Part 4

Sudah satu minggu semenjak kejadian itu, Gery selalu mondar-mandir di tempat kerjaku. Membuatku risih.

Pagi-pagi sekali dia sudah datang di depan toko membawakan sarapan untukku dan semua teman kerjaku. Malamnya dia menungguku di depan toko. Aku abaikan dia. Rasanya sudah terlambat jika dia ingin memperbaiki hatiku yang sudah retak dan hancur berkeping-keping. Karena yang pernah retak belum tentu bisa kembali lagi seperti semula.

Aku percepat langkahku agar Gery tidak dapat menyusulku, lalu aku langsung masuk mobil dan pulang. Tapi ternyata dia terus mengikutiku. Aku lelah diikuti olehnya. Di lobi apartemen aku menghentikannya.

"Apa yang kau mau? Aku sudah tak ingin lagi berurusan denganmu. Masih belum mengerti juga?" bentakku.

"Aku ingin maaf darimu," jawabnya suaranya pelan dan tampak penyesalan dalam sorot matanya.

"Aku akan memaafkanmu asalkan kau jangan mengikutiku terus. Jangan datang ke tempat kerjaku. Jangan pernah menunjukkan diri dihadapanku lagi. Mengerti?" Aku sudah sangat kesal dibuatnya.

"Asalkan kamu mau memaafkanku apapun akan aku lakukan," ucapnya meyakinkanku.

"Aku sudah memaafkanmu. Jadi sekarang pergilah!"

"Terimakasih." Lalu Gery pun pergi.

Aku menarik nafas panjang. Lega rasanya tidak akan diikuti lagi oleh lelaki yang kini ku benci itu.

Sebelum tidur aku menghapus riasan di wajah dan mencuci muka. Ponselku berdering, ternyata Mas Arif menelepon. Aku senang sekali.

"Halo, Mas,"

"Sayang, belum tidur?"

"Baru mau tidur. Mas, kenapa belum tidur?"

"Mas, kangen sama kamu. Bagaimana sudah kamu pikirkan belum? Kita kan mau menikah, orang tuamu harus merestui pernikahan kita."

"Apa mereka akan menerimaku, Mas?"

"Mereka pasti akan menerimamu. Mas yakin mereka sangat berharap kamu pulang."

"Aku masih ragu, Mas."

"Ya sudah yakinkan dulu hatimu. Pelan-pelan saja."

"Iya, Mas."

"Selamat malam. Bobok yang nyenyak sayang."

"Selamat malam juga. Sweet dream sayang."

Aku menutup telepon, menyimpan ponselnya di dadaku. Memejamkan mata, mencoba mencari sisi baik dalam diriku yang mungkin sudah terkubur dalam dosa dan khilaf.

Aku berpikir Mas Arif ingin memperbaiki kehidupanku yang berantakan. Sehingga ia akan menikahiku, ingin aku pulang ke orang tuaku dan juga menyuruhku membawa anakku. Aku terlelap dalam dilema dan kebingungan yang memenuhi pikiranku.

Paginya aku terbangun karena mendengar suara bel berkali-kali. Entah siapa bertamu sepagi ini. Jam dinding masih menunjukkan pukul enam pagi. Aku bangun dan berjalan malas ke arah pintu. Mungkin Mas Arif yang datang, karena malam dia telepon bilang kangen padaku.

Aku membuka pintu sambil tersenyum senang.

"Mas, kamu kangen yaa........" kata-kataku terhenti melihat ternyata Gery yang memijit bel. "Mau apalagi? Bukannya sudah aku katakan jangan pernah lagi menunjukkan diri dihadapanku." aku berniat menutup pintu tapi Gery sudah lebih dulu masuk ke dalam.

"Apartemenmu lumayan juga ya. Aku bawakan sarapan untukmu. Kita sarapan bersama," ucapnya santai.

"Keluar atau aku panggil sekuriti!!" Tak tahu darimana dia tau nomor apartemenku.

"Wesss.... Selooowww.... Aku kesini sebagai tetangga barumu. Ini sebagai tanda perkenalan tetangga baru," ucapnya masih santai duduk di kursi meja makan membuka bungkusan yang dia bawa.

"Tetangga?" aku masih tak percaya.

"Iya, tetangga. Aku baru saja membeli apartemen di sebelahmu." Membuatku muak.

Gery menarikku duduk di meja makan.

"Kita sarapan dulu."

"Sarapan sepagi ini? Aku nggak biasa sarapan sepagi ini. Jadi ku mohon keluar!" tanganku menunjuk ke pintu.

"Iya, iya aku akan keluar. Tapi nanti makan ya sarapannya."

"KELUAR," aku sudah habis kesabaran.

"Oke, oke, aku akan keluar. Aku ke sini ingin menanyakan dimana anak kita sekarang? Aku berhak tahu keberadaannya."

