Happy Reading
***
Emilya POV
"Aku pergi ke rumah sakit, Em.. Tidak perlu menyusulku. Jaga saja rumah dan Will.."
Itu pesan suara yang kudapat dari Hailey saat aku sudah sampai di depan rumah. Aku duduk di tangga teras, menjatuhkan kepalaku ke tangan, dan melihat rumah George yang masih ramai. Aku mendengar musik keras, teriakan, dan bayangan manusia-manusia menari-nari di halaman rumah George. Padahal, malam ini sangat dingin dan dari mana mereka punya uang untuk melakukan pesta setiap malam.
Aku menarik napas. Sia-sia rasanya aku memikirkan para manusia keparat sialan itu. Aku segera bangkit berdiri dan membuka pintu dengan kunci. Aku hendak pergi ke dapur dan memeriksa apakah ada makanan atau tidak, tapi mengurungkan niatku karena selera makanku sudah hilang karena mendengar berita soal Ibuku.
Aku hanya melangkahkan kaki di tangga kayu tua dan bunyi decitan mengerikan memenuhi rumah. Kupikir, rumah sialan kami layak sebagai tempat syuting film horror. Tangga berdecit, engsel pintu berdecit, loteng gelap, ruang bawah tanah, warna kusam, yang kurang hanya lokasinya. Andai kami tidak bertetangga dengan George, rumah kami sangat sempurna untuk syuting film horror. Aku membelok ke arah kamarku.
"Em.. Kaukah itu?" suara anak kecil yang manis terdengar, Will. William Teatons, anak Hailey.
Aku memutar tubuhku dan melihat dia mengintip dari balik pintu kamarnya. Aku tersenyum dan berjalan ke arahnya.
"Kau belum tidur?" aku berjongkok di depannya.
"Aku tidak bisa tidur karena aku takut.." Aku menelan ludah dengan susah payah saat melihat mata birunya yang polos. Dia hanya delapan tahun dan harus merasakan sulitnya hidup.
"Mau tidur bersamaku? Aku takut tidur sendirian..." ucap dengan nada lembut seraya mengusap rambut coklatnya.
"Yah..."
"Good boy...." aku bangkit berdiri dan memegang tangan kanannya untuk pergi ke arah kamarku.
Will segera duduk di tempat tidurku setelah lampu kunyalakan. Aku mengganti pakaianku dengan kaos putih polos dan celana katun. Aku mematikan lampu utama dan menyalakan lampu kecil di samping tempat tidur. Lalu, bergabung dengannya di tempat tidur. Will tidur di sampingku dan aku memeluknya dengan lembut.
"Aku tidak tau bahwa kau memiliki ketakutan, Em..." ucap Will
"Kau pikir aku tidak memiliki ketakutan?" aku mengelus lembut rambut coklatnya
"Yeah.. Aku tidak pernah melihatmu menangis seperti Mom..." aku berhenti sejenak dan tertegun dengan kata-katanya sebelum melanjutkannya kembali.
"Menangis bukan selalu berarti tanda kau ketakutan..."
"Mom ketakutan, Em... Aku tau itu..."
Aku menarik tanganku dari rambutnya. Dia selalu mengejutkanku dengan komentar-komentarnya yang ajaib. Suaranya tegas walau dengan nada kekanak-kanakan. Dia bisa membaca situasi apa pun dengan baik dan dengan keahliannya itu, dia tumbuh menjadi anak yang tidak manja dan tidak mau menuntut apa pun pada kami.
"Menangis adalah obat, Will. Dia bisa membuatmu lega.."
Will yang berbaring menghadap atas tiba-tiba memutar tubuhnya ke arahku. Dia menatapku dengan bola matanya yang jernih dan berkialauan di cahaya temaram.
"Apakah semua baik-baik saja, Em?"
"Yeah.. Kenapa kau bertanya seperti itu?"
"Aku tidak tau, hanya saja suasana rumah bertambah suram..."
Dia benar, "Menurutmu, apakah semua akan baik-baik saja..."
"Mom selalu menghiburku dengan berkata bahwa semua akan baik-baik saja selama kau ada, Em. Dan aku percaya itu. Semua akan baik-baik saja jika kau masih ada..."
"Dengan atau tanpa adanya aku, semua akan baik-baik saja..." aku mengecup keningnya, "Sekarang tidurlah, bocah kecil..."
