Langkah yang tertatih. Kaki yang terasa teramat berat untuk berjalan. Kegelapan malam yang dipenuhi salju membuat tubuh menggigil kedinginan.
“Hound-San...” Mulutnya menggumam. Kagutsuchi Nagato yang telah berumur empat belas tahun berjalan sendirian di tengah daratan yang bersalju.
Air matanya masih membasahi wajahnya. Dua hari dua malam dia mengingat bagaimana sosok pria berambut merah yang telah menyelamatkan hidupnya. Dalam relung hatinya. Nagato ingin pria bernama Hound tetap hidup. Menemaninya tumbuh besar, seperti yang dikatakan olehnya tentang indahnya dunia luar. Saat kau mengetahui luasnya dunia, dan kau tidak sendirian. Kata-kata itulah yang selalu diucapkan Hound pada Nagato.
Namun takdir berkata lain. Dunia yang Nagato kenal adalah tempat yang kejam. Semua orang yang dia sayangi telah direnggut. Perlahan hanya menyisakan luka yang tak berujung dalam dasar hatinya.
“Aku tidak ingin mati...” Lehernya perlahan mengering. Nagato telah berjalan tanpa henti menuju Pulau Ryushima, tempat yang dijanjikan oleh Hound untuk kembali bertemu.
“Aku tidak bisa mati, demi Hound-San, aku tidak boleh mati disini...”
Hanya itu yang bisa Nagato pikirkan saat terus menyeret kakinya ke depan. Suara langkah kakinya yang menyatu dengan tebalnya salju, terdengar jelas di telinganya.
Mata Nagato mulai sayu. Berpikir seberapa jauh pelabuhan yang ada di ujung Kerajaan Sihir Azbec membuat Nagato menggigit bibir bawahnya dan menangis.
Kesendirian. Tidak ada yang lebih menyakitkan dari kesendirian dan kesepian. Bahkan malam ini tidak ada bintang yang nampak sedikitpun di langit malam. Nagato berharap dia bisa memutar kembali waktu dan membawa Hisui, Litha beserta Iris untuk pergi meninggalkan Benua Ezzo. Dia ingin menyelamatkan orang yang berharga dalam hidupnya.
Namun jika dia berhenti melangkah dan menjadi orang yang tidak bisa menatap masa depan. Itu akan menjadi penghinaan untuk Hound, orang yang telah mengorbankan nyawanya demi dirinya.
Bebas. Saat ini Nagato tidak akan bebas selama wajah lusinan bahkan ratusan orang tidak menerima keberadaannya. Ingatan kelam itu membuat Nagato memejamkan matanya dan menggigit bibir bawahnya hingga berdarah.
“Aku tidak boleh mati, aku tidak bisa mati...” Nagato terus mengulang perkataannya dengan suara yang menggigil. Tubuhnya gemetaran. Jaket hitam besar milik Hound yang dikenakannya menghangatkan tubuhnya di tengah badai salju yang membuatnya terhempas.
Saat ini Nagato melepas kancing jaket hitam tersebut. Dingin yang menyeruak mengenai pakaiannya membuat Nagato memilki bukti kuat. Bukti kuat jika dirinya masih hidup dengan merasakan sakit. Rasa sakit dari fisik dan mentalnya membuat Nagato merasa hidup.
Salju yang tebal menutupi tanah. Langit malam begitu gelap. Salju-salju turun membuat rambut dan tubuh Nagato menggigil hebat.
Secara perlahan tapi pasti. Tubuh Nagato mulai melemah. Wajar saja. Dia sudah dua hari dua malam tidak makan, tidak minum. Penyakit jantung bisa membuatnya mati kapan saja. Namun tekadnya begitu besar. Berkat perkataan dan harapan Hound yang dia pikul dipundaknya. Nagato berusaha menggapai kesadarannya. Menyeret kakinya ke depan, melewati batasnya demi untuk bertahan hidup.
Namun apa daya. Tubuhnya mati rasa. Dari kaki merambat hingga ke kepalanya. Perlahan Nagato melepaskan aura tubuhnya dan memanipulasinya menjadi api.
“Aku lemah...” Aura tubuhnya tidak begitu besar. Kini dia begitu lemah. Tubuhnya sangat lemah. Tubuhnya terasa begitu berat. Pikiran Nagato melayang-layang tidak bisa diam.
