Emilya's Life (2)

"Penampilanmu mengerikan..." ucapku tidak percaya saat dia berdiri di depan besi sel.

"Bayar saja tebusanku pada si botak itu. Aku membusuk di tempat sialan ini..." dia menyisir rambutnya dengan jemarinya. Kepala kiri bagian bawahnya botak dan memamerkan telinga kirinya yang di tindik. Ada lima tindik di sana, berjejer di daun telinganya. Dia benar-benar merombak penampilannya dengan cepat.

Nada bicaranya selalu begitu. Tidak peduli, "Apa yang terjadi?"

Dia memutar mata, "Ayolah, Em... Hentikan basa-basinya dan bayar saja..."

Aku ingin marah dengan siakpanya dan nada bicaranya yang kurang ajar, tapi aku tidak bisa. Benar-benar tidak bisa. Ada semacam ikatan. Ikatan antara saudara kembar dan aku membenci itu karena membuatku tidak bisa

marah dan benci pada Julia.

Aku menghela napas dan menuju pria botok yang dia maksud. Dia menatapku, seolah sudah menungguku. Aku duduk di depan pria yang berumur sekitar 40 tahunan, badannya gendut, perut buncit, dan kumis. Penampilan khas

polisi New York saat ini. Bukannya berbadan tegap, langsing, dan berwajah sangar. Tidak lupa sekotak donat dan kopi super manis di mejanya.

"Kau saudarinya? Emilia Teatons?" Dia salah mengucap namaku. Seharusnya Emil-ya dan bukan Emilia.

 "Yah, dia saudara kembarku.." Dia melihatku dan tampaknya dia berusaha membandingkan wajahku dengan Julia.

 "Penampilan kalian berbeda," dia kembali fokus ke berkas-berkasnya, "Dia melanggar beberapa peraturan. Mengendarai mobil dalam keadaan mabuk dan merusak properti negara, lalu---"

"Properti negara?" potongku dan dia menatapku.

 Dia mengangguk, "Yah, properti negara..."

 "Apa itu?"

"Tong sampah..." Sial. Dia membicarakan properti negara seolah Julia merusak istana kepresidenan, pesawat tempur, dan tank. "Bisa kulanjutkan?" tanyanya kembali.

"Yeah..."

 "Dia mengendarai mobil yang sudah habis pajak, tidak memiliki SIM, dan melanggar peraturan rambu lalu lintas..." dia menutup berkas itu dan menatapku, "Jadi total pelanggarannya sebanyak lima dan dia dikenai hukum berlapis... Dia sudah di sini selama tiga hari, jadi hukumannya tinggal--"

 "Tiga hari?" potongku dengan nada tidak percaya.

Dia menunjukkan wajah kesal karena aku memotong ucaapannya lagi, "Yeah, tiga hari dan bisakah aku bicara tanpa dipotong..."

"Oh.. Sorry. Tidak akan terjadi lagi..."

Dia menghela napas, "Karena dia sudah berada di sini selama tiga hari, hukumannya tinggal uang denda dan uang tebusan. Lalu, dia harus melakukan kerja sosial setiap akhir pekan karena merusak properti

negara selama satu bulan.."

"Tong sampah.." koreksiku, kesal dengan nadanya.

"Yeah, tong sampah adalah properti negara, Nona..."

"Berapa dendanya?" aku merogoh saku jaketku, hendak mengambil dompet.

"$250"

AKu menghentikan tanganku dan menatap si botak itu,

 

"Apa?"

"$250, itu sudah termasuk $100 uang dendak dan $150 uang tebusan..."

Aku menarik napas dengan berat. $250?

"Kenapa sangat mahal?"

"Dia terkena undang berlapis, kau tau yang kukatakann tadi, bukan?"

"Yah.." bisikku dan mengambil uang terakhir di dompetku.

Totalnya pas $250 karena aku sengaja membawa itu untuk membayar uang listrik, uang pajak, uang air yang sudah menunggak satu minggu. Dengan berat aku memberi uang itu dan menandatangani sebuah surat, lalu dia

memberiku dua nota. Satu bahwa pembayaran sudah selesai dan satunya untuk kerja sosial Julia. Si botak itu bergerak menuju sel dan aku berdiri untuk mengikutinya. Dia membuka pintu sel dan Julia segera keluar dari sel.

"Terima kasih, tampan..." ucap Julia dengan nada nakal yang dibuat-buat. Aku menggigit bibirku dan berjalan keluar dari kantor polisi.

"Kau akan ke mana setelah ini?" tanyaku setelah kami keluar dari kantor polisi. Kami berjalan di trotoar yang sepi dengan Julia berada di depanku. Lalu Julia memutar tubuhnya, membuatku menghentikan langkahku.