"Good nite, Aunty Em..."
"Good nite...."
****
Paginya, aku menyiapkan diri dan Will yang akan pergi ke sekolah. Aku memasukkan makanan ke bekal Will seraya menunggu dia selesai makan.
"Apakah kau akan ke rumah sakit nanti?" tanya dia
"Begitulah, kids..."
"Aku ingin ikut..."
Aku memakan potongan terakhir omeletku, "Boleh. Setelah kau pulang sekolah. Akan ku suruh ibumu menjemput.."
"Okay..." dia meminum susunya dan memasukkan bekalnya ke dalam tas.
Aku melirik ke luar dari jendela dapur dan melihat bus kuning sudah berhenti di depan rumah kami, "Okay.. Bus-mu sudah datang..."
Will turun dari kursinya dan menyadang tas yang kebesaran di punggungnya. Aku melangkah terlebih dahulu menuju beranda dan membuka pintu untuk dia.
"Bye, Aunty Em..."
"Bye..." aku mencium pucuk kepalanya dan dia segera berlari menuju bus kuning itu dan aku bersandar di kusen pintu, menatap dia.
Dia membalikkan tubuhnya sekali lagi untuk melambaikan tangannya padaku sebelum akhirnya masuk ke dalam bus. Aku mencari keberadaanya di balik pintu bus dan melihatnya, aku melambaikan tanganku padanya. Aku menunggu bus itu hingga pergi sebelum akhirnya aku masuk ke dalam rumah. Aku kembali ke dapur dan membereskan piring-piring yang kami pakai.
Setelah mencuci piring, aku mengambil kantong sampah dan berjalan ke halaman belakang rumah. Aku menuruni tiga buah anak tangga dan melihat Spencer, tetangga kami, di halaman rumahnya. Dia memakai piyama hitam, rambutnya digulung seadanya, dan sedang merokok. Rumah kami di batasi semacam pagar kawat setinggi satu meter.
"Morning, Spencer..." sapaku saat melemper kantong sampah itu ke dalam bak sampah.
Dia mengembus asap abu-abu keputihan ke udara, "Pagi, sayang...."
"Kau tampak murung..."
"Begitulah, sesuai dengan piyama hitamku."
"Apa kau kehilangan seseorang?" aku berjalan ke arahnya dan pemisahku dengannya hanya kawat.
"Aku kehilangan pacarku lagi..." ucapnya santai dan terus menghisap rokoknya. Aku tau jelas wanita macam apa dia.
Spencer berusia 38 tahun dan dia tampak tidak seperti 38 tahun, dia kelihat sangat muda. Dia cantik, tulang pipinya tinggi, kulit kecoklatan eksotis, tinggi, sexi, dan dia adalah wanita malam. Menjual diri untuk uang. Menggoda pria-pria kaya yang sudah beristri. Berangkat malam hari dan pulang di pagi hari. Aku tidak terkejut soal itu, kau bisa menemukan banyak wanita seperti dia di New York.
"Kau bisa mencari lagi..."
Dia menatap ke arahku dan menghebuskan kepulan asap di depan wajahnya. Aku bisa mencium bau rokok dan parfum Spencer yang bersatu.
"Aku suka yang satu ini. Dia tidak banyak menuntut dan lebih bermurah hati soal uang..."
Aku diam dan tidak tau harus mengatakan apa.
"Sepertinya ada masalah lagi di keluargamu.." ucapnya akhirnya.
"Begitulah..."
"Itulah kenapa aku tidak ingin berkeluarga. Menyusahkan..." dia benar.
"Aku akan pergi sekarang. Semoga harimu menyenangkan, Spencer..."
"Okay.." dia mengangkat rokoknya untukku saat aku berjalan pergi, "Em..." lalu dia memanggilku dan aku membalikkan badan.
"Yeah?"
"Jika kau butuh bantuan, aku bisa menolongmu..."
Aku tersenyum dan mengangguk, "Okay. Trims.." aku kembali ke dalam rumah dan memikirkan ucapan Spencer. Bantuan jenis apa yang dia berikan padaku?
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments
Dwi Sasi
Bantuan...
2023-10-25
0
ayang
sumpah novelnya bagus banget jadi berasa kaya emlya
2023-07-10
0
Nina Melati
semoga bantuannya bkn jadi wanita mlm.
2022-11-26
0