry Chibi

Cerry Chibi

au itu adalah kenangan yang berarti, jangan dilupakan. Sebab jika manusia mati, mereka hanya bisa hidup dalam kenangan orang lain.

2020-09-10

3

#Di Rumah Aja

#Di Rumah Aja

mugendai no chizu hiroge
hateshinai ano basho e
Let's sail on
takaku ho wo agete
kaze ni nore

Wow..

2020-09-09

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!