“Tidak!” Nagato menjerit dan mencubit tangannya hingga berdarah. Lagi-lagi kesadarannya hampir pulih sepenuhnya, namun pikirannya menari-nari tidak bisa diam di dalam kepalanya.
Ingatan masa lalu yang kelam terngiang kembali di dalam memori ingatan yang ingin dia lupakan, “Sial! Pergi!” Nagato menjerit dan memukul udara. Tubuhnya ambruk ke tanah karena kehilangan keseimbangannya.
Setelah berjalan dua hari dua malam tanpa henti. Nagato berdiri di jalan buntu. Jalan tersebut terlihat seperti terobosan menuju sebuah kota. Namun terobosan itu memiliki kayu panjang yang menjadi halangan dengan turunan yang cukup curam.
‘Aku tidak boleh mati disini! Sama seperti Hound-San yang membawaku kemana-mana, dengan sekecil apapun harapannya. Aku harus tetap hidup dan menyembuhkan penyakit jantungku!’ Nagato memegang bajunya. Tangannya menyentuh gundukan yang tak lain adalah Kucing Manis, Chibi, hewan peliharaan milik Litha.
“Chibi, jangan mati. Kau harus tetap hidup.” Nagato mengingat Chibi meminum Air Suci Kehidupan. Setelahnya Chibi pingsan selama dua hari dua malam dan belum terbangun.
Nagato berjalan menuruni turunan yang curam itu. Dengan perlahan langkah kakinya yang lemah menapaki tanah yang bersalju penuh kehati-hatian. Walau sudah berjalan secara perlahan dan hati-hati. Nagato terjatuh dan tubuhnya menggelinding ke bawah.
Tangannya memeluk Chibi. Matanya memejam mencoba merasakan rasa sakit dari sekujur tubuhnya. Setelah sampai di bawah. Nagato menabrak pohon yang besar dengan daun yang runcing.
“Aku tidak boleh mati disini...” Mata Nagato berusaha mendapatkan kesadarannya namun perlahan sayu dan memejam.
Rasa sakit dan lapar membuat tubuh Nagato pingsan. Wajahnya pucat. Tubuhnya menggigil. Badan dan pikirannya berjalan tidak searah.
Nagato terus berpikir untuk melanjutkan perjalanannya menuju Pulau Ryushima. Namun pikirannya tidak dapat menguasai badannya yang lemah.
Walau enggan. Nagato tidak bisa memaksakan ketika merasa detak jantungnya begitu menyakitkan.
Di bawah malam yang gelap. Nagato terbaring di atas tanah yang dipenuhi salju. Pohon besar dengan dedaunan yang runcing menjadi tempat dia berteduh. Di atas perutnya terdapat Chibi yang telah pingsan selama dua hari dua malam.
___
Pagi hari. Tepat tiga hari semenjak kematian Hound. Saat ini Nagato dengan tubuh yang lemas berusaha berdiri.
“Aku dimana?” Matanya menatap awan yang tak lagi berwarna untuknya. Salju-salju menutupi wajahnya dan tidak ada lagi kehangatan yang mendekap tubuhnya.
Nagato berdiri dengan susah payah. Dia terkejut melihat tubuh Chibi dibalut salju yang tebal hingga terlihat seperti membeku.
“Chibi, bertahanlah...” Jika Chibi mati. Maka Nagato akan sendirian. Itulah hal yang paling dia takutkan. Yaitu kehilangan.
“Rumah?” Tidak salah lagi kedua bola mata Nagato yang lemah dan perlahan mulai sayu itu melihat bayangan rumah.
“Aku bisa kesana...” Nagato tersenyum sesaat. Namun setelah mengingat tatapan sinis ratusan orang. Nagato menghentikan langkahnya.
“Hound-San, apa mereka akan menganggapku sebagai monster seperti waktu itu?” Nagato menggumam sendiri dan meneteskan air mata.
“Aku tidak boleh pesimis. Semoga penduduk kota ini dapat menerimaku...” Kata-kata itu dia ucapkan untuk menyemangati dirinya sendiri.
Nagato kembali berjalan secara perlahan mendekati ratusan rumah yang mulai dekat ketika matanya memandang.
Dalam benaknya. Nagato berharap dia bisa meminum teh hangat dan memakan sup hangat. Tapi apakah ada orang sebaik itu yang akan memberikan makanan dan minuman kepada dirinya. Lagi-lagi Nagato ingin menghentikan langkah kakinya.
