SEMBILAN

Matahari sudah meninggi, sinarnya menyelinap masuk melalui jendela kamar Nara. Gadis itu masih mengucek matanya yang berat, berusaha mengusir sisa-sisa kantuk yang melekat. Rambutnya yang panjang terurai berantakan, menggambarkan betapa dia belum siap menyambut hari itu.Sambil menghela napas panjang, Nara meraih pakaian yang sudah ia siapkan semalam.

"Kenapa jam berputar begitu cepat ya?" gumamnya sendiri. Dengan gerakan yang masih lambat, dia mulai mengenakan seragam kuliahnya.Sementara itu, di luar kamar, Bara, kakaknya, sudah beberapa kali melirik jam tangannya. Kepalanya mengintip sekali lagi ke dalam kamar Nara.

"Dek, Sasa udah nungguin lama, lho. Ayolah cepat."Nara hanya mengangguk lemah sambil menarik sepatu ke kakinya. Wajahnya masih pucat, menunjukkan bahwa dia belum sepenuhnya terjaga dari tidurnya. Namun, tahu harus menghadapi hari yang sibuk, dia mengumpulkan semangatnya.Akhirnya, dengan tas kuliah yang tergantung di bahu, Nara melangkah keluar kamar. Sasa, sahabatnya yang setia, sudah duduk manis di ruang tamu menunggu.

"Heem, maaf, aku bangun kesiangan," ucap Nara seraya memberikan senyum semampunya.Sasa hanya menggeleng dan tersenyum.

"Biasa kebo" sahut Sasa, sembari berdiri dan mengajak Nara berjalan menuju kampus. Nara mendengus, sementara Bara tersenyum melihat gadis cantik yang terkesan lucu.

Mereka berjalan berdampingan, Nara mencoba menghilangkan sisa kantuk dengan bercanda ringan. Meskipun paginya berat, dia tahu akan ada hal-hal menarik yang menantinya di kampus. Setiap langkah yang mereka ambil, semakin mengembalikan energi dan semangat Nara untuk menjalani hari itu.

Sesampainya di kampus, mata Nara tak sengaja menangkap sosok Gala di parkiran. Hatinya langsung menegang, panik menyeruak tanpa permisi. 

"Oh Tuhan, kenapa harus ketemu dia pagi-pagi begini?" pikirnya dengan getir. Nara segera memalingkan wajah, mencoba menghindar. Namun, baru saja kakinya melangkah beberapa langkah, suara beratnya langsung memenuhi telinganya.

"Kinara..." panggilnya dengan nada yang membuat bulu kuduk Nara berdiri. Langkahnya terhenti, seolah dunia sedang berhenti berputar.

"Aduh, sial, kelihatan juga. Kenapa nggak bersembunyi tadi?" gumamnya dalam hati dengan geram. Nara menarik napas dalam, menyiapkan diri, lalu berbalik perlahan. 

"Hem...iya, Pak," jawabnya, mencoba terdengar santai meski jantungnya sudah berdetak tak beraturan.

"Kenapa kamu tidak menepati janji? Kamu lupa masih berutang dengan saya?" ucapnya tegas, dengan tatapan yang membuatnya semakin canggung. Nara mengigit bibir bawahku, menghindari pandangan Gala.

Dalam sekejap, ingatan akan kemeja Gala yang terkena susu milo muncul di kepalanya.

"Oh tidak, aku benar-benar lupa soal itu." batin Nara.

 "Maaf, Pak, saya..." Belum sempat Nara  menyelesaikan kalimatnya, Gala langsung memotongnya.

"Nanti sepulang kuliah, tunggu saya di parkiran," perintahnya dingin, tanpa memberi ruang untuk Nara beralasan. Nara hanya bisa menganggukkan kepala.

