Hari ini aku mulai bekerja kembali. Karena walau kehidupanku sudah tercukupi oleh Mas Arif, aku pun ingin punya kegiatan dan punya tabungan dari hasil keringatku sendiri.
Aku sudah memakai seragam berwarna putih hijau dengan berlogo merk ponsel kenamaan yang sedang hits masa kini. Pukul sembilan pagi toko sudah buka tapi masih sepi pengunjung. Aku menata etalase agar lebih menarik.
Baru sekitar pukul sebelas banyak berdatangan pengunjung ke toko. Dari sekian banyak pengunjung yang datang, mataku tertuju pada sosok lelaki yang sedang melihat fitur ponsel di layar monitor dinding. Dia Gery, lelaki yang tidak mau bertanggung jawab dan lari begitu saja meninggalkanku yang sedang hamil besar mengandung anaknya.
Aku berusaha untuk menghindarinya. Perasaan marah bercampur takut saat melihatnya ada di toko. Aku tak mau bertemu dengannya lagi. Hatiku sudah teramat sakit karenanya. Hidupku sudah hancur lebur karena mengikuti cinta palsu bersamanya.
Namun, takdir mengharuskan aku bertemu dengannya lagi. Aku bergantian istirahat makan siang dengan temanku. Aku makan di sebuah cafe dekat toko bersama salah satu teman kerjaku. Kami duduk menunggu pesanan datang, sibuk dengan ponsel masing-masing.
"Rania," panggil seseorang dan mendekat ke meja kami.
Aku mendongakkan wajah, melihat siapa yang memanggilku dan orang itu adalah Gery. Sia-sia aku menghindarinya sewaktu di toko, jika akhirnya bertemu juga di cafe.
Aku tak menjawab, tersenyum pun tidak. Aku mengabaikannya.
"Rania, kamu masih ingat aku kan?" Gery duduk di sebelahku.
Aku masih tidak bergeming dan mengabaikannya. Untuk apa dia menemuiku setelah apa yang sudah ia lakukan dulu.
Fira, temanku menatap heran.
"Rania, kita harus bicara," katanya lagi.
Aku tak menjawabnya dan memilih sibuk dengan ponselku.
"Ran, kayaknya aku harus pindah meja." Fira merasa tidak enak karena sepertinya Gery nampak serius.
"Enggak perlu, Fir. Biar dia yang pergi dari sini," kataku.
Gery tak berkata apa-apa lagi lalu ia pergi meninggalkan aku dan Fira.
"Siapa dia, Ran?" tanya Fira.
"Buaya darat," jawabku.
"Haha, cowok mana lagi nih? Enggak puas sama si Om Tampan (Mas Arif)," goda Fira.
"Aku sudah punya Om Tampan makanya aku enggak butuh buaya darat macam dia, haha." Aku dan Fira tertawa.
"Sepertinya istri Mas Haris sudah mulai curiga sama aku, Ran," lirih Fira.
"Sebaiknya dari sekarang kamu harus cepat mengambil keputusan, Fir," ujarku.
"Aku gak mau menyerah. Aku mencintai Mas Haris. Salah istrinya sendiri yang gak bisa buat Mas Haris betah ada di rumah." Fira membela diri.
Aku tersenyum pasi. "Aku malah gak pernah tahu kehidupan Mas Arif di rumahnya. Istrinya siapa dan anaknya berapa."
"Masa sih?" Fira mengerutkan keningnya.
Aku mengangguk. "Iya. Mas Arif tak pernah menceritakan apapun tentang keluarganya."
Setelah selesai makan siang dan sedikit berbincang kami pun kembali ke toko.
Pukul sembilan malam toko tutup dan aku baru bisa pulang pukul setengah sepuluh. Aku menunggu Mang Ucup, supir yang selalu mengantar jemputku, tentu saja mobil dan supirnya Mas Arif yang sediakan untukku. Tapi malam ini Mang Ucup telat menjemput, tidak seperti biasanya.
"Ran, mau bareng enggak?" tawar Fira.
"Enggak ah, aku tunggu Mang Ucup saja, sebentar lagi juga datang," tolakku.
"Ya sudah. Aku duluan ya." Fira berlalu masuk ke dalam mobil pacarnya.
Sudah pukul sepuluh malam Mang Ucup belum datang juga. Datang sebuah mobil hitam berhenti tepat di depanku. Dari pintu kemudi keluar seseorang dan ternyata Gery. Aku menghindar berjalan membelakanginya namun Gery lebih dulu meraih tanganku.
"Ran, jangan pergi!" cegahnya.
"Lepas," kataku sambil mencoba melepaskan cengkraman Gery di pergelangan tangan.