“Aku tidak boleh pesimis...” Kedua kaki Nagato terus melangkah dan sampai di kota yang bersalju. Namun kota itu tidak nampak seperti kota pelabuhan, tempat yang dijanjikan oleh Hound ketika hendak membawa Nagato ke Pulau Ryushima dan meninggalkan Benua Ezzo untuk menyembuhkan penyakitnya.
Ratusan rumah bata terlihat jelas. Tidak ada penjaga gerbang kota. Banyak orang yang masuk ke dalam kota, dan tidak ada satupun orang yang keluar kota. Sebuah tanda dari kayu tertulis, “Kota Sugar” dalam huruf besar. Kota yang berada di ujung Kerajaan Sihir Azbec yaitu Kota Sugar.
Nagato memasuki kota itu dengan langkah kaki yang gemetaran. Banyak penduduk yang berjalan. Rumah dan penginapan terbuka lebar pintunya. Nagato berharap ada orang yang cukup baik hati memberinya makan.
Harapannya tidak dikabulkan. Salah satu pria paruh baya melihat Nagato dan ketakutan. Ternyata selebaran poster buronan tentang dirinya telah sampai di Kerajaan Sihir Azbec, tepatnya Kota Sugar.
Nagato menggigit bibir bawahnya dan berlari sekuat tenaga menjauh dari kota. Kesedihannya tidak dapat terbendung lagi. Inilah yang terjadi saat dirinya memasuki kota dan permukiman penduduk selain Kekaisaran Kai.
“Bunuh anak itu!”
“Pergi dari sini, Monster Kematian!”
“Kejar Pembawa Kematian itu dan bunuh dia!”
Nagato ingin menutup telinganya. Namun kedua tangannya memegang Chibi. Kedua kakinya terus berlari. Kali ini Nagato tidak ingin menanjak melawati tempat yang sudah dia lalui.
Ratusan penduduk masih mengejarnya. Beberapa ada yang membawa obor, beberapa ada yang membawa senjata tajam dan beberapa lainnya membawa tombak yang digunakan untuk berburu.
Nasib yang kurang beruntung menghampiri Nagato. Di depannya hanya ada tebing. Perlahan Nagato melihat di bawah ada sungai yang besar, “Sepertinya sungai itu dalam. Aku harus tetap hidup dan tidak boleh mati di tangan mereka!” Itu yang dipikirkan Nagato.
Ketika ratusan penduduk Kota Sugar datang. Nagato menghempaskan tubuhnya ke depan dan melompat ke sungai. Sebisa mungkin Nagato mencoba membungkus tubuhnya dengan aura untuk mengurangi luka.
“Terlalu lemah!” Nagato tidak dapat membungkus tubuhnya dengan aura yang besar. Bagian depan tubuhnya, terutama bagian perutnya tertancap batu yang cukup runcing. Sedangkan kedua tangan Nagato sempat melempar Tablet milik Hound dan Chibi ke pinggiran sungai.
“Chibi!” Nagato berusaha melawan arus. Tetapi tubuhnya terlalu lemah. Tiga hari dia tidak makan, ditambah penyakit jantung yang membuatnya berkali-kali merasakan putus asa. Tubuhnya tenggelam ke dalam sungai. Mata Nagato terbelalak melihat air sungai bercampur dengan darah. Itu adalah darahnya. Nagato bisa merasakan batu runcing masih menancap di perutnya.
“Apa aku akan mati disini?” Arus sungai menyeret tubuh Nagato. Matanya memejam dan membiarkan nasibnya mengalir seperti derasnya air yang menelan dan menyeret tubuhnya.
“Dimana aku?”
Itu adalah kata-kata pertama yang keluar dari dalam hati Nagato. Saat terbangun dia berada di sebuah tempat tidur dengan kursi dan meja disekelilingnya.
“Akhirnya kau bangun.”
Seorang lelaki tua datang menghampiri Nagato dengan tubuh yang dipenuhi dedaunan serta pakaian yang telah lusuh. Lelaki tua itu tampak berumur tujuh puluhan tahun dengan rambut yang memutih sepenuhnya dan kondisi tubuh yang memprihatinkan.
“Aku pernah menyelamatkanmu sekali sembilan tahun lalu. Apa kau ingat dengan Hutan Kematian?” Lelaki tua itu bertanya, menghampiri Nagato yang menatapnya penuh curiga.
