“Menikah?” tanyaku tak percaya.
“Iya, kita menikah.” Tangan Mas Arif membelai lembut kepalaku, menyisir rambut panjangku dengan jarinya.
“Istrimu bagaimana?” Aku balik menatapnya tak kalah serius.
“Aku sudah bilang berkali-kali, kalau aku sedang bersamamu jangan menanyakan tentangnya.” Selalu saja begitu, dia tidak pernah menceritakan apapun tentang istri dan keluarganya.
“Terus bagaimana bisa menikahiku? Kau harus meminta ijinnya lebih dulu atau bercerai dengannya untuk menikahiku kan?” tanyaku lagi.
“Maaf.” Laki-laki berusia empat puluh dua tahun itu menunduk dihadapanku dan menggenggam tanganku. “Untuk saat ini aku hanya bisa menikahimu secara siri,” ucapnya sambil menatapku.
Aku tersenyum. Aku sendiri tak tahu apa arti senyum itu. Aku dan Mas Arif terpaut usia dua puluh tahun. Usia ku kini masih sangat muda, baru menginjak dua puluh dua tahun.
Aku bahagia akhirnya Mas Arif akan menikahiku. Tapi aku sedih, mengapa orang yang aku cintai adalah milik orang lain. Mas Arif tidak seutuhnya milikku dan aku hanya pelengkap saja baginya.
“Rania, sayang, Mas tidak mau kehilanganmu. Mas juga tidak mau kalau kamu sampai jatuh lagi kepelukan pria lain. Makanya Mas ingin mengesahkan hubungan kita. Mas ingin membahagiakanmu,” ucapnya dengan sungguh-sungguh padaku.
Aku tertawa dalam hati. Bahagia? Inikah kebahagiaanku? Menjadi wanita simpanan lelaki kaya raya, yang entah mengapa dia memperlakukan aku dengan baik sehingga aku sangat sulit melepasnya.
Dua hari Mas Arif bersamaku. Aku dimanjakan sekali olehnya. Dia mengantarku ke salon untuk perawatan, menemaniku belanja dan banyak hal lagi selama dua hari itu. Dia memberikanku limpahan materi. Aku sendiri hanya tahu dia seorang pengusaha entah pengusaha apa. Karena setiap bertanya tentang kehidupannya dia selalu menghindar dan mengatakan itu tak perlu ku ketahui.
Sebagai seorang wanita, aku tak ingin seperti ini. Cinta telah membutakan hatiku. Atas nama cinta aku rela menjadi wanita simpanan. Jika ditanya dosa? Dosaku sudah menggunung. Aku menyakiti hati wanita lain untuk menutupi luka hatiku. Jahat? Iya aku pun marah pada diriku sendiri.
Aku pun tak tahu mengapa aku menerimanya. Karena cinta, harta atau karena memang dia masih terlihat tampan dan berkharisma di usianya yang sudah tidak muda lagi. Entahlah, aku pun tak bisa menjawabnya. Hanya saja jika berada dengannya aku merasa aman dan nyaman. Aku seolah menemukan seseorang yang bisa menjagaku, mengerti aku, dan menyayangiku.
"Mas, aku mau ke supermarket sebentar. Mau belanja buat masak makan malam. Mas, gak perlu mengantarku. Biar aku sama supir saja," kataku.
"Berikan daftar belanjaannya sama supir biar dia yang belanja," balasnya.
"Enggak. Aku ingin belanja sendiri bahan makanan buat masakin makanan kesukaanmu. Nggak akan lama. Mas, tunggu aku sambil nge-gym di bawah ya," pintaku.
"Baiklah. Mas, memang gak bisa membantah keinginanmu."
Malam ini Mas Arif akan pulang, aku memasak makan malam sebelum ia pergi. Itu sudah menjadi kewajiban untukku, sebagai tanda terimakasih untuknya yang telah memberikanku semua yang ada di apartemen ini.
Aku mengisi troli dengan bahan makanan yang dibutuhkan untuk nanti memasak. Setelah kurasa sudah cukup, aku berjalan ke kasir untuk membayarnya. Petugas kasir menghitung semua belanjaan yang ada di troli.
Dari kejauhan aku melihat Bang Arga bersama seorang wanita. Aku melihatnya dengan seksama, benar itu Bang Arga. Sedang apa dia di sini?