"Aku antar kau pulang," ucapnya.
"Enggak mau. Lepaskan!!" Genggaman Gery sangat kuat aku tak bisa melepaskan diri.
Gery menarikku masuk ke dalam mobilnya dan membawaku entah kemana. Aku memberontak namun Gery tetap melajukan mobilnya.
"Kau mau membawaku kemana?"
"Tenanglah! Enggak perlu takut sama aku. Aku enggak akan ngapa-ngapain kamu. Aku hanya ingin bicara sama kamu, Rania." ucapnya.
"Enggak ada yang harus dibicarakan lagi. Aku sudah menutup semuanya rapat-rapat. Jadi jangan coba untuk membukanya lagi," kataku.
Gery membelokkan setirnya ke pinggir jalan dan berhenti di sana. Aku berusaha keluar dari mobil tapi pintunya masih terkunci.
"Buka!" kataku.
Gery menggeleng. Tangannya memegang kedua pundakku. Menatapku serius.
"Aku harus membicarakan ini. Aku minta maaf waktu itu meninggalkanmu. Waktu itu aku masih labil dan belum punya pendirian. Tuntutan dari keluargaku pun kau tahu sendiri, aku harus berprestasi dan harus masuk perguruan tinggi negri. Belum lagi aku harus ikut olimpiade sains waktu itu. Aku tak bisa berpikir. Semenjak itu aku terus memikirkanmu, memikirkan anak kita, dan mencarimu kemana-mana. Aku tak bisa hidup dengan tenang. Ku mohon maafkan aku." Gery terlihat sedih dan terpukul.
"Sudah terlambat. Apa kamu bilang? Anak kita? Hey kamu nggak ingat? Kamu meninggalkanku saat aku hamil besar dan akan melahirkan. Dan kamu bilang anak kita? Haha lucu sekali. Aku sudah bahagia dan jangan pernah ganggu aku. Jangan pernah menampakkan diri lagi di hadapanku. Karena aku sudah tak ingin melihatmu. Aku ingin kau enyah saja dari dunia ini." Emosi ku meluap-luap, ku atur nafasku lalu turun dari mobil dan menyetop taxi yang lewat. Ku tinggalkan Gery yang ku lihat dia menangis. Ah mungkin saja itu air mata buaya.
Bayangan masa lalu yang pahit berputar di kepalaku. Selama ini aku sudah bersusah payah berusaha melupakan semua itu. Mengapa dia harus datang lagi? Mengapa dia harus datang lagi membuka luka lama yang sengaja aku tutup rapat.
Aku turun dari taxi. Aku berjalan seakan melayang tak menapak. Ku buka pintu, betapa leganya ketika ku lihat Mas Arif sedang duduk menungguku. Aku langsung berhambur memeluknya.
"Ada apa? Kenapa kamu menangis?" tanya Mas Arif sembari mengelus rambutku.
"Aku bertemu dengannya, Mas." Aku menangis menjawabnya.
"Siapa?"
"Gery."
Mas Arif terus membelai rambutku lembut sedang aku terus menangis dalam pelukannya. Memang pelukan Mas Arif selalu membuatku nyaman dan merasa tenang.
"Rania," ucapnya lembut. "Kita tak bisa terus menghindar dari masa lalu. Masa lalu adalah bagian dari hidup kita." Mas Arif melepaskan peluknya lalu mengusap pipiku yang basah.
"Aku benci dia, Mas. Aku gak mau melihatnya lagi. Dia sudah menghancurkan hidupku. Menjadikanku seperti sekarang ini." Aku terus menangis mengeluarkan sesak dalam dada.
"Jika kamu membencinya abaikan dia. Anggap dia tak ada, ketika kamu bertemu dengannya. Itu akan lebih menyakitkan buatnya," ujarnya.
"Iya, Mas." Tangisku mulai mereda. "Mas, tumben kamu ke sini gak ngabarin aku?"
"Aku hanya ingin menemuimu. Aku tak akan lama."
"Mau aku buatkan kopi?"
"Enggak usah sayang. Kamu istirahat saja. Jangan banyak pikiran ya. Ada Mas yang akan selalu menjagamu."
"Iya, Mas."
"Ya sudah. Istirahat. Tidur yang nyenyak. Mas mau pulang dulu."
Aku mengantarnya sampai pintu dan melihat Mas Arif berjalan menjauh dariku. Kadang aku merasakan kasih sayang seorang ayah darinya.
NEXT >>>
like & comment
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Kafi Pratama
jangan jangan Gery anaknya mas Arif
2021-07-01
0
Qhyna
ngapain jg tuh si gery balik lagi
2020-09-07
1