‘Siapa kakek tua ini?’ Nagato mengubah posisinya dan segera berdiri, tetapi tubuhnya ambruk ke lantai. Dia melihat perutnya dibalut kain putih. Rasa nyeri dari lukanya membuatnya meringis kesakitan.
Nagato mengingat apa yang terjadi padanya, sehingga dia langsung mencari keberadaan Chibi.
“Chibi!” Teriakan Nagato membuat lelaki tua itu menutup matanya, sementara akar yang merambat di lantai perlahan melilit tubuh Nagato.
“Beristirahatlah. Hutan Kematian adalah tempat yang kubuat dengan kekuatanku, aku sudah lama menanti kedatanganmu, cucuku...” Lelaki tua itu duduk di kursi yang dekat dengan ranjang. Tempat Nagato berbaring.
Nagato menatapnya penuh keheranan ketika tubuhnya di angkat akar-akar yang melilitnya dan membaringkannya kembali ke atas ranjang yang agak kasar.
“Kau telah pingsan selama dua minggu. Aku menemukanmu di sungai. Jika kau mencari Kucing Manis, dia sedang makan ikan mentah di luar.” Lelaki tua menjelaskan, perkataannya membuat Nagato tenang.
“Aku harus ke Pulau Ryushima...” Nagato mencoba berdiri, tetapi tubuhnya masih lemah. Bahkan rasa sakit membuatnya terbaring tak berdaya.
‘Aku belum sepenuhnya pulih. Mungkin auraku telah lumpuh, tetapi tubuhku masih mengingat latihan keras yang kujalani selama beberapa tahun terakhir.’ Nagato memaksakan tubuhnya dan hendak mengunci leher lelaki tua itu. Tetapi tubuhnya melayang di udara ketika akar-akar melilitnya.
“Aku mungkin sudah tua, tetapi aku bisa memprediksi tindakanmu. Aku tahu kau hendak pergi ke Pulau Ryushima demi menepati janji pada seseorang.” Lelaki tua itu memejamkan matanya dan tersenyum tipis.
Sementara Nagato tersentak kaget sebelum tubuhnya kembali terbaring di atas ranjang, “Kenapa kau bisa mengetahui rencanaku, kakek tua?” Dengan sinis, Nagato menatap lelaki tua itu penuh curiga.
“Tenkai. Kau tahu, peningkatan aura. Tenkai adalah salah satunya. Aku mengetahui tindakanmu hanya dengan melihat gerak-gerikmu, lagipula kau yang mengatakan sendiri jika harus bergegas ke Pulau Ryushima.” Lelaki tua itu menjelaskan pada Nagato.
‘Begitu ya. Dia mengetahui Tenkai. Dan Hutan Kematian, bukankah...’ Nagato berpikir keras mengingat masa lalunya saat dirinya lari dari kejaran pembunuh suruhan Black Madia dan Kazan.
Hutan Kematian menyelamatkannya ketika Azai, Kuina dan Serlin masih berada disisinya untuk melindunginya. Mengingat itu, Nagato tersenyum kecut karena masa lalu tidak dapat diputar kembali.
“Makanlah ini. Aku membuat sup hangat.” Lelaki tua itu menyodorkan sendok berisi sup hangat pada Nagato.
‘Apa dia telah menaruh racun dalam makanan ini?’ Nagato menelan ludah, tetapi dia menahan agar tidak sembarangan memakan sup hangat yang ditawarkan oleh lelaki tua itu. Bagaimanapun orang yang ada dihadapannya sangat mencurigakan.
“Kau pasti berpikir jika aku meracuni sesuatu ke dalam sup hangat ini, bukan?” Lelaki tua itu tersenyum tipis.
Nagato menatap tajam lelaki tua itu dan mendecakkan lidahnya, “Kau pikir dirimu penyihir?!” Mendengar itu, Lelaki tua hanya tertawa pelan.
“Ibumu adalah seorang penyihir. Kemampuan meramal lewat sihir impian miliknya dapat menembus masa depan walau sekedar ilusi. Jangan keras kepala, dan makanlah ini.” Lelaki tua itu menarik napas dan memperkenalkan dirinya, “Namaku Kagutsuchi Sura. Aku adalah kakekmu. Aku mempunyai seorang adik yang bernama Kagutsuchi Shima. Bisa dibilang dia adalah nenekmu dan ayah dari Pandu.”
