Satu jam sebelum pernyataan cinta ditelepon.
Ardi baru saja pulang dari tugas lemburnya di kantor. Dia berjalan ke arah ruang keluarga di mana ibu dan ayahnya berada.
"Assalamualaikum, Bu, Yah," sapa Kak Ardi sembari berjalan menuju sofa kosong di samping ayah dan ibunya duduk yang sedang menyaksikan acara televisi.
"Wa'alaikum salam. Baru pulang kamu, Nak? Lembur lagi?" Ibu menoleh ke sumber suara seraya tersenyum menyambut kedatangan putranya.
"Iya, Bu. Lumayan bikin pundak pegal. Terlalu banyak yang diurus dan diketik " Kak Ardi menghempaskan diri di sofa dan membuka kancing lengan bajunya.
"Kalo kamu sudah punya istri kan enak, Di. Pulang kerja capek ada yang mijitin, ada yang ngelayanin," jawab Ayah dengan mata masih tertuju pada televisi.
"Iya, Nak. Kapan kamu akan mengenalkan calon istrimu ke Ibu? Sudah ada belum? Tadi sore Tante Suci telepon dan cerita katanya punya calon yang pas buat kamu. Dia anak dari sahabatnya gitu. Anaknya cantik, pintar dan juga calon dokter. Sekarang sih masih kuliah tapi bentar lagi lulus. Pengenalan dulu juga boleh. Gimana kamu mau gak?" Ibu membelai rambut anaknya.
"Gimana, Nak? Temui saja dulu anaknya. Kan sekitar dua minggu lagi kita pergi ke kota B, nanti Ibu suruh Tante Suci bawa gadis itu ke rumah Eyang ya. Biar kalian saling kenal. Gimana, Nak? Kamu setuju tidak dengan pendapat Ibu?" Ibu memandang putranya meminta persetujuan.
"Tidak ada salahnya, Di kamu mengenal gadis itu. Kalau nantinya setelah bertemu kamu merasa tidak cocok ya sudah berteman saja. Toh, tidak ada salahnya. Belum ada ikatan hanya baru perkenalan." Ayah menimpali
Ardi mengela nafas.
"Entahlah, Bu. Nanti aku coba pikirkan dulu ya."
"Atau jangan-jangan sebenarnya kamu sudah punya calon sendiri ya, Di?" Ayah mencoba menebak.
Deg ! Ardi kaget. Dia mencoba membetulkan posisi duduknya.
"Tuh kan, salah tingkah." Ayah tersenyum menggoda.
"Apa itu benar, Nak? Kamu sudah punya calon sendiri? Kok belum dibawa kesini buat dikenal in ke Ibu sama Ayah?" Ibu menyelidik.
“Iya, Bu," jawab Ardi datar.
"Siapa? Orang mana? Tinggalnya di mana?" Ibu bertanya-tanya.
"Ada, cewek, tinggalnya di Bumi. Tapi, gak tahu orang mana sedikasihnya aja sama yang Kuasa," jawab Ardi dengan menahan tawa.
"Ih! Kamu ya, orang ini Ibunya lagi nanya bener ke anaknya. Eh! dia malah bercanda." Ibu mencubit gemas lengan anaknya.
“Aduh! Sakit, Bu." Ardi mengaduh kesakitan sambil mengusap-usap lengannya.
"Makanya, kalo orang tua lagi tanya kamu jawab yang benar, dong,” jawab Ibu kesal.
"Ibu ... ibu ... kamu kayak gak kenal anakmu aja,” ucap Ayah santai. "Sudah jangan goda Ibumu lagi jawab saja pertanyaannya."
Ardi menatap kedua orang tuanya secara bergantian.
"Ayah, Ibu,” ucap Ardi sambil memegang kedua tangan ibunya. "Iya memang, aku sudah lama menaruh hati pada seorang gadis. Tapi, aku tidak tahu dia punya perasaan yang sama denganku atau tidak. Secara dulu kita pernah putus komunikasi dan baru akhir-akhir ini kita baru mengobrol lagi."
"Terus?" tanya Ibu penasaran.
"Terus, aku juga sudah mencoba mencari-cari informasi juga tentang dia sekarang ini. Sedang dekat dengan seseorangkah atau tidak. Dan ternyata ... dia sedang kosong. Belum punya kekasih." Ardi tersenyum.
"Lalu apa yang kamu tunggu, Nak? Kalau menurut kamu dia yang terbaik kenapa tidak?" Ibu meyakinkan Ardi.
"Aku hanya sedang memantapkan diri, Bu. Aku tidak mau mengambil keputusan dengan emosi hanya karena sering ditanya kapan nikah? Aku mau ini terjadi karena aku yakin memilih dia dengan segala tingkah laku baik dan buruknya. Sehingga aku tidak akan menyesal dikemudian hari," jawab Ardi mantap.