"Pastikan kau layak menjadi seorang ayah baru aku akan memberitahumu dimana dia berada," tegasku.

"Menurutmu aku tak layak menjadi ayah?" tanyanya padaku. Membuatku tertawa dalam hati.

"Kau pikir saja sendiri! Enggak ada seorang ayah yang tega meninggalkan dan nggak mengakui anaknya saat dia masih dalam kandungan. Padahal kau tahu sendiri aku melakukannya hanya denganmu. Sekarang PERGI KAU DARI SINI," usirku.

Gery pergi keluar dari apartemenku. Aku menangis mengingat semua kejadian masa laluku. Aku sudah menjadi anak durhaka kepada orang tuaku hanya karena nafsu dan cinta palsu.

Tuhan, ampuni dosaku. Sudah teramat banyak dosa dan khilaf yang telah ku perbuat. Akankah aku mendapat ampunan dari Mu? Air mata ini tak berhenti menetes dan membasahi pipi. Menyesali setiap perbuatan yang membuatku terjerumus dalam lembah dosa.

Mas Arif benar, aku harus menemui orang tuaku. Aku harus meminta maaf pada mereka.

Berhari- hari aku meyakinkan diriku, memantapkan hati untuk bertemu orang tuaku dan meminta maaf pada mereka. Jujur saja, ada perasaan takut mereka tak akan menerimaku.

Aku beranikan diri datang ke rumah orang tuaku tanpa Mas Arif. Aku mengambil nafas dalam sebelum keluar dari mobil. Ku buka pintu mobil lalu berjalan sambil menatap pagar yang telah berkarat. Ku buka pagar, ku lihat seorang wanita paruh baya sedang menyiram tanaman. Dia ibuku.

"Assalamu'alaikum," aku gemetar menatap ibu yang juga menatapku.

Matanya berlinang melihatku dihadapannya. Aku berlari, berlutut dan bersimpuh di bawah kakinya. Sudah lama aku meninggalkan surgaku yang sangat berharga. Sejenak tak ada yang terucap dari mulutnya. Ibu membantuku berdiri dan memeluk erat tubuh ini, air matanya pun sudah berlimpah ruah membasahi pipinya.

"Ibu, maafkan aku Bu," ucapku dalam tangis.

"Ibu sudah memaafkanmu, Nak," suaranya menentramkan hatiku.

"Maafkan aku, Bu," ucapku lagi.

"Kamu darimana saja, Nak? Kenapa baru pulang? Ibu merindukanmu."

Pelukan ibu mendamaikan hatiku yang tengah kalut. Aku sangat merindukan pelukan ini. Aku tak mau melepasnya lagi.

"Bu, ayah mana?" tanyaku karena belum menemukan sosoknya.

"Ada di dalam. Ayok kita masuk, kita temui ayahmu!" ajak ibu.

"Bu?" aku menggenggam erat tangan ibu. Jujur aku masih takut bertemu ayah.

"Ayahmu juga sangat merindukanmu. Dia selalu menanyakan mu kapan pulang."Ibu membelai rambutku dan tersenyum meyakinkanku.

Aku mengangguk dan kami pun masuk ke dalam. Tata rumah masih seperti dulu. Sofa tamu yang berwarna abu-abu lengkap dengan vas bunga yang masih sama di atas meja. Banyak kenangan di rumah ini, kenangan yang manis dan juga pahit.

Ibu membawaku ke dalam kamarnya. Ayah terbaring di atas tempat tidur, matanya sayup, tubuhnya agak kurus. Aku langsung mencium tangan dan memeluknya.

"Ayah maafkan Rania, Yah. Maafkan Rania sudah menjadi anak durhaka. Rania nggak menuruti perintah ayah." Aku menangis lagi sambil memeluk ayah. Ku dengar ayah pun menangis membalas pelukanku.

"Maafkan ayah juga, Rania." Ayah berbicara tak begitu jelas tapi masih bisa ku mengerti bahasanya.

"Sudah tiga bulan ayah hanya bisa terbaring di tempat tidur. Ayah mengalami stroke, tapi tidak mau di ajak berobat. Ayah terus mencarimu tapi tak kunjung menemukanmu. Sampai akhirnya ayah sakit, ia terus saja menyebut namamu," jelas ibu.

Ku eratkan pelukan lagi, "Ayah, maafkan Rania." Aku tak dapat berkata apa-apa selain kata maaf. Aku sudah menyusahkan orang tuaku.

NEXT >>>>>>

Like & comment

Terpopuler

Comments

Wheeny Permata

Wheeny Permata

,,😭😭😭

2020-12-29

1

Bundanya Naz

Bundanya Naz

😭😭😭

2020-10-23

1

Erika Quna

Erika Quna

meeewweekkk

2020-10-09

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!