Nagato menahan napas ketika mendengar pengakuan lelaki tua itu. Matanya menatap tubuh lelaki tua itu dengan seksama. Tidak ada aura yang berbahaya, tetapi tidak ada salahnya untuk memastikan.
“Lalu kenapa kau masih hidup?” Nagato bertanya dengan sinisnya kepada Sura.
“Aku bisa mati kapan saja. Tetapi aku harus mewariskan ilmuku padamu. Kagutsuchi masih belum berakhir.” Sura kembali menyodorkan sendok berisi sup hangat pada Nagato.
Kali ini Nagato membuka mulutnya dan memakan sup hangat. Bawang yang digoreng dengan matang, serta sayuran yang ada didalamnya membuat Nagato meneteskan air mata ketika menelannya.
Selama beberapa hari terakhir dia tidak makan. Pengalaman pahit yang telah dilalui, membuat Nagato tidak menyisakan sedikitpun sup hangat buatan Sura.
“Sangat enak. Apakah kau yang membuatnya?” Nagato berbicara seolah-olah dia akrab dengan Sura.
“Kau sangat berbeda dengan Pandu. Dia sopan, baik hati dan menghormati...”
“Tetapi ayahku tidak dapat melindungi ibuku. Dia membuatku menderita seperti ini. Asal kau tahu, aku berbeda dengannya. Aku begini bukan berarti aku membencinya. Aku hanya membenci dunia. Dunia yang membuatku jadi seperti ini.” Nagato memotong perkataan Sura dan memalingkan wajahnya.
Sura mengetahui cucunya telah melewati masa sulit. Tatapan mata Nagato adalah tatapan orang yang pernah putus asa, merasakan kekejaman dunia. Sura tidak dapat memaksa Nagato agar seperti Pandu. Lagipula melihat kepribadian Nagato membuatnya lebih yakin jika cucunya dapat melampaui Pandu bahkan dirinya.
“Cepatlah sembuh dan aku akan melatihmu. Aku akan mengajari semua yang ada di Catatan Kuno Klan Kagutsuchi. Teknik pedang dan pernapasan yang pernah dipelajari Kagutsuchi Ashura.” Sura menjelaskan secara singkat pada Nagato tentang masa lalunya.
Saat malam berdarah yang menghanguskan Klan Kagutsuchi dan membinasakan semua orang yang ada didalamnya adalah perbuatan Ignist. Tetapi di malam itu, ada beberapa orang selain Ignist, Black Rhino, Karakurt, Vendom dan Raido.
Sura memang berhasil melukai Ignist yang berada dalam wujud Naga Merah, tetapi luka yang dialami Sura permanen. Beruntung saat itu Ophys bersama Yin Lingling dan Melody datang menghentikan pembantaian.
Motif kelompok Ophys datang ke Benua Ezzo hanya untuk menemui rekannya yang menjadi pemimpin dari Surat Kabar Burung Gagak. Saat itu Tosa memohon pada Ophys untuk menyelamatkan Sura.
Ophys menyelamatkan Sura tetapi dengan satu syarat. Cucu dari Sura harus menikah dengannya ketika dewasa. Sura berjanji akan memberitahu cucunya tentang hal ini. Dan sekarang dia telah menceritakan masa lalunya dan memberitahu permintaan Ophys kepada Nagato.
Nagato menghela napas panjang setelah mengetahui cerita masa lalu Sura. Dia sendiri tidak dapat membayangkan masa depannya, dia hanya bisa berusaha agar tidak ada penyesalan. Kehidupan yang diberikan Hound saat mengorbankan nyawanya membuat Nagato sadar. Ini adalah awal untuk membuktikan perjuangannya dan menghormati keinginan Hound.
“Baiklah, aku akan menikah dengan Ophys.” Nagato dengan santainya menjawab.
“Setelah sembuh. Aku akan melatihmu.” Sura berdiri setelah berkata demikian. Tak lama seekor kucing betina berwarna putih datang dari arah pintu dan melompat ke ranjang.
“Nagato!”
Sontak Sura menoleh ke belakang, sementara Nagato memegang tubuh Chibi dan terkejut mendengar Kucing Manis peliharaan Litha dapat berbicara.