Petugas kasir memberitahu nominal yang harus aku bayar. Aku memberikan benda pipih dari dalam dompet. Setelah semuanya selesai aku cepat - cepat berjalan menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. Belanjaan sudah dibawa supir dan dimasukkan ke dalam bagasi.
"Pak, cepat kita pergi sekarang!" perintahku.
"Baik, Non."
Aku pulang dengan perasaan was-was. Apakah Bang Arga melihatku atau tidak? Melihat Bang Arga aku jadi teringat ayah dan juga ibu. Sudah lama aku pergi dari rumah. Aku semakin merasa menjadi anak durhaka.
Sampai di apartemen Mas Arif belum kembali dari gym center. Aku mulai meracik bumbu dan mulai memasak. Pikiranku masih memikirkan melihat Bang Arga tadi di supermarket. Sampai-sampai aku tak sadar bahwa Mas Arif sudah kembali.
"Sayang!" panggilnya membuatku kaget.
"Mas? Sudah pulang?" jawabku terkejut.
"Mas Kira kamu gak ada. Mas bel gak dibuka juga. Ya sudah Mas masuk saja. Tahunya sudah mulai wangi yang enak di mulut," ucapnya.
"Maaf, Mas. Tadi aku terlalu asyik memasak."
"Kamu gak lagi memikirkan yang lain kan?" tanyanya.
"Enggak. Mas ini ada-ada saja. Sudah cepat mandi! Aku mau lanjutkan masak." Aku mendorongnya sampai pintu kamar mandi. Lalu aku menyiapkan baju gantinya.
Mas Arif baru saja keluar dari kamar mandi, dikenakannya baju yang sudah aku siapkan di atas tempat tidur.
“Mas, makan malam sudah siap,” kataku.
“Hmmmm,” jawabnya hanya berdehem sambil mengancingkan kaos kerah warna putih miliknya.
Aku memeluknya dari belakang. "Mas, aku ingin kita selalu bersama," ucapku.
"Banyak-banyaklah berdoa, agar kita cepat bisa bersama," ucapnya berbalik dan memelukku.
"Apa aku gak akan salah berdoa untuk kita bersama?"
"Gak ada yang salah dengan doa. Yuk! Mas sudah lapar," melepaskan pelukannya.
Aku membereskan dan menata rapi bajunya ke dalam koper. Lalu kami berjalan menuju meja makan.
“Aku selalu merindukan masakan mu ini. Rasanya ingin memakannya setiap hari,” ucapnya tersenyum hangat ke arahku.
Ku berikan piring yang sudah ku isi makanan kesukaannya. Mas Arif sangat suka gurame asam manis buatan ku.
“Mas, kapan ke sini lagi?” tanyaku.
“Kamu maunya kapan?” dia balik bertanya.
“Aku ingin setiap hari Mas datang,” rengekku.
Mas Arif hanya menatapku, mungkin berharap aku mengerti posisinya lalu melanjutkan menyantap makanannya dengan lahap.
“Rania, sudah waktunya kamu pulang ke rumah orang tuamu,” ucapnya membuat dadaku nyeri dan tubuhku sedikit gemetar. “Bukan begitu, Mas tidak bermaksud menyinggung mu. Kamu masih boleh tinggal di sini. Maksud Mas, sudah terlalu lama kamu pergi. Apa kamu tidak merindukan mereka?”
Aku terdiam mendengar Mas Arif menyebutkan orang tuaku. Memang sudah lama sekali aku kabur dari rumah. Sudah lama juga aku tidak mencari kabar tentang orang tuaku.
“Ibu, ayah, apa kalian baik-baik saja?” batinku.
Sudah terlalu jauh aku melangkah meninggalkan mereka, meninggalkan orang yang sudah melahirkan dan mengurusku. Tapi jika aku kembali apa mereka akan memaafkan aku?
Kami sudah selesai makan malam, aku mengantarkan Mas Arif sampai depan pintu. Aku memeluknya dan dia mencium keningku.
“Mas pergi dulu, baik-baik ya sampai Mas datang. Oh ya, pikirkan ucapan Mas tadi. Mas akan mengantarmu kalau kamu sudah siap menemui mereka,” ucapnya sebelum pergi.
“Iya, Mas. Akan aku pikirkan. Hati-hati di jalan ya,” jawabku lalu mencium tangannya.
NEXT >>>>>>
like & comment
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 42 Episodes
Comments
Soviana
berarti waktu mengandung usia.y baru 17 tahun 🤔🤔
2020-11-25
1