"Baik, Pak," jawabnya lirih, tanpa berniat menambah perdebatan yang bisa memperumit situasi. Gala, dosen yang terkenal galak tanpa ampun, benar-benar menjadi duri dalam keseharian  Nara. Kalau bisa, Nara ingin segera selesai dengan urusannya dengan dosen satu itu, dan menghapusnya dari daftar kekhawatirannya.

Gala lantas meninggalkan parkiran melangkah tegas menuju ruang dosen.

Tepat pukul tujuh tiga puluh, Bara masuk ke kelas tingkat akhir, yang gedungnya berhadapan dengan ruang kelas Nara.

Tiba-tiba, langit pagi yang cerah berubah menjadi mendung, awan hitam menumpuk bagai menyimpan dendam. Angin mengaum bagai binatang buas yang terlepas dari kurungannya, dan serentetan angin dingin mulai menusuk kulit. Nara, yang semula menatap jendela dengan mata berbinar, kini memandang luar dengan rasa takut menggelayuti hatinya.

"Ya Tuhan," batinnya bergemuruh, bayangan lalu lintas petir di kepalanya mengundang trauma lama, kepalanya mulai berdenyut, bayangan kecelakaan yang menakutkan, kembali berputar. Nafas Nara mulai sesak,keringat mengalir di dahinya.

"Ada apa, Na?" Sasa menanyakan, matanya tidak lepas dari wajah Nara yang kini pucat pasi.

"Emm... gak ada," sahut Nara, suaranya bergetar, berusaha keras menyembunyikan kegelisahannya yang amat dalam.

"Yakin gak kenapa-kenapa?" Sasa bertanya lagi, nada suaranya lebih tegas, karena kekhawatiran.

"Hem, aku gak papa," Nara bersikeras, suaranya semakin serak, berusaha terlihat tegar. Tetapi, rintik hujan mulai turun, gemuruh di atap kampus memekakkan telinga. Nara merasakan jantungnya berdegup kencang, keringat dingin bercucuran membasahi lehernya. Ketakutannya memuncak. Ia pun meminta izin pada Bu Tuti dengan alasan ingin ke kamar mandi.

Nara berlari menyusuri koridor yang sepi, headphone menempel di telinga, musik diputar keras-keras agar suara guruh tak bisa meresap masuk ke relung jiwanya yang terpuruk.

Hujan deras dan angin kencang membasahi seluruh kampus, tapi Gala tak peduli. Kakinya  terus berlari, menembus derasnya hujan menuju WC perempuan, satu-satunya tempat yang terpikir aman untuk Nara bersembunyi. 

Nara bersandar di pintu Wc, menenangkan diri, mengontrol emosinya sendiri.

Sesekali Nara mengintip ke arah luar, tak tahu kenapa Gala—dosennya, orang yang selalu terlihat serius dan nyaris tak pernah tersenyum—mengikuti jejaknya. Sosoknya mendekat dari arah jauh sana.

"Dia pasti melihat bagaimana berantakannya aku," batin Nara,"tapi kenapa dia mengejarku? Tidak bisakah dia membiarkanku sendiri?" pikir Nara kesal, sekaligus cemas. 

"Tidak, aku tak mau terlihat lemah di hadapannya. Tapi kali ini tubuhku bukanlah sekutu yang mendukungku," batin Nara terus berbicara dalam hatinya.

Di balik pintu WC, Nara berusaha mengendalikan napas. Tapi kemudian suara langkah berat memecah suasana. Gala berhenti tepat di depan pintu WC perempuan. Bayangannya di balik kaca buram membuat Nara tersentak, namun juga mengusik sedikit rasa ingin tahunya. 

Apakah dia benar-benar mengikutiku? Untuk apa?" tanya Nara penuh curiga.Nara lantas melepas headphone yang tersemat di telingannya, dan menajamkan pendengaran.

Tiba-tiba suara seorang wanita yang tak ia kenal memotong lamunan gadis ayu itu.

"Maaf Pak, ini WC khusus perempuan!" tegur salah satu mahasiswi di luar, Nara mengenali wajah Gala yang seketika terlihat kikuk di depan pintu. Dalam hati, Nara ingin tertawa, namun rasa tegang masih mendominasi pikirannya.

Nara lalu melangkah keluar, Nara menatap wajah Gala yang tampak gugup.

"Pak Gala..." lirihku pelan sambil mencoba mengontrol diriku. Tapi sebelum sempat berbicara lebih jauh, dia menunjuk ke arahku. 

"Kamu..." ucapnya tegas, nada bicaranya datar seperti biasa, tapi matanya... matanya mencerminkan sesuatu yang sulit kuterjemahkan. Gala melangkah mendekat dengan cepat, lalu tanpa aba-aba menarik pergelangan tangan Nara.

"Ikut saya," ucapnya pendek, tak memberiku kesempatan untuk menolak. Tangan Nara  terangkat dalam genggamannya, terasa asing dan dingin, tapi gadis itu tak bisa melawan. Setelah menempuh perjalanan singkat ke ruang kerjanya, Nara akhirnya memberanikan diri untuk menarik tangannya dengan sentakan kecil.

"Apa yang Anda lakukan?!" tegur Nara, suaranya agak meninggi meski getarannya menunjukkan dia belum sepenuhnya tenang. Napasnya masih belum teratur, tapi kemarahannya mulai berbaur dengan rasa bingung. 

Nara tak tahu apa yang Gala inginkan darinya? Dan kenapa dia harus menyeretnya seperti itu? Nara menatapnya tajam, berharap mendapatkan jawaban dari tatapannya, tapi yang Nara lihat hanyalah ekspresi serius yang membuat dadanya semakin sesak.

"Kenapa Bapak terkesan tak sopan?" tanya Nara tajam pada Gala. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Nara, tanpa sempat ia pikirkan lebih lanjut. Nara tidak peduli, rasa kesalnya sudah terlalu besar untuk ditahan. 

"Apa kamu bilang?" suara Gala terredam, nada geramnya jelas terdengar. Wajahnya memerah, matanya menatap Nara tajam. Tapi Nara tak bergeming. Kalau dia pikir Nara akan takut, dia salah besar.

"Maaf, Pak," katanya dengan suara datar, meskipun tidak benar-benar berniat minta maaf. "Apa ucapan saya menyinggung Anda? Tapi jujur saja, itu kata yang paling pas untuk Bapak." Nara lantas mendekatkan diri ke arah Gala, berusaha menekan emosi yang hampir meluap.

"Dosen mesum yang sengaja masuk ke WC perempuan dan dengan seenaknya menggandeng tangan mahasiswinya," lanjut Nara dengan nada penuh sindiran. Matanya  tak lepas menatapnya, menunjukkan ketidaksetujuannya atas tindakan yang Gala lakukan.

"Kamuuu..." Gala menunjuk Nara dengan geram, suaranya semakin menegang. Nara  tahu pak dosennya sedang kesal. Tapi di mata Nara, rasa hormat yang seharusnya ada untuknya sudah lenyap. Di kepalanya hanya ada satu pikiran: bagaimana bisa seseorang yang seharusnya menjadi panutan berbuat hal tak pantas seperti itu? Entah keberanian dari mana, gadis bermata bulat itu merasa tidak bisa tinggal diam melihat tindakan sembrono Gala.

Kesalahpahaman antara Nara dan Gala semakin memuncak. Gala, dengan niat tulus untuk melindungi Nara, malah terperangkap dalam jaring prasangka gadis itu.

Matanya terpejam, ia menghela nafas panjang, berusaha menenangkan emosinya, sebelum menghadapi gadis yang dengan tajam menatapnya, serupa burung elang yang siap menerkam.

Semakin Gala mencoba menjelaskan, semakin besar pula tembok kesalahpahaman yang terbangun di antara mereka.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!