“Meong-Meong.” Chibi menjilat pipi Nagato.
“Chibi, kau dapat berbicara?” Nagato tersenyum dan meneteskan air matanya. Dengan ini pengorbanan Hound tidak sia-sia. Walau penyakitnya belum disembuhkan, Nagato akan mencari cara agar lepas dari kutukan yang menggerogoti tubuhnya.
Sebulan telah berlalu semenjak Nagato dirawat Sura. Saat ini Nagato sedang mendengar penjelasan Sura tentang cara mengontrol dan memanfaatkan aura sebaik mungkin.
“Kau sudah mempelajari tentang bela diri dan aura dari Hyogoro. Kau sudah mahir, Nagato. Dua tahun ini, aku akan mengajarimu cara menggunakan ilmu milik Klan Kagutsuchi dan mengendalikan Kutukan Kuno Dewa Kematian.”
Sura menjelaskan sedikit tentang Tenkai kepada Nagato. Di Benua Ezzo banyak pendekar pedang maupun orang yang dapat menggunakan Tenkai, tetapi tidak dapat mengembangkan potensinya dengan sempurna.
Tenkai adalah kekuatan aura untuk memperluas jangkauan aura disekitar tubuh dan juga bisa digunakan untuk memperkuat pertahanan tubuh dengan dilapisi aura. Jika seseorang menggunakan aura pertahanan sambil mengunakan Tenkai disaat yang bersamaan maka aura yang membungkus melindungi tubuhnya akan menghasilkan aura yang kuat berkali - kali lipat dari aura yang biasanya.
“Bagaimana jika aku bertarung melawan orang pengguna Air Suci yang mampu menggunakan Tenkai. Apakah aku bisa menang?” Nagato mengingat saat-saat dirinya tidak dapat memotong bagian tubuh Raido. Yang dia khawatirkan, Magma juga telah membangkitkan kekuatan Air Suci. Sehingga Nagato mencoba bertanya kepada Sura.
“Itu berlaku jika orang yang lebih kuat darimu, memiliki pemahaman aura lebih rendah darimu. Namun jika kau mempelajari seluruh tingkat pengembangan aura, itu akan membuatmu lebih banyak memiliki variasi serangan aura. Jangan terpaku pada satu pelatihan aura saja, pelajari semuanya.”
Selepas Sura berkata demikian. Hutan Kematian terasa begitu tenang, Nagato dan Sura saling menatap satu sama lain. Nagato tertarik ketika Sura menyuruhnya mengendalikan Kutukan Kuno Dewa Kematian.
“Air Terjun Hati memiliki energi kehidupan yang besar, sama seperti Gua Hati yang ada di Hutan Cakrawyuha.” Sura menatap Nagato yang memejamkan mata.
Terlintas di benak Nagato saat-saat dirinya berlatih bersama Litha. Gua Hati adalah tempat dimana dirinya bersama Litha melakukan meditasi selama empat belas hari. Masa-masa itu membekas di hati Nagato.
“Aku mengingatnya. Bagaimana aku menyembuhkan auraku yang lumpuh?” Nagato bertanya sambil menatap air jernih yang mengalir.
“Lepas bajumu. Aku akan memberikan rangsangan pada titik-titik penghubung dalam tubuhmu yang telah lumpuh.” Sura menaruh telapak tangannya di punggung Nagato. Ketika telapak tangannya berwarna emas, Nagato berteriak karena terkejut merasakan sakit yang membuatnya tersentak sesaat.
“Nagato, umuruku ini tidak akan bertahan lama. Apa kau memiliki tujuan hidup? Aku hanya berharap kau memiliki tujuan hidup yang mulia.” Sura berkata sambil terus memberi rangsangan pada aura Nagato yang telah lumpuh. Perlahan aura berwarna putih dan emas yang lumpuh mulai terbuka.
Nagato merasakan tubuhnya dibungkus oleh sesuatu yang tak kasat mata. Segera dia memfokuskan aura pada kedua bola matanya dan melihat jelas jika auranya telah kembali seperti sedia kala.
“Aku akan pergi dari benua ini setelah membunuh orang-orang di Azbec itu!” Perkataan Nagato mengacu pada Organisasi Disaster dan Black Madia.
Sura hanya tersenyum sebelum menyuruh Nagato duduk bersila. Kali ini dia akan menurunkan semua ilmu yang dimilikinya pada Nagato.