"Aku butuh $50.." tangan kirinya idsodrkan untuku dan tangan kanannya di saku jaketnya. Apa dia gila?!

"Itu uang terakhirku..."

Dia memajukan bibirnya kesal, "Ayolah, Em... Jangan pelit pada saudaramu. Saudara kembarmu lebih tepatnya.. Cepat berikan. $30 pun jadi..."

"Kau gila, hah?!! Itu uang terakhirku, sialan...." aku tidak menutupi kemarahanku.

Dia mengangkat bahu dan memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, "$10. Hanya $10. Tidak mungkin kau tidak punya..."

Aku memejamkan mata, berusaha meredakan amarahku. Aku tidak akan marah, tidak di tempat seperti ini.

"Aku akan pergi sekarang...." aku memutar tubuhku hendak meninggalkannya, tapi dia segera meraba jaketku. Mencari-cari dompetku.

"Hanya $10..." ucapnya dengan nada memaksa

Aku mendorong tubuhnya, "Hentikan... Hentikan, Julia!!" Julia terdorong ke depan dengan dompetku di tangannya.

"Berikan!!" aku maju hendak mengambil dompet usangku, tapi Julia berhasil menghindar dan mulai membuka dompetku dengan tergesa-gesa.

"Sial.. Sepeser pun kau tidak punya?" ucap Julia dan segera melempar dompetku.

"Julia!!" teriakku kesal dan segera memungut dompetku. Ada rasa malu di dadaku saat dia mengatakan itu.

"Jangan panggil aku Julia, tapi Juls... Bye.." dan dia segera berlari meninggalkanku.

Aku ingin mengejarnya dan menamparnya, tapi aku ketinggalan jauh dari dia. Lagi pula, aku tidak yakin bisa menamparnya. Aku hanya bangkit dan memasukkan dompet kosongku yang usang. Saat aku berdiri, ponselku berdering dan aku melihat layarnya.

Sial. Tuan Finderkick! Ini bosku di tempat kerjaku. Aku melihat jam di ponsel dan sudah pukul enam lewat lima belas. Aku sudah terlambat 15 menit. Astaga, dia sisialan yang tidak mentoleransi keterlambatan. Aku segera mengangkatnya.

"Jika kau tidak datang 10 menit, jangan harap kau bekerja di sini!" dia berteriak keras dan segera menutup telponnya. Sial, situasi hatinya pasti sedang buruk. Sebenarnya, suasana hatinya selalu buruk dan melampiaskan kemarahnnya padaku.

Aku berlari dan mencari jalan tercepat ke sana. Tidak ada bus langsung menuju ke sana karena jaraknya tidak terlalu jauh dari sini. Aku menyembrang jalan dam hampir tertabrak. Dengan panik aku berteriak meminta maaf

dan berlari lagi. Aku kembali mengingat beberapa toko yang membawaku ke tempat kerjaku.

Toko sepatu

Bar.

Restoran Cina.

Dan aku mengingatnya satu persatu hinga aku sampai di Finderkick's Bar. Aku berjalan dari pintu khusus karyawan dan berharap tidak menemui si Finderkick pemarah. Aku masuk ke dapur dan melihat beberapa teman karyawanku sedang sibuk. Bar-nya selalu ramai jika malam datang.

"Emilya..." seru Melanie, satu-satunya yang menyebut namaku dengan benar, "Cepat ganti baju dan bantu kami...."

"Yah..." aku segera berganti baju dan membantu Melanie memasak di dapur. Sangat sibuk karena pesanan datang silih berganti. Melanie adalah kepala chef di sini, sejujurnya hanya aku dan dia pemasak di sini. Sisanya hanya melayani di luar dapur dan meracik alkohol.

"Kau beruntung datang saat Finderkick pergi..." ucap Melanie seraya membalik-balikkan makanannya.

"Yah, aku beruntung. Tampaknya, suasana hatinya sedang buruk.." aku memotong sayuran.

"Dia berkelahi lagi dengan isterinya..." dia menaruh sepiring pasta di meja lain, "Pesanan no 13!!" teriaknya seraya membunyikan bel putih. Lalu kami kembali sibuk, tidak ada kata istirahat karena pesanan terus datang. Padahal aku tidak yakin apakah makanan kami enak untuk di makan. Lalu, kami berhenti saat jam menunjukkan jam 11 malam, jam terakhirku untuk bekerja.

Terpopuler

Comments

Dwi Sasi

Dwi Sasi

Saudara gak ada akhlak

2023-10-25

1

ayang

ayang

suka sama tulisannya serasa aku yang jadi emlyanya

2023-07-10

0

Nina Melati

Nina Melati

Kenapa ini novel keren banget lo Thor, bahasa baguus. Sdh profesional ini ni namanya

2022-11-26

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!