Malam itu terasa lebih lama dari biasanya bagi Gala. Kamar yang biasanya menjadi saksi bisu kenyamanannya kini seakan menyesakkan. Nara, yang terlelap dengan damai, tak menyadari kegelisahan yang menghantui Gala.
Pria tiga puluh tahun itu, berganti posisi tidur berkali-kali, mencoba mencari kenyamanan yang tak kunjung datang. Sesekali, Gala bangkit dan duduk di pinggir ranjang, tangannya gemetar saat mengambil gelas berisi air putih, meneguknya seolah itu bisa meredakan kekacauan yang terjadi dalam dirinya.
"Oh...sial, kenapa jadi seperti ini," desah Gala dalam hati. Ada desir aneh yang mulai merayap di urat nadinya, membuatnya harus berjuang keras untuk mengendalikan diri. Dengan langkah gontai, Gala meninggalkan kamar, menyeret langkah kakinya menuju ruang televisi. Tubuhnya terasa berat, seakan membawa beban yang tak terlihat.
Di ruang televisi, Gala melemparkan tubuhnya ke atas sofa. Matahari belum juga terbit, dan sepi malam hanya ditemani oleh suara televisi yang masih menyala tanpa ditonton.
Gala mencoba memejamkan mata, berharap bisa terlelap dan melarikan diri dari kegelisahannya, namun semakin ia mencoba, semakin jelas desiran itu menggema dalam pikirannya. Pria itu tahu, malam itu akan menjadi salah satu malam terpanjang dalam hidupnya.
Di hening fajar yang baru menyingsing, dengan bunyi azan yang berkumandang membelah kesunyian, Gala merasakan tiap tetes air dingin yang mengalir menuruni tubuhnya. Ia berharap, lebih dari sekadar kedinginan yang menggigilkan tulang, bahwa kecamuk perasaan yang sedari malam menggelegak dalam dirinya dapat terbawa hanyut oleh derasnya air.
Gala mengenakan handuk putih yang terikat sempurna di pinggangnya, Gala melangkah keluar dari kamar mandi. Mata Nara yang baru terpejamkan malam, kini terbelalak tak percaya.
Jantungnya berdegup kencang saat pandangannya tanpa sengaja menangkap pemandangan dada bidang pak dosennya yang terpajang sempurna, bagaikan pahatan patung dewa Yunani.
"Prof..." suaranya melemah, penuh rasa kagum yang tak tersembunyikan. Dengan rambut yang masih basah dan meneteskan sisa-sisa kelembapan, Gala menoleh. Seulas senyum lembut terukir di wajahnya saat ia menyadari tatapan takjub yang terarah padanya.
"Hem... sudah bangun," sambutnya ringan, seraya mengusap-usap rambutnya dengan handuk.
"Hem..." Nara menggumam, menelan ludah, masih terpaku oleh ketampanan yang baru saja ia saksikan. Ini adalah pertama kalinya ia menyaksikan sisi lain dari pak dosennya yang selalu tampak resmi dan berwibawa di kelas.
"Kita salat berjamaah, segera ambil wudu," Gala memutuskan keheningan, berjalan menuju lemari untuk mengambil kemeja dan sarung. Aura kepemimpinannya memenuhi ruangan.
Nara membasuh wajahnya dengan air wudu, menyeka tetesan air yang berlari di pipinya. Mata Nara tak bisa berpaling, di sana, di ruang yang biasa sepi, sang dosen, Gala, kini berdiri mempesona dengan peci hitam yang disematkan di atas kepala, dipadukan dengan sarung yang melingkari tubuhnya dengan gagah.
Sejenak, Nara mengucek matanya, berharap apa yang terlihat hanyalah bayangan semata. Namun saat Gala meraih mukenah dan menyerahkannya pada Nara, kenyataan itu semakin jelas; suaminya, setampan itu dalam balutan peci dan sarung.Bahkan tak terlihat jika usia mereka beda sebelas tahun.
"Pakai ini, kemarin Mas memilihkan untukmu," ucap Gala, dengan senyum yang merekah membagi bahagia. Lalu dengan gerakan yang penuh perhatian, ia membentangkan dua sajadah, menyiapkan sebuah ruang suci di lantai kamar mereka.Nara tertegun, melihat sikap asli pria yang selama ini, ia nilai menyebalkan itu.
Usai solat Gala berjalan menuju dapur.
Dengan langkah pelan, Nara yang masih terasa asing dengan lingkungannya, mengikuti langkah suaminya.
"Mas mau buat sarapan, kamu mau ikut bantu?"
Ketika Gala menawarkan untuk membantunya di dapur, secercah ketidakpercayaan tergambar di wajah Nara. “Masak? Aku gak bisa masak,” ucapnya dengan nada kikuk, sambil menyepol asal rambut hitamnya.