"Anak ibu sudah benar-benar dewasa sekarang, Yah." Ibu membelai rambut Ardi.
"Keturunan siapa dulu dong!” Ayah mengangkat kedua tangannya menirukan orang yang sedang menegakkan kerah bajunya.
"Dia juga anak ibu juga, Yah.” Ibu tidak mau mengalah.
"Sudah, ah! Aku mau ke kamar mau ganti baju dan tidur." Ardi berdiri dan mulai berjalan ke arah kamarnya di lantai dua.
Ardi memasuki kamarnya. Dia menaruh tas kerjanya di atas nakas samping tempat tidurnya. Dia duduk di tepi ranjang sambil membuka satu persatu kancing baju kemejanya dan juga jam tangannya. Ditaruhnya jam tangan di atas nakas dekat dengan tas kerjanya. Lalu dibawanya kemeja itu ke sudut kamar di mana keranjang cucian kotor berada.
Ardi masuk kamar mandi. Mencuci muka dan membasuh keringatnya. Diambilnya handuk yang tergantung di belakang pintu kamar mandi. Dia mengeringkan muka, tangan, dan beberapa bagian tubuh lainnya yang terkena cipratan air. Ardi keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada dan handuk yang melingkar di pinggangnya, karena kaos singletnya sedikit basah terkena air. Dia menuju ke arah lemari dan mencari kaos dan celana pendek untuk dikenakannya.
Ardi kembali duduk di tepi ranjangnya. Mengambil tas di atas nakas untuk mencari ponselnya. Setelah menemukannya dia langsung memeriksa ponselnya, apakah ada pesan atau panggilan penting yang terlewatkan ketika sedang lembur tadi ? Karena sepanjang lembur tadi ponsel dalam mode diam.
Ada panggilan tak terjawab dari Tante Suci sore tadi. "Mungkin ini yang ibu ceritakan tadi," gumam Ardi.
Ada beberapa pesan WhatsApp dari teman-teman satu kantornya, dia membaca dan menjawab seperlunya. Senyum Ardi mengembang ketika dia melihat salah satu nama di pesan WhatsApp yang belum terbuka. Dara Amelia. Dia membacanya dengan senyum yang masih mengembang.
"Iya, nanti aku temani ngobrolnya. Memang ada masalah serius apa sih kak?" Isi pesan WA dari Dara.
Seperti yang sudah diungkapkan kepada Ibunya kalau beberapa hari ini Ardi sedang mencoba memantapkan hati untuk mengungkapkan perasaannya kepada Dara. Seorang gadis yang dia kenal sekitar lima tahun lalu. Awalnya pertemanannya biasa saja hanya sekedar Pak Manajer dan karyawan stafnya. Tetapi, kemudian hubungan itu berubah menjadi lebih akrab ketika tidak sengaja kamar kos Dara menjadi tempat menginap sang gebetannya Pak Manajer, yaitu Ardi. Dari situlah mereka mulai bercerita satu sama lain. Dari mulai pekerjaan hingga ke percintaan.
Ardi merasa konyol ketika mengingat kejadian beberapa tahun lalu itu. Dia mengingat di mana dia pernah merasa bahagia sekaligus sedih ketika Dara keluar dari kantor mereka yang lama dan pindah ke kantor yang lebih dekat dengan rumahnya jadi tidak perlu mengekos lagi. Dia merasa bahagia karena Dara sekarang bisa lebih sering kumpul dengan orang tuanya, yang seperti Dara inginkan. Dan pastinya dia bahagia karena Dara meninggalkan pacarnya. Karena bagi Ardi cowok itu tidak baik untuk Dara. Hanya sering membuat Dara bersedih dan merasa terkekang.
Dan Ardi merasa sedih ketika Dara memutuskan pindah kantor karena dia merasa akan jauh dari Dara. Tidak akan bisa lagi dia untuk melihat senyum Dara yang menyejukkan baginya. Dan itu memang terjadi karena masing-masing dari mereka mengganti nomor ponselnya.
"Sepertinya ini sudah saatnya. Aku percaya hal yang baik pasti akan dimudahkan." Ardi bergumam dalam hati.
Lalu jempol tangan Ardi menekan nomor ponsel Dara.
Tut! Tut! Tut! Jaringan telepon tersambung.
"Halo. Assalamu'alaikum." Dara menjawab teleponnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
👑
boom like mendarat
2021-01-10
0
Jungkook wife
"Istri yang Terabaikan" Hadir.
Ditunggu Feedback nya yaa.
2021-01-04
0
Mei Shin Manalu
Aku juga udh kasih rate bintang 5 lho 🌟🌟🌟🌟🌟...
2020-12-25
0