“Pernapasan seperti Sirih dan Cakra. Kau telah menguasai Pernapasan Sirih, tetapi kau belum mengetahui tentang Pernapasan Cakra.” Sura menjelaskan pada Nagato jika untuk menguasai Pernapasan Cakra harus mempunyai keinginan serta jiwa yang kuat.
Secara singkat, saat berlatih Pernapasan Cakra, Nagato harus memusatkan jiwanya pada satu titik untuk meningkatkan tujuan. Sama halnya seperti Satsuma, Takatsugu, Chosu dan Sura yang bertahan hidup dari racun gas belerang dan luka dalam berkat Pernapasan Cakra dengan keinginan bertahan hidup. Mereka memusatkan jiwa mereka untuk bertahan hidup demi ambisi masing-masing.
Nagato mengerti garis besarnya dan memulai latihan dasar-dasarnya dari mengolah pernapasan halus secara bertahap.
Nagato mengolah pernapasan sambil menenangkan dirinya. Menghirup udara murni dari Hutan Kematian yang tidak tercemar dan menyalurkannya ke seluruh bagian tubuhnya.
Tidak butuh waktu lama bagi Nagato untuk menguasai Pernapasan Cakra. Setelah berlatih di bawah guyuran air terjun dengan melakukan kuda-kuda tengah sambil mengolah pernapasan. Nagato dapat menguasai Pernapasan Cakra sedikit demi sedikit.
Sura merasakan Nagato memiliki ambisi yang besar. Tentu saja dia juga mengetahui jika Nagato mempunyai penyakit jantung dan kutukan dari Dewa Kematian. Jika sudah saatnya, Sura berniat memberitahu cara untuk menyembuhkan penyakit Nagato.
Nagato mencoba mengolah pernapasan sambil melepaskan aura tubuhnya. Dia memanipulasi api secara bertahap karena sudah lama dirinya tidak merasakan kehangatan api yang membungkus tubuhnya.
Setiap manusia memiliki unsur bawaan sejak lahir seperti api, air, tanah, petir dan angin. Tetapi beberapa orang terlahir dengan kekuatan fisik yang kuat dan dapat membuat tubuh sekeras baja dan berlian. Nagato menyadari jika dirinya harus tumbuh lebih kuat. Tetapi obsesinya untuk menjadi kuat, mengingatkannya pada masa lalu.
“Nagato, sepertinya kau lebih cepat menguasai Pernapasan Cakra dari yang kukira.” Sura menatap Nagato yang sedang termenung ketika duduk bersila di bawah guyuran air terjun.
Sudah enam bulan berlalu, dan Nagato merasakan tubuhnya dapat menahan penyakit jantung dan Kutukan Kuno Dewa Kematian. Berkat dirinya yang memusatkan jiwanya pada satu titik yakni keinginan untuk mencari jawaban dari arti hidupnya. Nagato merasakan perbedaan dalam tubuhnya.
Sura menghampiri Nagato dan melempar ranting pada cucunya. Kemudian dia mengajak Nagato untuk melakukan latih tanding. Ilmu berpedang Nagato tidaklah buruk, bahkan Nagato sangat mahir sebagai seorang pendekar pedang.
Ketika Nagato dan Sura mulai bertukar serangan, Sura bisa melihat jika Nagato memiliki kemampuan berpedang lebih dari yang dia perkirakan.
“Aku akan menurunkan dua ilmu pedang padamua. Aliran Harimau dan Aliran Naga adalah dua ilmu pedang yang tercatat di Catatan Kuno. Pastikan kau mempelajarinya dan menguasainya. Jangan biarkan api padam di generasimu, Nagato.” Sura memberikan Catatan Kuno pada Nagato dan mulai memperagakan pola langkah Aliran Harimau secara bertahap.
Nagato melihat dengan seksama dan memperhatikan gerakan demi gerakan yang diperagakan Sura dengan baik. Tak lama Sura berhenti bergerak dan mengatur napasnya.
“Aku sudah tua. Sudah kuduga, ini terlalu berat bagi orang yang telah menua. Aku bisa mati kapan saja, tetapi aku ingin melihatmu memiliki seorang teman, Nagato.” Sura berkata sambil mengolah pernapasan untuk mengatur aliran napasnya yang tidak beraturan.