Gala tersenyum lembut, mencoba meredam kekikukan itu. “Mas yang masak, kamu bantu kupas dan potong sayur saja,” jelasnya sambil menyerahkan lima butir bawang merah. Nara mengangguk, masih dengan rasa canggung yang menggelayut.
Di dapur, Gala mulai menata peralatan masak sementara Nara berdiri di sampingnya dengan lima butir bawang merah di tangan.
“Ini dikupas,” ujar Gala sambil menunjukkan cara mengupas bawang yang benar. Nara mengikuti arahan Gala, sesekali matanya berkaca-kaca terkena getah bawang.
Gala menyadari itu dan segera mengelap mata Nara yang berair dengan ibu jarinya, lagi lagi sikap Gala yang sepontan itu, membuat Nara sesak nafas. Dan tanpa bertanya, Gala memasangkan kacamata dapur yang lucu itu untuk melindungi mata istrinya.
"Haa...harus ya dia seromantis ini.." batin Nara menelan ludahnya.
Kesibukan di dapur mulai membawa mereka ke dalam percakapan ringan. Nara mulai lebih rileks, sesekali tertawa kecil mendengar lelucon Gala tentang bagaimana dia dulu belajar masak saat kuliah. Nara, dengan hati yang lapang, mendengarkan cerita pak dosennya.
Nara yang awalnya ragu dan canggung, kini mulai terlihat menikmati proses memasak bersama suaminya. Udara di dapur terasa hangat, bukan hanya karena api yang menyala tapi juga karena tawa dan canda yang mereka bagi.
Kebersamaan di pagi hari itu, walaupun sederhana, pelan-pelan mengikat kedekatan mereka, menjalin benang-benang keintiman yang baru saja mulai terbentuk.
"Ternyata Prof Gala tidak semenyebalkan itu," gumam Nara dalam hati, mencoba merangkai kembali kesan pertamanya.
"Prof..." panggil Nara dengan ragu.
"Hem..." Gala hanya bergumam, matanya tetap fokus pada sambal yang sedang digongseng di atas api.
"Bolehkah aku menanyakan sesuatu?" suara Nara bergetar, memenuhi ruangan dengan kegelisahan yang tak tersembunyikan.
"Tentu, apa yang ingin kau tanyakan?" Gala menjawab tanpa menoleh, namun rasa penasaran terpancar dari nada suaranya.
"Kenapa Prof menyetujui pernikahan ini? Bukankah Prof pernah bilang bahwa Prof hanya mencintai seorang gadis?" Gala mendadak menoleh, matanya menembus ke dalam jiwa Nara.
"Meem...karena saya ingin melindungi kamu," jawab Gala dengan tegas, nada suaranya mendalam. Lalu, Nara bertanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih mendesak.
"Lalu, bagaimana hubungan Prof dengan gadis masa lalu Prof itu?" Kecurigaan dan rasa penasaran bercampur dalam pertanyaannya.
"Hubungan saya dan dia masih baik hingga saat ini...?" Gala menghela napas sejenak. "Dia sudah menikah," jawabnya sambil tersenyum simpul. Mata Nara menyipit, heran dan bingung.
"Haaa... kenapa dia bisa tersenyum, mengetahui kekasihnya menikah dengan pria lain?" batin Nara tak habis pikir.
"Apa Prof tidak kecewa, atau patah hati?" tanya Nara, mencoba menggali lebih dalam.
"Sakit hati? Tentu tidak, saya justru bahagia untuknya," Gala menjawab dengan lantang, seolah-olah ada kelegaan yang mengiringi kata-katanya.
"Heh... dasar pria aneh," gumam Nara dalam hati, masih tidak bisa memahami perasaan rumit yang dihadapi oleh suaminya.
Masakan sudah matang, Gala menyusun piring-piring di atas meja makan dibantu oleh Nara.
Saat Nara hendak duduk, Gala berkata sambil tersenyum.
"Cepatlah makan, kita harus segera pergi. Mas ada tiket bulan madu dari kantor." Ucapan itu membuat Nara seketika tersedak.
Buru-buru, Gala menyodorkan segelas air kepada Nara, wajahnya tampak sedikit panik. Nara menelan air sambil menatap Gala penuh tanya, sementara pikirannya mulai berkecamuk tak karuan.
"Apa katanya, tiket bulan madu? Apa dia sudah gila, sapa juga yang ingin berbulan madu denganya?"batin Nara mulai merasa tak nyama.
Gala, yang seakan dapat membaca pikiran Nara, segera angkat bicara.
"Tapi kamu jangan khawatir. Kita hanya akan berlibur saja. Sayang kalau tidak diambil," ujarnya dengan nada menenangkan, seakan takut Nara salah paham.
Nara mengalihkan pandangan dan hanya mengangguk pelan. Jantungnya masih berdegup kencang, tetapi ia tahu Gala bukan orang yang akan memaksanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments