Ivanka merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya terbuka lebar, menatap langit langit kamar luas yang telah ditempatinya beberapa hari ini. Kamar yang sesungguhnya terlalu luas untuk gadis yang kini merasa kesepian. Potret potret masa lalu terlintas begitu saja di benaknya. Siapa yang bisa dengan bodohnya melupakan peristiwa naas yang merenggut kebahagiaan, terlebih peristiwa itu terjadi di depan matanya sendiri. Jelas tidak semudah itu.
Makin mantap saja hari berdukanya, saat samar samar suara hujan mulai terdengar, semakin lama semakin lebat, dan kian merana. Sang Nona yang sudah terbiasa mendapat kasih sayang, kini diam terpuruk sendiri. Ia bangkit dan duduk, memeluk lututnya.
Duar ...
"Arkkhhhh"
Tiba tiba suara petir menggelegar. Ivanka berteriak ketakutan. Entah sejak kapan ia jadi begitu takut. Padahal dulu hujan adalah teman sejatinya. Aroma hujan yang menyejukkan, tetesan air dingin yang membasahi tubuhnya, suara gemericik yang memaksanya untuk menari. Dan kini semua hanyalah pemicu ketakutannya.
Duaarr!
Dan sekali lagi suara petir makin kencang. Ivanka berteriak lebih keras. Ia mulai ketakutan. Dari ruangan lain Leon bisa mendengar jeritan Ivanka. Rasa cemaspun kini mulai menyelimutinya. Leon berlari, dan membuka pintu kamar Ivanka dengan kasar. Ia mendapati gadis itu tengah menutup mata, kedua tangan yang kini menutup telinganya tampak gemetar dan ketakutan. Si gadis sepertinya tak menyadari kedatangan pria itu. Leon menghampiri Ivanka, lalu perlahan naik ke ranjang dan duduk di sampingnya.
Merasakan pergerakan di ranjangnya, Ivanka membuka mata, lalu menoleh ke samping, jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya, saat menemukan Leon yang ada di sampingnya. Pandangan mereka bertemu. Membuat tatapannya yang resahh bertemu dengan sorot mata tajam milik Leon. Sorot mata yang mampu memabukkan setiap wanita. Sorot yang tajam namun sendu, dan tak bisa dipungkiri, membuat Ivanka juga nyaris terbuai.
Diraihnya tubuh gadis itu dalam pelukknya. Tak ada penolakan. Apalagi pemberontakan, yang Ivanka tahu, tubuh pria ini begitu nyaman. Dada bidang yang luas, begitu menggoda untuk dijadikan sandaran. Membuat siapapun percaya, bahwa kau akan aman disana, dan ada perlindungan di dalamnya.
"Tenanglah! Apa yang terjadi?" tanya Leon, sembari mengusap kepala Ivanka dengan lembut.
"Aku takut. Aku sendiri. Aku ketakutan. Aku tak memiliki siapapun lagi," ujarnya dengan tatapan kosong, dan kepala yang juga masih ada di dada milik Leon.
Leon tahu, tidak mudah untuk gadis seusianya melewati masa masa pahit semacam pahit. Ada rasa iba dalam hatinya. Entah iba, atau rasa tertarik, yang jelas sejak saat ia menemukan Ivanka, ia sudah bertekad untuk menjaganya, menghapus setiap lukanya, menjadi salah satu pelengkap hidupnya.
"Tenanglah! Bukankah sudah kukatakan, kau memilikiku sekarang. Apa yang perlu kau takutkan. Sekarang kembalilah tidur." Ivanka tak menjawab. Namun hati dan pikirannya tersadar, betapa beruntung nya ia berada di bawah naungan Leon sekarang.
"Hey, apa kau mendengarku?" Sekali lagi Leon bertanya. Ivanka melepas sandarannya. Ia mendongak, melihat ke arah wajah pria yang nyaris sempurna itu. Wajah pria yang diyakininya sebagai dewa penolong. Gadis itu hanya mengangguk tak yakin, dan memalingkan pandangan.
"Baiklah. Aku akan keluar sekarang. Ingatlah, kau bisa memanggilku atau mencariku di ruang kerja jika memerlukan sesuatu. Aku harus menyelesaikan beberapa hal lagi. Tidurlah dengan nyenyak." Ucap Leon sambil bersiap meninggalkan kamar gadis itu.
"Baik," jawab Ivanka.
"Anak pintar." Leon mengacak lembut rambut Ivanka, dan berlalu meninggalkan Ivanka.
"Besok aku akan mengajakmu berkeliling. Jadi istirahatlah yang tenang," tambahnya lagi sebelum benar benar meninggalkan Ivanka.
Entah takdir apa yang sudah rencanakan. Begitu Leon menutup pintu kamar Ivanka, kedua nya hanyut dalam lamunan masing masing. Leon berbohong, alasannya ingin pergi secepat mungkin adalah ia tak yakin bisa bertahan lebih lama lagi jika terus berada di samping gadis itu. Gadis itu terlalu polos, dan terlalu menggoda. Harum tubuhnya yang begitu menggelitik, dan setiap sentuhan kulitnya membuat Leon tak habis pikir. Membakar sesuatu yang hampir tak pernah dirasakannya.
Sementara Ivanka. Gadis itu bingung. Ia ingin Leon ada disana, ia ingin pria itu menemaninya. Tapi bagaimanapun baiknya pria itu, ia harus tetap sadar, bahwa ia hidup dari belas kasihnya. Tak pantas jika ia berharap lebih untuk saat ini.
_________
Seperti janjinya tadi malam pagi ini Ivanka dan Leon berada di halaman belakang rumah. Lebih tepat jika di sebut lapangan golf daripada halaman. Ivanka hanya diam terpaku menatap hamparan luas padang rumput di hadapannya. Ia hampir tak pernah keluar dari rumah Leon, dan mendadak kaku setelah mengetahui betapa kayanya pria ini.
"Kenapa malah melamun?" tanya Leon.
"Apa kau yakin ini yang disebut halaman belakang?" Ivanka masih saja bengong sementara Leon hanya tertawa kecil.
"Tangkap !" Leon melemparkan kunci mobil pada Ivanka dan berhasil ditangkapnya dengan mudah.
"Apa ini kak?" ujar Ivanka,
"Tentu saja kunci mobil," ucap Leon.
"Tapi untuk apa?" tanya Ivanka bingung
"Kau tidak berfikir kita akan jalan kaki mengelilingi tempat ini bukan?" tanya Leon sambil terkekeh.
"Tapi aku tidak bisa kak. Aku tidak bisa membawa mobil," jawab Ivanka dengan wajah sedih.
"Apa kau bercanda?" tanya Leon lagi.
Ivanka mengggeleng, ia memang tak berbohong.
"Sungguh kak, aku terbiasa diantar supir atau pergi dengan Papa. Tak sekalipun aku pernah berada di belakang kemudi," ucap Ivanka sungguh-sungguh.
"Masuklah, aku akan mengajarimu!" kata Leon.
Dengan penuh keyakinan Leon akan menjadi guru kemudi Ivanka. Ia tidak tahu, bahwa Ivanka ingin sekali menolak, namun segan untuk mengatakannya. Gadis itu menarik nafas panjang, duduk di belakang kemudi. Mendengarkan semua yang dikatakan Leon dengan baik. Ia mulai mempraktekan apa yang dikatakan Leon sedikit demi sedikit, sampai akhirnya ...
"Injak remnya, Ivanka!" Leon yang duduk di sebelah Ivanka berseru mengingatkan.
"Eh?" Gadis itu menelan ludah. Sepertinya mulai panik.
"Injak rem nya Ivanka! Remnya!" seru Leon lebih cepat.
"Sudah kak, Aku sudah menginjaknya." Ivanka balas berteriak panik. Mobil yang dikemudikannya, bukannya melambat, malah semakin cepat.
"Astaga, kau menginjak gas bukan Rem!" teriak Leon.
"Sudah kuinjak, tapi mobilnya tidak bisa berhenti. Eh, sebenarnya rem nya yang mana?" tanya Ivanka mulai panik.
"Yang itu Ivanka!" Leon berseru panik. Dengan cepat ia menyambar kemudi, berusaha membanting setir, namun terlambat, mobil melaju terlalu cepat dan sedetik kemudian menabrak pohon.
Ivanka dan Leon sama sama terbentur kemudi. Suara klakson terdengar nyaring terbentur dahi Ivanka. Mereka berdua mengaduh kesakitan, beruntunglah tak terjadi apa apa. Ivanka dan Leon mengangkat kepala mereka yang tertunduk di setir mobil dan bersandar di jok mobil, sembari memegangi kepala masing masing.
Leon menoleh ke samping, dan melihat Ivanka yang memejamkan mata. Lagi lagi rasa panik, menjalar ke seluruh tubuhnya, ia bangkit memegangi bahu Ivanka, menggoyang goyangkan tubuhnya, berharap gadis itu segera merespon
"Kau baik baik saja Ivanka? Ivanka sadarlah. Jawab aku!" ucap Leon sambil panik dan ketakutan melihat gadis itu hanya diam tanpa respon.
Ivanka terdiam, sebelum akhirnya membuka mata dan malah tertawa terbahak bahak.
"Hahaha, Ya Tuhan, ini seru sekali kak. Aku baru sadar kalau hidupku terlalu monoton, ayo kita lakukan lagi."
Leon melepas Ivanka dengan kesal, bisa bisanya gadis ini malah tertawa, ia menepuk jidatnya sendiri, seraya berkata, "Dia pasti sudah gila?"
🌴🌴🌴🌴🌴🌴🌴
Jangan lupa untuk memberi komen, like dan vote kalau sudah selesai membaca ... happy reading buat semua pembaca setia.
Bagi kamu yang belum menekan tombol favoritnya ❤️ tolong di tekan dong supaya bisa dapat notifikasi kalau novel ini up.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 182 Episodes
Comments
💕febhy ajah💕
""dia pasti sudah gila""
ya iyalah gila, kan kepalanya ngebentur, pasti geser dikit lah.
2021-10-08
0
🌹Dina Yomaliana🌹
Ayo Leon cepat nikah sama Ivanka😇😇😇
2021-01-17
0
Roetipa Tipa
lucunyaa
2021-01-12
0