Nagato tersenyum tipis mendengar perkataan Sura. Tak lama dia mulai melatih pola langkah Aliran Harimau. Semua gerakan yang diperagakan Sura tidak terlalu sulit, tetapi ada perasaan hangat di dalam diri Nagato ketika melihat Sura mengajarinya.
Nagato sekilas dia mengingat Kakek Hyogoro. Lagi-lagi dia mengepalkan kedua tangannya karena dirinya terjebak dalam masa lalu yang memilukan.
Tak lama Sura memperagakan Aliran Naga kepada Nagato. Gerakan kali ini sulit dan membutuhkan banyak tenaga. Nagato bisa melihat kemampuan Sura sangat menakjubkan. Pantas saja banyak tokoh di Kekaisaran Kai yang menghormatinya bahkan memanggil Sura dengan sebutan Guru Besar.
Dalam waktu enam bulan ini, Nagato mempelajari setiap gerakan Aliran Harimau dan Aliran Naga. Ketika umurnya menginjak lima belas tahun, Sura memperlihatkan sebuah pedang pada Nagato.
“Pedang ini adalah Pedang Kusanagi.” Sura menjelaskan singkat jika pedang yang dia genggam telah menemani perjalanannya semasa muda.
Nagato mengingat saat Kaisar Orochi yang berada dalam wujud Arwah Suci Jenis Mythical : Yamata No Orochi pernah mengatakan tentang Pedang Kusanagi.
“Aku akan berikan pedang ini padamu, Nagato. Tetapi dengan satu syarat, kau harus dapat mengendalikan Kutukan Kuno Dewa Kematian agar penyakitmu tidak memburuk.” Sura berkata sambil menatap langit. Terlihat wajahnya sedang memikirkan masa lalu.
“Seorang yang bernama Kagutsuchi Mugen adalah kakak kandungku. Dia pergi ke luar Benua Ezzo dan membuat malapetaka di luar sana. Dia adalah orang yang terkena Kutukan Kuno Dewa Kematian sebelum dirimu, Nagato. Jadi aku hanya berharap kau tidak akan berakhir sama sepertinya.” Sura menjelaskan sesuatu tentang Kagutsuchi Mugen pada Nagato.
“Tenang saja, aku tidak akan membiarkan makhluk sialan itu mengambil alih tubuhku!” Nagato langsung melangkah kakinya menuju Air Terjun Hati untuk bermeditasi.
Sura tersenyum melihat kepercayaan diri Nagato. Tetapi dia khawatir dengan kondisi Nagato yang tidak pernah tidur lebih dari empat jam. Bahkan ketika tertidur, Nagato selalu berteriak memanggil nama Litha sebelum mengamuk, menghancurkan pepohonan yang ada di Hutan Kematian. Memang ironis melihat masa kecil dan pertumbuhan Nagato, tetapi Sura hanya bisa berharap yang terbaik untuk cucunya.
Nagato duduk di atas batu putih yang rata. Dia melakukan konsentrasi secara penuh, menghilangkan segala pikiran duniawi yang ada di dalam kepalanya. Kemudian dia memusatkan perhatiannya pada satu titik yakni melakukan konsentrasi secara penuh sambil mengolah pernapasan agar aliran napasnya tetap terjaga.
Perlahan-lahan Nagato tidak mendengar suara serangga ataupun hewan yang ada di Hutan Kematian. Kesadarannya perlahan mulai berada di alam bawah sadarnya. Nagato melihat kegelapan yang tak berujung. Terdengar suara rantai ditelinganya.
Sebuah gerbang berwarna hitam dengan rantai yang besar terbuka secara perlahan sebelum Nagato melihat bayangan wujud mengerikan.
Sesosok makhluk dengan wajah layaknya iblis, memiliki rambut putih yang panjang dengan dua tanduk berwarna putih. Ketika mulutnya membuka, terlihat giginya bergerigi serta lidah yang panjang seperti ular. Makhluk mengerikan itu memegang pedang yang berbentuk bulan sabit besar dan panjang. Disekeliling tubuhnya terdapat aura hitam pekat yang menyebar.
“Lama tidak berjumpa. Ternyata kau masih bertahan hidup setelah kejadian itu.” Suara Roh Dewa Kematian menyapa Nagato sebelum keduanya saling berpandangan menatap tajam satu sama lain.
Nagato menatap Shinigami yang tampak berbeda dari terakhir kali bertemu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!